Chapter 2. Rencana Dinas

1.1K 90 4
                                    

Fiony berjalan sendirian membawa beberapa lembar kertas berisi data pasien yang akan di berikan ke laboratorium. Melewati ruang inap pasien dengan aroma khas yang membuatnya sadar bahwa inilah kehidupannya. Cita-citanya memang bukan menjadi penerima pasien selayaknya yang ia kerjakan sekarang.

Di ujung koridor rumah sakit, sesampainya Fiony di depan ambang pintu laboraturium ia terdiam sebentar. Dari arah kaca pintu, Indah sang laboran sedang sibuk di meja kerjanya.

"Sore bu laboran, hihi"

Tawa kecil perempuan berambut sebahu itu mengejutkan Indah. Ia menghela nafas lelah sambil menggelengkan kepala pelan. "Mana dokter Freya?", tanyanya sembari menaikan alis.

"Biasa~"

Fiony memasuki laboraturium, kemudian meletakkan lembar kertas yang sebelumnya perintah dari Freya itu sambil mengamati betapa penuhnya meja kerja Indah.

Indah memperhatikan data pasien yang di beri Fiony, "Hm? Tumben segercep ini deh", gumam Indah melihat nama pasien serta tujuannya mengecek urin dan darah.

"Kaya gatau Freyana aja", Fiony mendesah sebelum melanjutkan ucapannya. "Ga berubah ya dari jaman kuliah?"

Indah mengangguk. Indah dulunya adalah dosen pembimbing seorang gadis yang kini menginjak gelar dokter itu. Kini mereka bertemu kembali di atap yang sama dan pekerjaan yang selaras dengan yang mereka pelajari. Fiony mengenalnya karena sering membantu riset Freya saat mengambil skripsi serta tugas akhir lainnya.

"Kamu juga, gimana hubungan kalian?"

Indah melanjutkan aktivitasnya, pertanyaan yang membuat Fiony gelisah tersebut di biarkannya. Seakan tahu dan sengaja dengan hal itu.

"Kak Indah tau ga, besok aku ada dinas sama Muthe"

"Ih pertanyaanku gak di jawab"

"Gak mau jawab"

"Fioo..?"

Fiony mengerang sendiri, dia malu. Selalu begitu setiap membicarakan Freya. Pasalnya, Indah mengetahui hubungan mereka semenjak perkuliahan. Tapi, apakah terasa aneh jika dosenmu menanyai hal sesensitif itu? Meskipun sudah bukan dosen dan mereka sudah berteman bertahun-tahun, tetap saja rasanya aneh bukan?

"Kak Indah wakilin aku ya besok tapi?", Fiony bersungut-sungut. Dia tidak suka dengan direktur rumah sakitnya yang selalu menyarankan dirinya untuk bepergian dinas dengan alasan menemani Muthe sang sekretaris.

"Iyaa itu masalah gampang"

Meskipun dari nada suaranya tak menunjukan kesediaan, perempuan cantik dengan senyum manis khasnya tersebut mengetahui bahwa Indah tak akan mengingkari janjinya. "Kami pindah apartemen, sekitar 6 bulan yang lalu", jawab Fiony yang memalingkan pandangan matanya untuk terlihat tidak salah tingkah.

"Rencana mau cuti ke bali, kak Indah mau ikut? Barangkali ajak kak Jess"

¤¤¤¤¤

Malam mulai menggantikan warna langit yang cerah menjadi gelap. Rumah sakit tidak pernah sepi. Jam kerjaku telah selesai, namun Freyana tidak. Mau tidak mau menunggu lagi.

"Woiii aku seneng banget, Fiooo"

Jessi datang dengan wajahnya yang lebih sumringah dari biasanya, kulihat tangannya bergetar hingga tak sengaja menjatuhkan handphone yang padahal di genggamnya kuat tadi. "Kenapa hei? Hati-hati".

Seruku keheranan, ia memejamkan mata dan mulai menarik nafas perlahan untuk menenangkan diri.

"Dokter Indah suruh aku ikut dinas besok bareng Muthe!"

Ia berbisik namun dengan nada yang tinggi, saking excited-nya sampai menggoyang-goyangkan kedua bahuku. Seseorang datang dari belakang.

"Ngapain?", itu suara Freyana. Ia datang sambil mengerutkan dahinya.

"Dokter Fre!!! Aku seneng bangetttt"

"Kenapa? Kenapa sama Fiony?"

"Aku mau dinas"

"Sama Piyo?"

"Muthe!"

Masih dengan wajah tak mengertinya, Freya hanya menggindikan bahu lalu memberikan jas dokternya kepadaku. Aku tertawa kecil mengambilnya. "Heh, kok ga tertarik sih"

Jessi merengut mendapat respon dari Freyana. Perempuan itu malah menyodorkan es kopi yang masih baru ke arahnya.

"Kami pulang, semoga sukses besok"

Freyana menggandeng lenganku dan buru-buru pergi meninggalkan Jessi. Meski terasa jahat, aku bisa mendengar gadis yang masih dengan seragam resepsionisnya tadi berteriak senang mendapat dukungan dari Freyana. Jessi diam-diam mengagumi Muthe, sekretaris direktur. Dan kebetulan yang kesekian kalinya, Muthe adalah ipar dari kakakku. Namun, kami tak sedekat itu.

"Kenapa gak kasih tau aku duluan kalo ada dinas? Kenapa Indah?"

Ia tidak menatapku sepanjang jalan keluar dari rumah sakit menuju parkiran mobil. Aku menggaruk kepala bingung harus menjawab apa. Karena aku berpikir hal seperti itu tidak penting untuk di ceritakan.

"Pak direktur yang suruh", balasku seadanya. Aku tau Freyana tidak suka basa-basiku yang membuat moodnya menjadi jelek. Ia membukakan pintu mobil untukku, kemudian berjalan ke pintu sebelahnya tanpa mengucapkan apapun.

"Aku bilang kak Indah juga biar di ganti, aku gak mau"

Tapi, lagi-lagi hanya keheningan yang lewat. Freyana menghidupkan mobil sambil mencuekiku. Mengendarainya dan keluar dari tempat parkir, ia mulai mengambil nafas kuat-kuat.

"Lain kali kasih tau aku dulu", dia masih tidak menatapku. Namun, air mukanya nampak lebih sendu.

"Maaf"

Sambutku padanya. Ia tidak menjawab.

"Movie night nanti malem deh", aku mengerlingkan mata jahil.

Ia menoleh sambil menarik kedua ujung bibirnya. Ia setuju. Aku ikut tersenyum kecil melihatnya.

Bersambung...

FREYANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang