"Nggak dulu, makasih. Walaupun ibadah suka bolong-bolong, tapi aku masih berpegang teguh sama sila pertama Pancasila."

"Yee, dasar!"

"Oh, iya, Ja ... perihal lukisan, bukannya aku jadi sukarelawan, ya? Jadi karya yang aku buat pasti bakal didonasikan, tapi kenapa masih tanya-tanya lagi ke aku?"

"Alasannya cuman satu, lukisanmu terlalu indah untuk diperjual-belikan biasa dan haram hukumnya menyamaratakan harga sama seperti karya-karya yang lain. Jadi berdasarkan kesepakatan bersama dari panitia UKM Palet Warna, harus memastikan dulu ke pengkarya, beneran karyanya mau diserahkan secara sukarelawan untuk didonasikan atau dikembalikan saja. Jadinya fix lepas 23 juta, kan?"

Aku menyetujuinya. "Ya."

"Atau mau bagi rata hasil? Kalau, iya, silakan karena memang itu hak pengkarya."

"Nggak usah, Ja. Donasikan aja semuanya untuk saudara-saudara setanah air yang membutuhkan uluran tangan kita."

"Ok, deal! Thank you so much, ya, Kak Marvel! Semoga rejekinya nanti digantikan jauh lebih berlimpah sama Tuhan. Amiiin!"

Aku mengamini doa tulus tersebut dalam hati lalu bercengkerama sejenak dengan Suteja membahas lelucon. Saat panggilan akan diakhiri, kudengar namaku dipanggil oleh Suteja.

"Kak."

"Masih ada yang mau diomongin lagi, Ja?" tanyaku berusaha mencerna keraguan yang tersirat dari nada bicaranya.

"Kak Marvel masih tinggal di indekos Kaanan Mandar, kan?"

"Iya. Kenapa, Ja?"

"Berarti masih satu indekos sama Gael?"

"Iya, masih, kok. Kenapa emangnya, Ja?" Jiwa penasaranku begitu bergejolak. "Tumben tanya-tanya perkara Gael? Lagi berantem kalian berdua?"

"Boro-boro berantem, orang si Gael tiba-tiba ngilang nggak ada kabar! Dikirim pesan nggak bales, di telepon juga nggak diangkat. Sumpah njir effort-ku buat kontakan sama Gael udah kayak korban ghosting!"

Kali ini, aku yang tertawa mendengar omelan Suteja mode tantrum. Dilihat dari ritme bicara Suteja yang menggebu-gebu hingga terdengar seperti dukun yang sedang komat-kamit membacakan mantra gaib, sepertinya ia dan Gael sudah tidak berinteraksi dalam jangka waktu panjang.

Pikirku hanya satu, Apa bisa dua makhluk yang doyan tantrum hampir setiap saat itu bisa nggak berkomunikasi hingga berbulan-bulan lamanya tanpa suatu alasan? Jika terjadi perselisihan perihal crush yang ditaksir, memang masuk akal. Mengingat baik Suteja atau Gael sama-sama menyukai satu orang yang sama dan rumornya yang mereka taksir, Suri, naksir berat sama Gael. Masa sedangkal itu pertemanan mereka pegat cuman perkara wanita?

Di sela-sela asyiknya pembicaraanku dengan Suteja, samar-samar runguku yang lain menangkap adanya suara langkah orang mondar-mandir di depan pintu kamarku layaknya orang yang sedang kebingungan. Atensiku langsung beralih dari layar laptop yang menghitam karena mode sleep, ke arah pintu. Sekon ke depan, suara langkah itu berhenti, disusul dengan suara ketukan pintu kamar yang berima sebanyak tiga kali. Lewat peep hole, aku melihat seorang laki-laki tengah yang menjadi topik panas dalam perbincanganku dengan bocah tantrum lewat telepon, berdiri di depan sana sambil melambaikan tangan.

"Bentar, ya, Ja," ucapku memotong pembicaraan Suteja yang lagi asyik-asyiknya membahas wanita idaman.

Tanpa menutup panggilan, aku meraih gagang pintu dan membukanya dengan tempo lambat. Seperti biasa, laki-laki yang berdiri di hadapanku dengan setelan santai berupa kaos oblong dan boxer komprang favoritnya, sedang cengar-cengir layaknya orang bodoh sambil mengayun-ayunkan plastik bening berisi kue kembang goyang.

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Where stories live. Discover now