Bagian 3: Rumah Hijau (1)

1 0 0
                                    


Alfa celingak-celinguk. Suasana rumah itu tampak begitu sepi. Hanya terdengar semilir angin yang membawa beberapa dedaunan kering. Pak Camat menggaruk kepalanya. Rupanya, tuan rumah sedang tidak ada di tempat. Para anggota KKN kemudian memutuskan menunggu di warung kopi yang berada tidak jauh dari rumah tersebut. Adapun Pak Camat dan Ayah Salma mengobrol di depan warung.

"Pisang gorengnya ada yang baru nggak, Bi? Udah dingin, nih." Ranti bertanya kepada Bibi pemilik warung.

"Ada, Neng. Tunggu sebentar!" ujar Bibi sambil mengangkat pisang goreng dari penggorengan dan menaruhnya di atas piring.

Jack menutup mata sekejap. Badannya terasa pegal dan lelah. Ketika membuka mata dan hendak mengambil pisang di piring, dia terkejut karena pisang gorengnya sudah raib.

"Lah ... pada ilang ke mana ini pisang goreng? Ditinggal ngedip doang langsung ilang ...," gerutu Jack.

Ketika menengok ke sisi kirinya, dia melihat Ranti dan Arlanda yang sibuk mengunyah pisang goreng.

"Oh, lo berdua yang ngambil ... kira-kira, dong! Kita jadi nggak kebagian tau! Dasar kemaruk!" gerutu Jack.

"Tenang aja, Den. Masih banyak. Bibi gorengnya banyak," ujar Bibi sambil tersenyum. Kedua tangannya sibuk membalik-balikkan pisang berwarna cokelat keemasan dari atas wajan yang panas.

"Eh iya, Bi. Tapi, nama saya bukan Den. Nama saya Jack."

"Joko, kale?" Arlanda menimpali ucapan Jack.

Jack terkesiap mendengar ucapan Arlanda. "Lo nurunin pamor gue. Nama gue Jack tau!"

"Oh, Den Jack? Meni lucu." Bibi itu menertawakan tingkah laku Jack yang tidak terima dengan sebutan Joko.

"Ih, si Bibi ... udah dibilangin nama saya bukan Den ...." Jack bersikukuh.

"'Den' itu nama panggilan sayang buat anak laki-laki tau! Dari kata dari 'raden' atawa juragan," sahut Ranti.

"Leres, Neng." Bibi pemilik warung menimpali sambil mengacungkan jempol ke arah Ranti.

"Oh, gitu ya. Kirain gue kudu ganti nama lagi," ujar Jack sambil tertawa.

"Ngomong-ngomong, lo emang cocok dipanggil juragan ... juragan telor dinosaurus ...." Goda Arlanda.

Meledaklah tawa geng KKN itu. Bibi pemilik warung hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat tingkah polah anak-anak metropolitan itu.

"Bi, Abah Karman itu bekas pegawai rumah sakit atau dinas kesehatan gitu, ya?" tanya Alfa kemudian.

"Iya. Aden tahu dari mana?" jawab Bibi, heran

"Nebak aja ... soalnya itu ada mobil ambulans di depan rumah Abah," jawab Alfa sambil menunjuk ke arah onggokan mobil tua itu.

"Iya, Den, leres. Dulunya, Abah teh supir ambulans," jelas Bibi.

"Terus, kenapa mobil ambulansnya bisa ada di situ, Bi?" tanya Alfa lagi.

"Pas Ambu mau melahirkan, Abah kepingin Ambu melahirkan di rumah sakit. Sebenernya, di deket kecamatan ada bidan. Di sini juga ada paraji. Tapi, Abah tetep pengen ke rumah sakit. Abah pengen Ambu lebih nyaman soalnya Abah teh sayang banget sama Ambu."

"Ambu siapa, Bi? Ambu Nawas atau Ambu Gosok?" tanya Jack, usil.

Alfa mencubit lengan Jack.

"Awww ...! Cuma nanya ...," ujar Jack sambil mengelus-ngelus lengannya yang dicubit Alfa.

"Ah, si Den Jack mah bisa aja ...." Bibi tertawa renyah. "Ambu itu istri Abah."

"Ambu itu panggilan, sama artinya kayak 'Ibu' tau!" ujar Ranti sedikit emosi. Jack memalingkan wajah, tidak menanggapi.

"Terus ... terus, Bi?" ujar Alfa antusias.

"Nah, pas ambulans datang, Ambu sudah pendarahan. Terus Ambu dimasukkan ke ambulans. Kayaknya memang sudah waktunya ngajuru. Jadi aja Ambu teh melahirkannya di dalam ambulans itu. Ari anaknya mah selamat. Tapi ... Ambu nggak selamat ... meninggal ...," ujar Bibi denga raut muka sedih.

Para mahasiswa itu langsung terkejut saat menyimak cerita Bibi pemilik warung itu. Pisang goreng panas yang tadinya nikmat tiba-tiba jadi terasa pahit. Sesekali, mereka menoleh penasaran ke arah ambulans tua itu.

"Mobil ambulans itu akhirnya diminta sama Abah dari pihak rumah sakit," terang Bibi.

"Buat mengenang Ambu kali, ya, Bi? Kan, katanya Abah sayang banget sama Ambu," ujar Ranti.

"Kurang tau, Neng. Da pokona mah, dibeli aja ...."

"Terus, kalau anaknya sekarang ke mana, Bi?" tanya Ranti.

"Tinggal di kota, jadi pegawai dinas kesehatan."

Ranti manggut-manggut. "Terus, sekarang Abah tinggal sendiri?"

"Iya ... katanya si Abah teh suka diam di teras ... sambil mandangin mobil itu lama-lama. Kalo ada anak kecil yang main-main di sekitar situ, suka dicarek sama Abah."

"Dicerek ... apa, Bi?" tanya Arlanda.

"Dicarek, Den, dimarahin," jawab Bibi.

Lima sekawan itu mengangguk-angguk kecil. Tatapan mereka menuju ke arah ambulans tua yang menyimpan cerita kelam itu.

Hantu AmbulanceuWhere stories live. Discover now