"Atau mau aku bikin Adel beneran pindah ke Aussie?"

"Lo gila, Fre!", sentak Ashel secara spontan.

"Berhenti cari gara-gara"

Sudut mata Ashel berkedut ketika melirik bibir Freya yang saling menarik ujungnya untuk menampakkan sebuah senyuman.

Ashel geram, "Asal lo tau, gue bisa kemana aja sesuka gue"

"Stop jadi pengacau"

Ashel tertawa sepintas mendengar ancaman yang kesekian kalinya dari dokter yang kini memulai perdebatan dengannya tersebut. Ashel mengangguk perlahan sambil berdehem mencoba menguasai situasi, ia memberikan tatapan remeh kepada Freya.

"Yang sebenarnya pengacau itu.. gue apa lo?"

Freya terdiam. Ia merasa sesuatu yang berat menimpa tubuhnya sehingga tidak bisa bergerak merespon ucapan gadis dengan tabiatnya yang terlihat buruk tersebut.

"Jangan macem-macem..", ujar Freya lirih.

"Lo 'kan, Fre. Lo bisa apa dengan ngancem gue? Apa harus gue yang datang sendiri terus ngomong?"

¤¤¤¤¤

Hah. Tiada hari tanpa ber-hah-ria. Tetapi, sangat relate untuk kita yang sudah mulai disibukkan dengan kenyataan bahwa menjadi orang dewasa itu sangat melelahkan. Siapa sangka kalau bekerja itu tidak semenyenangkan saat kita masih kanak-kanak, membayangkan bahwa menjadi wanita karir, merasa excited di depan layar komputer karena terlihat elegan. Sepertinya aku terlalu berekspektasi banyak di masa kecil bahwa ku pikir kehidupan orang dewasa itu asyik.

Hari ini kopi dingin di meja kafetaria terasa sangat hambar. Meski membeli double-espresso pun, sepertinya tidak akan mengubah suasana hatiku saat ini. Yang ada malah kena maag. Duh, aku jadi banyak mengeluh karena mood-ku sangat jelek hari ini. Tapi, pernahkah kalian merasa sangat kecewa tapi tidak bisa menangis? Ya, itulah yang kurasakan sekarang. Aku begitu mati rasa untuk menikmati hari ini.

Terlalu banyak suara yang ada di kepala hingga membuatku merasa ingin melepasnya saja. Aku merasakan kehadiran seseorang ketika aku sibuk dengan perasaan gundah gulana ini.

"Fio? Sakit kah?"

Ah, Dokter Adel. Dia baik sekali mengunjungiku di jam sibuk dokter begini. Harusnya ia dan yang lainnya berada di ruang rapat sekarang. Kudengar direktur ingin membicarakan tentang pengalihan pimpinan yang akan diberikan kepada putranya, Pak Oniel. Syukurlah ia akan memegang cabang yang lain, aduh harusnya aku tidak boleh bilang begini. Namun, cukup menjadi selebrasi kepadaku yang akhirnya berhenti menjadi asisten direktur untuk menemui klien.

"Fio?", Dokter Adel menegurku kembali.

"A-Ah, maaf dokter. Saya baik-baik saja, maaf agak mengantuk sedikit"

Dokter Adel bergumam, "Hmm, Fiony. Kamu harusnya tau kalau kamu gak pandai berbohong"

Aku menatap wajah perempuan berambut pendek di depanku itu dengan tatapan terpesona. Secepat itu ya dia mengenaliku? Meski kalimat itu pernah kudengar sebelumnya dari seseorang yang membuatku patah hati hari ini.

"Dan juga.. kamu terbiasa formal ya kalo sama orang lain? Atau aku kamu anggep orang asing, hm? Rasanya agak sedih ya ngelihat kamu santai sama yang lain"

Aku spontan menyipitkan mataku dengan dahi yang berkerut mendengar pertanyaannya. Duh, kecanggungan apa ini. Kenapa aku merasa sudah menyakiti perasaan Dokter Adel begini. Ternyata dia orangnya sangat interaktif dan suka sekali dengan feedback orang lain. Yang dimana itu adalah kelemahanku dalam bersosialisasi. Itulah kenapa aku hanya akrab dengan orang-orang itu saja.

