Chapter 23. Harus Jujur

Start from the beginning
                                    

Mendengar nama Freyana saja sudah membuatku tidak bersemangat. Aku tidak melihatnya sudah dari kemarin. Demi menghargaiku, dia tidak berani tidur di ranjang dan memilih berada di sofa luar kamar. Aku selalu berangkat dan pulang lebih awal darinya. Sebelumnya, ia selalu mengirimiku pesan untuk memaksaku menunggunya atau menanyakan keberadaanku. Karena aku selalu menghindar, akhirnya ia berhenti melakukan itu dan mencoba mengerti keadaanku.

Dia pasti sangat kebingungan sekarang karena tingkahku yang sulit dimengerti ini. Aku sangat egois kali ini.

"Kamu baik-baik aja?", Jessi menyentuh pergelangan tanganku yang membuatku terkejut mendapatinya.

Pertanyaan itu membuat alam bawah sadarku yang terluka otomatis merespon tanpa bisa menahannya. Air mataku menumpuk di pelupuk mata dan beberapa detik kemudian mulai terjatuh ketika sedang menatap wajah Jessi. Aku kaget dan buru-buru mengusap wajahku dan membuang muka darinya.

Belum sempat Jessi menimpali, antrian pasien membuatnya tidak bisa bertanya kepadaku. Aku menunduk sembari memperbaiki anak rambut agar menutupi kelopak mataku serta kembali bekerja seperti tidak ada hal yang terjadi.

*SKIP*

Jessi menyuruhku berada di ruang rest area hingga shift-ku selesai. Meskipun ia tidak bisa menemaniku sekarang, ia sangat peduli kepadaku. Aku merasa tidak nyaman diperhatikan seperti ini, karena ia terlalu baik. Aku memutuskan untuk kembali ke meja kerja setelah 1 jam memperbaiki mood.

Ketika aku berjalan melewati koridor ruangan, seorang perawat menghampiriku dengan terburu-buru dan meminta tolong kepadaku untuk mengantarkan dokumen ke ruang laboraturium dengan segera. Sepertinya, ia sangat sibuk hari ini. Aku mengiyakan permintaannya dan bergegas menuju laboraturium untuk bertemu dengan sang laboran yang menjaga disana.

Kebetulan yang terduga, Kak Indah sedang bekerja dengan mesin analisisnya. Tumpukan dokumen disampingnya membuatku tak bisa tidak membelalakan mata begitu melihat beberapa gunungan dokumrn disana. Apa hanya ia yang bekerja menyelesaikan ini?

"Oh, Fiony! Ada pasien lagi kah? Hari ini banyak sekali ya yang meminta data test lab. Mana lagi sendirian"

Aku merasa iba melihatnya. Pasti melelahkan bekerja seperti itu. Teringat bagaimana Freyana dulu sibuk sekali menemani dokter spesialis saat menjadi koas. Semua tugas dan rekam medis pasien dilimpahkan kepadanya. Aku tidak mengerti mengapa gadis itu bisa sekeren itu menangani banyak pasien dengan sangat cekatan.

Duh, aku memikirkannya lagi.

"Hm? Tumben gak jawab apa-apa. Kalo ngelamun gini tandanya pasti lagi ada masalah", Kak Indah memandangiku dengan senyumnya yang menawan itu.

Ia masih bisa tersenyum meski keringat lelah membasahi pelipisnya.

Aku mendengar suara heels familiar yang datang memasuki ruangan laboraturium. Perawat Ashel meletakkan dokumen ke atas tumpukan yang hampir jatuh itu, kemudian tersenyum tajam kepadaku. Entah mengapa, aku sangat tidak menyukainya.

Tak lama, seseorang masuk lagi ke dalam laboraturium dengan perlahan dan membuatku sedikit tertegun saat melihatnya. Freyana dengan kacamatanya. Matanya langsung mengarah kepadaku, tidak menghindar sedikitpun meski dokumen yang dipegangnya sudah diletakannya di meja Kak Indah.

Tiba-tiba Ashel berdehem dan berjalan dengan tergesa-gesa menemui Freyana. Di tengah langkahnya itu, heels-nya saling beradu dan akhirnya terpeleset tepat mengenai Freyana. Tentu saja, perempuan berjas dokter itu spontan menahan tubuh Ashel yang lunglai karena hampir terjatuh ke badannya.

Cih, drama bocah macam apa ini

"Yaampun, Dokter Freya terimakasih banyak. Kalau gak ada dokter, pasti saya sudah terluka"

Jelas-jelas kamu yang sengaja nyamperin?!

