Bandung 1973

22 1 0
                                    

Derap langkah yang samar-samar, nyaris tidak terdengar. Entah langkah siapa yang hilir mudik saat itu. Seorang laki-laki tersungkur keras ketika hendak meraih anak balita yang menangis di pojok sana. 

Suara teriakan histeris di luar lebih terdengar nyaring di bandingkan teriakan seseorang yang memintanya segera keluar dari ruangan itu. Laki-laki itu menatap semua atap dengan fokus yang semakin kacau.

"Mereka semua tidak berdosa!!!"

"Kenapa kalian membunuh mereka!!"

"Kalian pembunuh!"

"Dokter, semua terbakar.."

"Dokter,, anda membunuh mereka semua!"

"kami melaporkan terkait tragedi 1980, saat ini team kepolisian dengan pemadam kebakaran.." 

...

"Permisi, Pak?" 

"Tidak!!" 

"Tidak!!"

"Bukan saya!!"

"Hah??!"

Jauhar berteriak histeris, ia terperanjat dari tempatnya tertidur. Napasnya masih tersengal saat ia melihat ke luar jendela. Jauhar tersenyum seraya mengangkat tangannya pada pramugari kereta yang baru saja membangunkannya dari mimpi buruk. 

"Saya tidak apa-apa, maafkan saya karena sudah membuat keributan di kereta ini," ucapnya. Ia sedikit menunduk sebagai tanda permintaan maafnya.

"Ah, Tidak masalah pak, saya hanya sedikit khawatir saat melihat bapak mengigau sedari tadi, maaf sebelumnya jika saya mengganggu tidur bapak." Mendengar ucapan pramugari tersebut, Jauhar mengangguk.

Ini bukan pertama kalinya Jauhar memimpikan kejadian yang sama. Biasanya, laki-laki itu hanya bermimpi sekitar tahun dan bulan yang sama. Namun, sejak satu tahun terakhir Jauhar sering bermimpi di Tahun 1980.

"Rasanya saya seperti sedang berperang dalam neraka ketika mimpi itu kembali," ujarnya.

"Betapa mengerikannya mimpi saya, sehingga saya berharap bisa segera terbangun tanpa berharap tertidur kembali."

"Bahkan, saya sangat takut setiap kali saya tertidur. Bukan karena saya percaya pada setiap mimpi saya. Tapi setiap saya tertidur, seakan saya sedang membuka banyak musibah untuk waktu yang akan datang."  Jauhar tidak pernah tahu asal-usul mengapa dirinya bisa bermimpi hal-hal aneh dalam hidupnya. Sejak usia 7 tahun, setiap kejadian yang dia mimpikan selalu menjadi kenyataan. Salah satunya tragedi kematian Raden Mas Cahyo, Ayahanda Atmojo bersaudara ketika Jauhar berusia 17 tahun.

Memilih untuk tidak mempedulikan mimpinya kali ini, Jauhar mengeluarkan buku catatan kecil beserta penanya dari dalam tas. Ia berniat menuliskan surat untuk perempuan itu. Perempuan yang menjadi alasan mengapa dirinya berada di kereta saat ini.

Saya menulis surat ini untuk di kirimkan kepada Adinda Airizia De Van Houthler ketika saya sudah berada di Bandung. 

Saya ingin mengatakan melalui surat ini, bahwasannya saya sudah menerima ribuan surat yang adinda tuliskan untuk saya dan saat surat ini berada di tangan adinda, saya sudah berada di Kota Bandung. 

Salam hormat

Raden Mas Jauhar Kanda Atmojo.

Setelah menghabiskan waktu dua bulan lamanya untuk mempertimbangkan perkataan Kang Mas Raka, Jauhar akhirnya membulatkan niatnya untuk pergi menemui Airizia. Meskipun, Jauhar tidak tahu pasti tujuannya bertemu dengan Airizia untuk apa.

"Nak, temui saja dulu. Ini adalah permintaan dari ibumu."  Sebenarnya, perkataan Bi Ningrum lah yang meyakinkan niat Jauhar untuk pergi ke Bandung malam itu. Andai Bi Ningrum tidak bercerita soal keinginan Ibu Nayumi, mungkin saja keras kepalanya Jauhar tidak akan pernah bisa di kalahkan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 15 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

JAUHAR 1980Where stories live. Discover now