"Aku benci diriku yang membuat ibu meninggal. Aku benci diriku yang merenggut cinta ayah. Menenggelamkan dirinya pada kerinduan yang mendalam."

Zayyan diam mendengarkan, menatap lamat-lamat pada Leo yang gemetar. Suaranya terdengar sangat lemah. Sisi Leo yang seperti ini, tidak pernah Zayyan sangka akan dia saksikan hari ini.

"Aku memang memiliki semuanya, wajah tampan, harta benda, nama baik, pendidikan, segalanya. Aku hidup serba berkecukupan. Semua orang mungkin bersedia menukar hidupnya dengan apa yang kumiliki. Tapi mereka tidak tahu, sama sekali tidak tahu, aku justru kehilangan hal terbesar dalam hidupku. Apakah aku bahagia? Tidak ada seorangpun yang menanyakan itu padaku. Hidupku dipenuhi penyesalan, Zayyan. Sejak kecelakaan itu hatiku sudah terbakar amarah kebencian, kebencian pada diriku sendiri." Leo diam lagi.

"Aku hidup dalam rasa penyesalan yang menggerogoti akal sehat. Rasanya sakit sekali, kesadaran bahwa aku sendirilah yang merenggut nyawa ibu yang amat kucinta membuat hatiku terkoyak. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang selalu ada disisiku, menemani kemanapun kaki kecilku melangkah, memberikan kehangatan tak terhingga dalam hidupku tetapi aku... aku menghilangkan kehangatan itu dengan tanganku sendiri." Leo tercekat, suaranya terputus. Tangis kembali berlinang membasahi wajahnya.

"Usiaku sebelas tahun saat itu." Leo tergugu, terisak pelan. "Sebelas tahun yang kuhabiskan penuh kehangatan, lenyap hanya dengan sekejap decitan besi menggores pembatas jalan. Benturan keras dari mobil-mobil yang bertubrukan terdengar menggema tujuh kali berturut-turut, mobil terguling, suara teriakan orang-orang diluar sana menjadi saksi aku kehilangan hal terindah dalam sebelas tahunku. Aku memeluk ibu, menangis tersedu saat darah mengalir dari tubuh ringkihnya, aku yang menyebabkan kajadian naas itu terjadi tapi ibu tidak marah. Diakhir hayatnya ibu hanya berbisik lirih, 'jangan menangis Ouyin, anak laki-laki ibu tidak boleh menangis.' Bagimana aku tidak menanggis Zayyan? Andaikan aku tidak menggangu saat ibu sedang berkendara, kejadian memilukan itu tidak akan terjadi dan mungkin kami masih berbahagia sekarang."

Zayyan menyeka ujung mata Leo. Menghapus air mata kepedihan pemuda itu dengan jarinya. Berkali-kali Leo terus menggumamkan kata, 'salahku.' dan 'pembunuh.' Zayyan menghembuskan napas berat.

"Boleh aku memberikan beberapa patah kata, Leo?"

Tidak ada sahutan, Zayyan tersenyum. "Turut berdukacita untukmu dan seluruh keluarga." Zayyan kembali mengelus lembut surai Leo. Memberikan ketenangan pada pemuda itu.

"Selalu menyakitkan saat kita membenci sesuatu, apalagi jika itu ternyata membenci orang yang seharusnya menjadi seseorang yang paling kita sayangi. Kau tau siapa orang itu Oyin-na? Dirimu sendiri, kau adalah orang yang seharusnya paling berhak untuk mendapatkan cintamu. Tapi kau bilang membencinya." Zayyan terdiam sejenak. Menatap lembut Leo di hadapannya.

"Pada dasarnya kau benci dirimu sendiri karena kau merasa tidak kuasa mencegah peristiwa mengenaskan yang menimpa kalian, lalu mulai berpikir bahwa kau lah yang membunuh ibumu." Zayyan mengganguk pelan. "Kau hidup dalam belenggu itu, aku bisa memahaminya. Bila jadi kau pun mungkin aku akan merasa begitu, sakit sekali.. itu pasti. Kehilangan memang sangat menyakitkan, didepan mata pula, aku bisa membayangkan rasa sakitnya karena aku juga pernah merasakan."

"Aku bangga padamu Oyin-na, kau bisa bertahan sejauh ini dengan beban seberat itu, sendirian. Kau luar biasa, sungguh..."

"Tapi jika boleh aku memberikan sedikit pendapat. Hanya satu yang ingin kukatakan, berdamailah Oyin-na. Kau sudah berjuang sedemikian rupa, kau berhak atas kedamaian di dalam hati."

Leo berkaca-kaca. Air matanya yang sempat terhenti kini hampir terjatuh lagi. Leo ingin, dia ingin mendapatkannya tetapi kedamaian itulah yang tidak pernah datang ke dalam hatinya. Tidak peduli sekeras apapun usahanya untuk melupakan, runtutan peristiwa mengenaskan itu justru semakin keras menghujam ingatannya, rasa bersalah lagi dan lagi, kembali menyeruak didalam dada. Leo tersiksa, sungguh.. semua itu membuatnya gila.

Memories [ Zalesing ]Where stories live. Discover now