Freyana masih mengarah kepadaku, ia spontan melepas tangannya dari tubuh Ashel kemudian memasukkannya ke dalam saku jas.

"Berhati-hatilah. Kamu bisa bikin salah paham disini", ujarnya sambil memandangiku.

Persetan dengan niatmu itu, sentuh ya tetap sentuh. Aku tidak menyadari bahwa Kak Indah sedari tadi memandangi kami bergantian dengan raut wajah yang mencoba menelisik mencari tahu sesuatu.

Ketika aku hendak pergi dari ruangan, Freyana buru-buru menghampiriku, "Piyo, apa kita bisa bicara?"

Ia menggenggam kuat tanganku. Aku merasakan tatapan matanya yang begitu menginginkanku menjawab permintaannya. Namun, aku tidak mempedulikan pandangan sekitar. Aku melepas paksa genggaman tangan itu. Toh, semua orang disini juga sudah tau mengenai hubunganku dengannya. Buat apa berpura-pura seperti orang tidak dekat? Ah, atau bisa juga disebut tidak saling kenal?

"Piyo, please. Kali ini kamu harus dengerin aku. Aku gak mau kita diem-dieman selama ini"

Aku menuntunnya ke lobi rumah sakit dan mencari tempat yang lebih sepi yaitu parkiran mobil. Aku membalikkan tubuhku menatap Freyana dengan seksama.

"Oh ya? Sekarang jelasin, siapa itu Ashel, kenapa gak mau jujur dari lama, dan kenapa harus bohong kalau keluar dan mabuk sama orang lain?"

Freyana mengerutkan dahinya, "Jujur dari lama, maksud kamu apa? Aku gak ada hubungan apa-apa sama Ashel"

"Gitu ya? Terus, dia siapa? Cuma perawat baru yang kamu kenal udah dari lama? Gitu?"

Freyana menarik kedua tanganku sambil menatapku dengan kedua matanya. Seperti sedang mengisyaratkan kepadaku untuk tetap tenang dan tidak terbawa emosi saat membicarakan masalah ini.

"Dokter Adel yang mengajakku, aku sama sekali gatau kalo ada dia disana. Sumpah. Aku sama sekali gatau"

Masuk akal. Sedikit. Tapi, tetap tidak bisa ku terima. Ucapan Ashel tempo lalu.. tentang dia yang lebih lama mengenal Freyana..

"Bohong"

Kataku.

Aku melepas genggaman tangannya dengan ekspresi serius yang memudar menjadi kesedihan yang teramat dalam.

Freyana memandangiku dengan keheranan. Memaksaku untuk tetap berdiri disini bersamanya, meski aku melepas semua tali yang ia coba rakit terhadapku. Ia akhirnya menarikku ke dalam pelukannya. Aku menangis cukup kencang disana dan aku tetap meronta untuk membuatnya melepaskan rengkuhan itu.

"Ashel lebih lama kenal kamu di banding aku, 'kan?"

Ucapku yang langsung memperhatikan perubahan mimik muka dari Freyana. Perempuan itu, seperti sesuatu bergetar di dalam tubuhnya. Seperti kejatuhan fakta yang tak bisa ia hindari. Hanya dengan memandangku menggunakan tatapan tidak percayanya itu, aku sudah tau. Kalau semua ucapan Ashel adalah benar.

"Tch, bodoh banget aku kaya gini dua kali", aku bersumpah serapah dihadapannya yang masih mencoba mencerna perkataanku.

"Tunggu. Ini gak kaya yang kamu pikirin, Piyo. Aku gak ada selingkuh sama sekali! Demi apapun, aku gak akan pernah lakuin itu"

Aku melepas rengkuhannya dan menjauh darinya.

"Lalu? Siapa emangnya?"

Ia tidak bisa menjawabnya. Aku yakin itu. Wajah Freyana yang tertekan, bingung, dan kalut. Aku tau ia tidak akan bisa menjawab pertanyaanku. Aku berdecih lagi melihatnya.

"Aku sangat yakin kalau kamu gak akan pernah bisa jujur sama aku"

Freyana menarik tanganku lagi, "Aku jujur, Piyo! Aku gak ada selingkuh!"

"TERUS DIA SIAPA?", aku berseru.

Freyana lagi-lagi hanya diam. Ia menunduk. Parkiran yang sepi ini mendadak menjadi tegang karena kami. Emosi dan bulu kudukku menjadi membara karena pertengkaran kami kali ini.

"D-Dia.."

"Fre, kita break dulu aja ya".

Bersambung...

FREYANAWhere stories live. Discover now