Prolog

22 2 0
                                        

Langit sore tampak mendung ketika Farhan Izzudin, seorang dokter koas, mengelap keringat yang mulai mengalir di dahinya. Ruang IGD rumah sakit tampak seperti biasa: ramai, penuh suara pasien yang mengeluh, keluarga yang bertanya-tanya, dan perawat yang sibuk berlalu-lalang. Di tengah suasana itu, Farhan tetap tersenyum, seperti biasa.

"Han, pasien di bed tiga, tolong cek statusnya," seru salah satu perawat senior sambil menyerahkan catatan medis. Farhan mengangguk cepat, lalu berjalan menuju bed yang dimaksud. Namun, sebelum ia sempat sampai, pintu IGD terbuka dengan suara keras, dan seorang perempuan muda melangkah masuk dengan langkah tergesa.

"Dok, tolong saya!" serunya, suaranya nyaring di antara keramaian. Semua orang menoleh, termasuk Farhan.

Perempuan itu terlihat mencolok. Wajahnya cantik dengan riasan sempurna, rambut hitamnya tergerai rapi, dan ia mengenakan pakaian kasual yang tampak mahal. Namun, ekspresinya penuh panik. Ia memegangi lengannya yang tergores ringan, darahnya hampir tidak terlihat, tapi reaksinya seperti habis terluka parah.

Farhan mendekat dengan sikap tenang. "Apa yang terjadi?" tanyanya, meskipun ia tahu luka itu jelas tidak serius.

"Saya terserempet mobil. Perih banget, kayaknya perlu rontgen. Bisa rontgen sekarang, kan?" tanyanya cepat tanpa memberi Farhan waktu untuk menjelaskan.

Farhan memandang luka di lengannya. Itu hanya goresan kecil. Ia mencoba menahan senyum. "Luka ini nggak terlalu serius. Kita bisa bersihkan dan kasih salep, tidak perlu rontgen."

"Tapi, dok, siapa tahu ada yang patah!" sanggah perempuan itu dengan nada tegas. Ia menatap Farhan seolah menantang keputusan medisnya.

Farhan menghela napas. Ia sudah terbiasa dengan pasien seperti ini. "Baiklah, kalau begitu kita periksa dulu, ya. Saya dokter koas di sini, dan nanti dokter senior akan konfirmasi hasilnya."

Perempuan itu mengerutkan kening. "Dokter koas? Oh, jadi bukan dokter beneran?"

Farhan menahan tawa kecil. "Koas itu calon dokter, Mbak. Nggak usah khawatir, saya nggak akan melakukan apa-apa yang di luar prosedur."

Ia mempersilakan perempuan itu duduk di bed kosong, lalu mulai memeriksa lukanya. Saat ia mulai membersihkan luka dengan antiseptik, perempuan itu meringis berlebihan. "Aduh, sakit! Nggak ada obat yang lebih pelan?"

Farhan tersenyum tipis. "Kalau mau nggak sakit sama sekali, saya kasih es krim aja sekalian."

Perempuan itu mendelik. "Lucu banget, dok."

"Terima kasih, itu pujian," balas Farhan ringan.

Setelah beberapa menit, luka itu selesai dibersihkan dan diperban. Farhan melangkah mundur, puas dengan pekerjaannya. "Oke, selesai. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi kalau Mbak masih merasa perlu rontgen, kita bisa ajukan, meskipun saya yakin hasilnya normal."

Perempuan itu mendesah keras. "Baiklah, saya percaya dokter... apa tadi namanya?"

"Farhan," jawabnya sambil tersenyum.

"Basheera Heidi. Panggil Heidi aja," katanya sambil melirik kartu identitas di dada Farhan. "Dokter Farhan, ya? Nanti kalau ada apa-apa, saya cari dokter yang 'beneran' aja deh."

Farhan hanya tersenyum simpul sambil melepas sarung tangan. "Silakan, Mbak Heidi. Semoga cepat sembuh."

Saat Heidi berjalan pergi, perawat senior di sebelah Farhan berbisik pelan. "Kamu tau nggak siapa dia?"

Farhan mengangkat bahu. "Nggak. Kenapa?"

"Itu Basheera Heidi. Selebgram terkenal. Follower-nya jutaan."

Farhan memandang pintu yang baru saja ditutup Heidi. Ia tertawa kecil. "Oh, jadi itu alasan dia bertingkah seperti drama Korea."

"Han, hati-hati. Jangan main-main sama seleb. Mereka ribet."

Farhan hanya tersenyum. Dalam hati, ia yakin itu hanya pertemuan singkat. Tidak pernah terlintas di pikirannya bahwa pertemuan dengan selebgram itu akan mengubah hidupnya selamanya.

Bersambung...

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Aug 06 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

Antara Rontgen dan Rasa [MS 3]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora