Extra chapter-- what if sequel?

Start from the beginning
                                    

"Gak sopan tau angkat-angkat telepon orang!"

Lengkaplah kini korban Zayyan Shakeel Mahdhava. Keduanya duduk bersampingan dengan tangan yang sama-sama terlipat di dada dan wajah mencebik. Sedangkan si pelaku melenggang tak berdosa. Sekilas mencium pipi Mama nya lalu dengan santainya duduk dan menegak air putih.

Adinata sekali.

Aina meraih tangan Mama nya dengan raut memelas dan kesal, "Ma, Abang tuh angkat-angkat telepon yang masuk ke handphonenya Adek. Kan gak boleh, ya?"

"Gak sopan." Desisnya.

Zayyan mengedikan bahu.

"Abang," panggil Ayyara, dan anak laki-laki itu tentu langsung menatap Ibu nya. Ayyara menggerakkan kedua bola matanya bergantian menatap Aina dan Hanni. "Apalagi sekarang?"

"Karena di blok gak mempan, yaudah Abang hapus aja." Jawabnya enteng, membuat Hanni melotot. "Lagian mereka nge-chat nya diluar topik banget."

Sebelum Ayyara kembali bersuara dan kedua gadis manis menyangkal, Zayyan lebih dulu melanjutkan jawabannya.

"Dan soal telepon Aina, itu karena Abang kesel." Katanya lagi, kali ini dengan alis mengkerut. "Setiap malem pas Abang ke kamarnya Aina buat mastiin dia tidur atau belum, handphone dia selalu bunyi. Kerjaan temen-temen cowoknya. Katanya nanyain tugas."

"Kalo mau nanyain tugas ya dari sore aja, kenapa harus nunggu tengah malem? Ganggu." Zayyan mendengus, "Abang kira malem doang, ternyata pagi juga begitu. Ngeselin."

Kan? Itu bukti bahwa si tengah memang agak cerewet jika menyangkut adik-adiknya.

"Pagi sunshine~"

Seolah tak peduli dengan keruhnya suasana di dapur, si sulung datang dan menyapa dengan riang. Meskipun rambutnya masih acak-acakan. Sepertinya anak itu tidak ada rencana pergi pagi-pagi.

Dibelakang si sulung, ada laki-laki dewasa yang sudah tampak rapih dan klimis. Jas nya terlihat licin hasil kerja tangan Mbok Ijah, sepatu dan tas kerjanya mengkilap. Pasti baru.

Rambutnya tersisir rapi keatas, memamerkan jidat paripurna. Penampilan nya selalu sempurna kendati umurnya tak lagi muda.

Tall, shining and handsome.

Dialah Adinata Mahdhava si kepala keluarga.

Sama seperti Zayyan, Ziel pun segera melenggang mendekati Mama nya dan membubuhkan kecupan singkat di pipi sang Ibu. "Pantes sunshine diluar gak keliatan, ternyata minder sama sunshine-nya aku yang lebih cantik."

Ayyara terkekeh kecil, tangannya terangkat mengacak rambut anak sulungnya. "Bisa aja kamu, Kak."

"Cringe."

Zayyan adalah satu-satunya orang yang selalu menanggapi gombalan Ziel dengan tampang kecut. Saat ditanya apa alasannya, anak itu hanya menjawab 'gak suka aja.'

Meskipun sudah biasa mendapatkan cibiran dari adiknya, jangan harap Ziel akan diam saja. Tentu dia akan membalas, "diem deh. Remaja lurus kayak lo tuh gak tau seni."

"Terus lo belok gitu?" Sinis Zayyan.

"Gak gitu konsepnya ya Yayan!" Ziel mengatakannya dengan geregetan. Ah, soal nama Yayan, Ziel sangat berterimakasih pada Jerry yang membocorkan nama panggilan itu. Karena apa? Karena akhirnya Ziel punya senjata untuk meledek si adik.

"Berantemnya bisa ditunda dulu?"

Mendengar teguran sang Ayah, Ziel cengengesan. Membuat pose hormat, "siap laksanakan jendral!"

Anak itu segera duduk disamping Aina, mengelus rambut si bungsu lalu menarik pelan rambut berhiaskan bando itu sampai Aina mendongak paksa. Ziel tertawa mengejek dan Aina mendengus.

1000% GENGSIWhere stories live. Discover now