20. Dua Kata Beresiko

52 2 0
                                    

Suara sayup angin terdengar di telinga gadis cantik yang sedang duduk menunggu di bawah pohon yang rindang. Ia sendirian. Berpakaian kaos lengan panjang berwarna biru muda dengan celana kain panjang berwarna hitam.

Rambutnya selalu terlihat dicepol dengan asal-asalan, tapi itu sama sekali tidak mengurangi kecantikannya.

Sesekali kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri. Mencari keberadaan seseorang yang sedang ia nanti-nanti dari tadi. Mereka sudah berjanji sejak kemarin. Kalau hari ini, bertemu saat pagi. Tapi sepertinya ia datang terlalu pagi, sampai harus menunggu beberapa menit.

Tidak masalah. Dirinya sudah lulus dalam hal menunggu. Yang sangat lama bahkan sudah ia lakukan tahun lalu. Jadi, buatnya ini masih ada di level biasa saja.

Bukan sombong. Tapi itu faktanya. Sosok Nala Dhipa yang sangat setia untuk menunggu senjanya datang. Bahkan sampai jadi perempuan gila, itu julukan darinya untuk diri sendiri.

"Nala!" Ninda Arimbi. Gadis yang baru saja terlihat tidak jauh dari tempat Nala duduk dari tadi.

Dia terlihat melambaikan tangannya beberapa kali. Seolah mengatakan, Aku di sini. Nala tidak perlu menghampirinya, karena Ninda sudah melanjutkan langkah dan mengambil tempat untuk duduk di sebelahnya.

Sebelumnya mereka berdua belum pernah sedekat ini. Terakhir Nala bertemu dengannya, ia menaruh kesal pada Ninda yang memakan donat pemberian Alta. Tapi semoga saja Ninda tidak tahu mengenai itu. Kalau di ingat-ingat, ia benar-benar malu.

"Apa kabar?" Pertanyaan klise. Bagaimana tidak? Sebetulnya hal itu tidak perlu dipertanyakan karena ia selalu saja bisa mendengar kabar Ninda dari sahabatnya, Dina. Juga beberapa dari Alta yang baru saja menemuinya beberapa hari lalu, dan Sadewa yang baru saja menceritakan hubungannya dengan Ninda waktu itu.

Tidak mau situasi ini menjadi canggung, sepertinya Ninda bertingkah seolah dia sudah lama berteman dengan Nala Dhipa. "Alhamdulillah ... kamu sendiri, gimana kabarnya?"

"Gini-gini aja. Kamu juga sudah tau banyak dari Sadewa, kan?" tebak Nala yang ternyata tepat sasaran.

Sadewa memang sudah menceritakan soal dirinya yang bertemu Nala di Yogyakarta. Laki-laki itu menceritakan semua yang terjadi padanya. Jadi, singkatnya, sebenarnya dia juga tidak perlu menanyakan kabar Nala seperti orang yang sudah lama tidak pernah bertemu.

"Soal Alta-"

"Dia sudah cerita." Nala memotong ucapan Ninda, ia tahu gadis itu akan menanyakan apa ia tahu soal pertemuannya dengan Alta di kampus beberapa hari lalu.

Semakin diperhatikan, ternyata Ninda tidak seperti yang Nala pikirkan. Gadis yang sebelumnya ia pikir ingin mendekati Alta, ternyata malah sudah menjalin hubungan dengan sahabat kecilnya sejak SMA. Semesta benar-benar memberinya sebuah kejutan yang cukup besar. Bahkan lebih besar dari sebelumnya, soal kejadian di bukit yang ia pikir akan menjadi pertemuan terakhirnya dengan Sadewa Sanjana yang sudah tidak ingin dianggap 'teman' olehnya waktu itu.

Dan semakin diperhatikan lagi, ternyata Ninda tidak sejahat bayangannya. Justru gadis itu tidak jauh beda dari sosok Dina. Polos dan bersuara halus sekali. Walau dandanannya mengingatkan ia pada sosok Indah yang sudah entah di mana dia setelah lulus SMA.

Sadewa memang tidak salah memilih orang. Setidaknya ia bisa lega karena tahu kalau Ninda yang menjadi pacar laki-laki itu sekarang.

"Jadi ... sudah dari di Bandung kenal Sadewa?" tanya Nala yang dijawab anggukan pelan oleh Ninda.

"Jana. Itu nama dia waktu di Bandung," ucap Ninda, "Aku mulai suka Jana dari awal ketemu dia di samping lapangan sekolah. Waktu itu binar matanya benar-benar sukses buat aku jatuh cinta."

Hujan Untuk BumiWhere stories live. Discover now