6 : Saira dan Iblis Baik Hati [END]

48 12 27
                                    

◖⚆ᴥ⚆◗

"Apa yang kamu lakukan tadi malam?"

Ira yang tengah menyeruput kopinya, mengumpat kesal karena kegiatan nikmatnya harus terganggu oleh kedatangan laki-laki menyebalkan itu. Wanita cantik itu bergerak tak acuh lalu mengambil remot untuk menghidupkan televisi. Kemudian duduk di sofa nyaman, mencoba melenturkan tubuhnya yang terasa lelah tetapi juga segar di saat yang bersamaan.

Laki-laki itu berkacak pinggang, sebal karena tidak diacuhkan. "Aku tanya, kamu ke mana tadi malam? Kamu tidak bekerja?"

Ira yang masih sibuk menggeser-geser saluran berita memutar bola matanya malas. "Bekerja versiku," jawab wanita itu bertepatan dengan munculnya saluran televisi yang dia cari-cari sejak tadi.

Laki-laki yang sudah terlalu lelah meladeni Ira hanya bisa berdecak, lalu ikut duduk di sebelah wanita itu. Sebuah acara berita menampilkan kasus menggemparkan di awal pagi yang cerah ini.

"Seorang anak ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa di tengah pekarangan milik salah seorang warga Desa X. Polisi telah menentapkan satu pasangan suami istri sebagai tersangka. Keduanya mengaku tidak sengaja membunuh korban berinisial K, berusia 11 tahun, yang memergoki pertengkaran keduanya akibat perselingkuhan sang istri.... "

"Tahun baru masih satu hari dan manusia sudah tidak ada yang waras."

Ira menoleh ke samping. "Kamu sedang menghina dirimu sendiri, sayang?"

Laki-laki itu membeku kemudian terkekeh singkat. "Hidup lama bersamamu membuatku lupa kalau aku juga manusia."

"Rendi (29) dan Mawar (28) merupakan pasangan suami istri yang sudah menikah selama sepuluh tahun dan memiliki salah seorang putra.... "

"Kasihan sekali."

"Siapa yang kasihan?"

Laki-laki itu mengedik ke televisi yang masih menampilkan berita yang sama. "Mereka. Anak perempuan kecil yang terbunuh dan anak laki-laki dari kedua pembunuh itu. Setelah kedua orangtuanya masuk penjara. Anak laki-laki itu akan sendirian, pasti akan dititipkan di panti asuhan."

"Kenapa harus kasihan?" celetuk Ira sambil menyeruput kopinya.

"Lihatlah, dia bahagia karena tidak memiliki orang tua. Dia akhirnya bisa masuk ke panti asuhan. Lebih baik tidak punya daripada punya tapi tidak merasa punya."

"Maksudmu?"

"Itu lebih baik daripada dia besar di tengah manusia labil yang belum siap menjadi orang tua. Kesalahan yang mereka buat malah meyakiti anak tak berdosa. Yang satu menginginkan orang tua, sedangkan yang satu tidak ingin orang tua. Sungguh ironi."

"Untung saja aku bersedia menolong mereka," ucap Ira tersenyum sumringah.

Hening sejenak, laki-laki itu awalnya tidak paham maksud dari perkataan Ira sebelum otaknya berhasil merangkai suatu alur kejadian sehingga didapat sebuah kesimpulan.

"SAIRA!"

"Kenapa kamu harus membunuh salah satunya?" geram laki-laki berambut cokelat itu.

"Kenapa?" Ira memiringkan kepalanya ke kanan, dengan nada bertanya, "Karena aku tidak menemukan garis takdir dia akan menemui orang tua yang baik. Jadi, kenapa dia tidak terjebak di dalam sebuah mimpi bahagia yang kuciptakan saja selamanya?"

Ira menyeringai dengan manis. "Sekaligus obat awet muda untukkku. Aku tidak mungkin menolong tanpa imbalan, bukan? Kamu pasti tahu itu."

Laki-laki itu melongo tidak percaya. Hidup selama tiga tahun dengan wanita itu tidak membuatnya terbiasa dengan kejutan-kejutan yang dibawanya.

"Dasar iblis wanita," umpatnya kecil.

Saira menyunggingkan senyum lebar, bukan senyum indah yang dia ulas di hadapan bocah bernama Bonan dan anak-anak panti asuhan. Senyum kali ini adalah senyum yang sangat tajam, melebar seram sampai ke mata. Manusia mungkin bisa berharap, tetapi iblis juga bisa mencuri harapan mereka.

"Setidaknya, aku iblis yang baik, Dani." [END]









Catatan (boleh diabaikan)
Cerita ini dibuat saat aku ingat kegiatan berkunjung di suatu panti asuhan. Waktu itu kita berlima main di sana, seruu sekali, mereka anak yang baik-baik. Ramai dan berisik. Seneng gendongnya. Terus pas di jalan pulang, temanku ada bilang, orang tua yang buang/nitipin mereka di panti kira-kira nyesel nggak ya? Anak mereka cantik-cantik, ganteng-ganteng, baik-baik. Kasihan ya.

Aku awalnya setuju. Terus aku agak mikir, apa iya kasihan? Menurutku mereka nggak perlu dikasihani. Mereka anak-anak kuat, mereka nggak perlu dikasihani karena nggak tinggal bareng orang tua mereka.

Maksudnya, bagaimana kalau kemungkinan yang terjadi, orang tua mereka bukan orang tua yang baik? Bukan orang tua yang sayang sama mereka? Bukan orang tua yang bisa bikin mereka bahagia dan aman di 'rumah' tanpa ngerasa kesepian? Karena tidak semua orang tua itu 'orang tua'. Bukankah kehidupan di panti asuhan terlihat lebih baik buat mereka? Melihat beberapa anak yang dieksploitasi karena kesulitan ekonomi, melihat anak-anak yang dikasari karena dianggap beban, melihat anak-anak yang nggak tau apa-apa jadi korban pertengkaran orang tua yang belum 'dewasa'. Aku tahu orang tua itu berkembang dan berubah, tapi bagaimana kalau mereka berubah ke arah yang tidak baik? Atau selamanya tidak akan pernah berubah?

Mungkin, tumbuh tanpa orang tua pun adalah takdir yang lebih baik untuk sebagian orang? It's okay kan? Karena kamu adalah kamu yang tumbuh sejak kecil dan menjadi dewasa tanpa label apapun yang akan memengaruhi sifat ataupun perilakumu.

Aku minta maaf kalau penyampaian pendapatku ada yang kurang. Sekian.

Fireworks and HopeWhere stories live. Discover now