[Marvel]
Bun, trust me.
Aku bakalan baik-baik aja di Malang.

[Marvel]
Jadi bunda sekarang mending istirahat, ya? Bunda bakal jadi satu-satunya orang pertama yang menerima kabarku setibanya di Malang.

[Bunda]
Iya, bunda istirahat sekarang.

[Marvel]
Selamat malam, Bunda.
Semoga mimpi indah.

Atmosfer petang yang kerap kali dianggap begitu akrab dengan sunyi, perlahan mulai digoyahkan dengan bunyi mesin kereta api yang berdenting cemas dan dentuman yang memekakkan telinga sesaat, sebelum akhirnya kereta api mulai bergerak merangkak secara perlahan meninggalkan Stasiun Gambir yang temaram. Di kejauhan, bisa kulihat jelas sekumpulan makhluk tak kasatmata yang mengekoriku beberapa waktu lalu, kini tengah berdiri mematung dan berbaris menatap ke arah kereta api yang berlalu di sepanjang peron Stasiun Gambir seolah-olah sedang mengantarkan kepergianku meninggalkan kota metropolitan ini.

"Marvella."

Sepatah kata yang tertangkap oleh rungu, lantas membuatku berpaling ke arah pemilik vokal tersebut. Tepat di depanku, ada sosok makhluk tak kasatmata wanita dengan wujud transparan-yang memiliki paras hampir mirip denganku-sedang duduk di kursi kereta api tak berpenghuni tersebut. Wajahnya terlihat ceria memandangi gemerlap manik-manik lampu rumah dan bangunan yang letaknya begitu jauh, membuat bangunan-bangunan yang harusnya terlihat besar tersebut berubah layaknya jajaran miniatur atau bahkan bisa diumpamakan layaknya bintang-bintang yang menghiasi dirgantara.

Melihat responsku yang masih bergeming, membuat makhluk tak kasatmata bernama Marvella tersebut mengulangi ucapannya. Namun, kali ini lebih detail.

"Marvella, itu namaku."

Aku menatapnya sekilas lalu mengangguk singkat, sebelum akhirnya kembali membuang muka menatap ke luar jendela. Sepasang kakinya yang bergoyang dan sesekali mengetuk deck kereta api, kini berhenti.

"Tidak hanya paras kita berdua saja yang hampir mirip. Akan tetapi, nama kita juga mirip. Bahkan tanggal lahir kita berdua juga sama, 1 Januari tahun 2000, kan?" Aku kembali menatap ke arahnya, kulihat makhluk tak kasatmata itu tersenyum simpul ke arahku. "Marvelion dan Marvella, putra dan putri kembar dari pasangan suami-istri yang saling mencintai bernama Manggala dan Mervysa. Benar, kan?"

Dahiku mengernyit ketika mendengar kalimatnya barusan, Apa dia bilang?

"Sepertinya kamu nggak percaya dengan ucapanku. Namun, fakta kalau kita berdua adalah kembar, memang benar adanya. Jika kamu nggak percaya, kamu bisa memastikannya langsung ke bunda besok pagi karena sekarang bunda pasti sudah tidur."

"Jika memang benar begitu, mengapa bunda nggak pernah cerita?" tanyaku. Untuk pertama kalinya aku melewati batas, yaitu memilih untuk berkomunikasi lebih jauh ketimbang pura-pura tidak melihatnya.

"Menceritakan tentangku sama saja menggali luka lama yang bersemayam di hati bunda kita berdua. Asal kamu tahu saja, saat kita berdua lahir ke dunia, kamu adalah satu-satunya yang beruntung karena terlahir dengan selamat. Sedangkan aku, memang dilahirkan ke dunia, tapi dalam kondisi nggak selamat karena kelainan jantung."

Rasanya degup jantungku berhenti sejenak ketika mendengar ucapan Marvella. Ada perasaan nyilu yang mengakar di dadaku saat itu juga. Walaupun Marvella menyampaikannya dengan raut wajah santai, tapi sorot mata penuh kesedihan itu tidak bisa berbohong.

"Kamu nggak perlu mengasihaniku, apalagi merasa bersalah karena aku nggak bisa lahir dengan selamat. Semua ini sudah takdir Tuhan dan aku menerima takdir itu. Sebagai saudara kembar yang lahir lebih dulu dua menit, bukankah sudah menjadi suatu kewajibanku sebagai kakak untuk menyelamatkan adiknya?" ujarnya yang membuat dadaku terasa sesak.

Keheningan kembali menyergap, membuat gerbong kereta api terasa makin dingin menusuk kulitku layaknya jarum akupuntur. Baik aku atau Marvella, kami berdua memilih untuk tidak melanjutkan percakapan lebih lanjut. Di depanku, Marvella kembali ceria memandangi malam, kaki dan kepalanya bergoyang pelan seolah-olah sedang mendengarkan musik yang menemani perjalanannya. Sedangkan aku, lebih memilih untuk menarik ritsleting jaket yang kukenakan hingga sampai ujung tudung. Dalam persembunyian dan di balik mata yang terpejam, air mata seketika meluruh membasahi pipiku layaknya rinai hujan.

"Marvel, apa kamu tidur?" tanya Marvella, tapi aku memilih bergeming dan berharap ia menganggapku sudah terlelap. Tidak kunjung ada jawaban, Marvella memutuskan untuk tidak bertanya padaku lebih lanjut. "Tidurlah yang nyenyak, aku akan membangunkanmu setibanya di Malang. Have a nice dream, My Twins!"

Aku mengulum bibirku sejenak dan menjawabnya dalam hati, Have a nice dream too ... Kak Marvella.

 Kak Marvella

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Zhou Ye as Marvella

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Zhou Ye as Marvella

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Donde viven las historias. Descúbrelo ahora