"Fio? Oke, kamu banyak melamun ya hari ini"

"Duh, nggak kok, Dokter Adel. Maaf ya, kayanya aku lagi kecapean banget. Hari ini juga agak berat, jadi aku malah bikin percakapan ini kelihatan gak menarik"

Dokter Adel tertawa dengan riang, "Santai aja. Aku cuma mau godain kamu. Kasihan ngelihat kamu ngopi sendirian di jam kerja kaya gini"

Aku mengusap pipi dengan perlahan karena salah tingkah. Ternyata banyak orang yang memperhatikanku ya, agak seram. Malu sih lebih tepatnya.

"Mau ke taman kota? Kalo sore begini biasanya ada orang jualan balon tau"

Aku sedikit bingung ketika Dokter Adel menawarkanku untuk pergi bolos dari jam kerja. Maksudku, apa dia sedang berusaha mendekatiku? Apa jangan-jangan penglihatanku tidak salah waktu itu kalau Dokter Adel dan Ashel punya hubungan yang disembunyikan?

"Ayo deh. Habis ini jadi gak banyak melamun"

Ia menarik tanganku untuk berjalan menuju parkiran tanpa pikir panjang. Jelas saja membuatku kaget namun tidak bisa menolak ajakan mendadak itu. Untung saja tidak ramai orang yang melihat ketika kami diam-diam meninggalkan rumah sakit. Meski aku tau Jessi akan koar-koar keseluruh ruangan untuk mencariku.

Di perjalanan kami menuju taman kota, aku melihat pantulan wajah Dokter Adel yang sedang menyetir dengan serius. Dia benar-benar berbeda ketika sedang memasang wajah serius begini. Mengingatkanku dengan Freyana yang jika sudah memasang kacamatanya, maka ia akan fokus dengan semua pekerjaan yang dia pegang. Lagi-lagi memikirkannya. Sepertinya aku mulai merindukannya. Aku merasa tidak enak hati dengan Dokter Adel yang sudah bersusah payah mengajakku keluar, tetapi pikiranku masih dengan masalah yang sama.

"Tuh balon. Atau kalo mau gulali juga ada tuh di pojok gang. Ku anterin kalo mau"

Aku menghembuskan nafas dengan pelan.

"Dok, kenapa baik sekali sama saya? eh, aku?"

Dokter Adel menoleh, matanya bersinar karena pantulan sinar matahari sore yang hangat masuk melalui sela-sela kaca jendela mobil yang sedikit terbuka. Entah kenapa aku merasa perempuan yang ada di depanku ini ingin sekali aku berada disini bersamanya. Hanya dengan tatapan itu, aku bisa membaca hasratnya yang kuat untuk membuatku nyaman berdua dengannya.

"Anggep aja aku baik karena kamu temennya Freya. Soalnya, nanti dia marah kalo gak ku anggep gitu", ia berkata sambil memalingkan pandangannya saat kalimat terakhir terucap.

Apa maksudnya itu?

Aku tidak bisa berlama-lama di luar rumah sakit. Jessi pasti sudah mencariku. Meski hanya 20 menit disini, aku sudah sedikit mendingan karena pikiranku mulai teralihkan dari hal-hal yang membuatku sedih.

Dokter Adel menuruti permintaanku yang hanya meminta pulang saja di banding menghabiskan jam kerja di luar seperti ini.

Baru saja aku keluar dari parkiran, aku melihat Muthe menarik paksa lengan Jessi sambil memberikan tatapan pilu yang menyakitkan. Sepertinya sesuatu telah terjadi diantara mereka.

"Gak bisa, Muthe!"

"Sekali aja? Bisa kan. Bisa ya, Jes. Aku usahain untuk sekali itu"

Mereka terlibat pertengkaran kecil dimana Muthe mulai menahan tangis di depan Jessi yang nampak kelelahan. Tidak tahu ia lelah karena pekerjaan atau sesuatu yang membuatnya benar-benar lelah. Tetapi, pertengkaran mereka menarik perhatianku untuk segera membuatnya berhenti.

Bersambung...

FREYANAWhere stories live. Discover now