Kitsune and The Onmyoji

47 12 17
                                    

Ia melompati pohon tumbang, berhenti lari ketika akhirnya roh rubah yang ia cari terlihat lima meter darinya. Berbeda dari perkiraan awal, roh itu sedang memakai bentuk sebagai rubah yang umum dijumpai. Warna bulunya merah gelap hingga menyamai darah yang meneriakkan “Aku rubah jahat!” hanya dengan penampilannya.

Hinata mengambil sikap siaga. Salah satu tangannya terulur dengan telapak tangan menghadap si rubah yang memandanginya dengan mata sama merah dengan bulu yang dia punya. Ia merapatkan jemarinya, menyalurkan energi di telapak tangan lalu melompat menyerang sedetik kemudian. Seketika terjadi pertarungan sengit antara sang onmyoji dan nogitsune.

Hinata berhasil mendesak roh rubah itu beberapa saat setelah pertarungan dimulai. Ia telah merasa menang, sangat yakin bisa menghabisi pelaku pembunuhan dengan sekali serangan terakhir.

Namun, tepat sebelum ujung jari Hinata berhasil menembus leher rubah yang dia tahan di tanah, ia terlempar karena perubahan tiba-tiba yang dilakukan nogitsune itu. Tubuhnya menghantam pohon di belakangnya dan ia terbatuk.

Terengah-engah, Hinata mengusap mulutnya yang mengeluarkan darah, menatap ke perubahan di hadapannya. Kekuatan matanya menembus asap sekeliling si rubah dan Hinata merasa jantungnya sesaat berhenti saat ia mengenali siapa nogitsune itu.

Bagaimana mungkin?

Pikirannya terlalu penuh akan bermacam pertanyaan sampai Hinata lengah dan membiarkan pertahanannya terbuka. Ia terlambat menyadari itu dan bersiap mati—menjadi korban kedua pelaku yang tidak pernah ia sangka.

Saat itulah, seolah keajaiban turun bersama hujan salju, seekor kitsune lain—dengan bulu dan enam ekor paling murni yang pernah ia lihat, menerjang si nogitsune.

Pertarungan berganti antara kitsune putih dan nogitsune merah. Dengan tubuh yang sesama besar, tiap gerakan mereka membuat tanah bergetar bagai gempa. Salju yang menumpuk di dahan-dahan berjatuhan, menghujani keduanya.

Memanfaatkan keluangan saat kedua yokai itu saling menyerang, Hinata menyandarkan tubuhnya di pohon belakangnya sambil menarik napas dalam.

Luka akibat terlempar tadi tidak seberapa, tapi rasa malu karena ceroboh hingga mencelakai diri sendiri bukan main tingginya. Andai ada orang lain yang melihat ia—seorang pemimpin onmyoji terkenal—dalam kondisi memalukan begitu, Hinata tak akan berani menunjukkan wajahnya di depan umum lagi. Untunglah yang ada di depannya hanya dua roh rubah.

Sembari memulihkan diri, ia menatap pertarungan penuh aksi yang tersaji. Perhatiannya tertuju pada si kitsune berekor enam yang gesit berkelit dari serangan lawan, sebelum balik mencakar dan mengeluarkan petir lewat mulut. Kilat perak mengenai sebagian tubuh besar nogitsune merah, membuatnya menggeram kesakitan.

Ia mengikuti kibasan enam ekor milik si kitsune putih, mengira-ngira dalam hati berapa usia pasti roh rubah itu. Menghitung dari jumlah ekor dan berapa lama waktu yang dibutuhkan roh rubah untuk punya ekor lebih dari satu, setidaknya kitsune yang menyelamatkannya itu berumur sekitar 600 tahun. Waktu hidup yang cukup lama untuk ukuran yokai.

Fokus hinata beralih pada nogitsune itu. Ia masih tidak menyangka bahwa pelaku pembunuhan miko yang merawat Kuil Inari dekat kediamannya ternyata peliharaan orang yang belum lama ia kunjungi. Memiliki julukan rubah merah ekor sembilan yang dikenal agung, identitas aslinya malah nogitsune pembunuh manusia.

Ia sama sekali tidak punya pemikiran tersebut saat melihat kondisi Naruto—pemilik si nogitsune. Hinata mengira penyebab kesehatan si pemuda menurun karena kurang istirahat serta makanan yang tidak terjaga. Namun setelah menemukan fakta hari ini, mungkin jawaban terbenar ialah peliharaan Naruto telah menyerap daya hidupnya.

Pikirannya dipaksa usai ketika teriakan keras dari si nogitsune tertangkap pendengarannya. Mata Hinata membulat mendapati keadaan telah berubah total, di mana pelaku pembunuhan tengah terlingkupi api putih yang menjalar ke seluruh bagian tubuh. Api yang membakar nogitsune itu bukan sembarang api, melainkan kitsune-bi. Dengan warna begitu, jelas suhunya lebih panas dari kitsune-bi biasa yang berkobar biru.

Setelah roh rubah pembuat onar mati dan menghilang ke ketiadaan, Hinata tidak punya kesempatan mendesah lega ketika si kitsune berekor enam berbalik menghadapnya. Tiap langkah bagai menggema di telinga dan panik menderanya tanpa dapat dicegah. Meski ia tahu kemungkinan besar kitsune itu adalah penjaga desa, ia tak bisa menahan diri untuk mencari cara kabur.

Hinata berhasil berdiri saat si kitsune tiba-tiba telah berada di depan mata, keterkejutan hebat membuatnya kembali jatuh terduduk.

Bulu putih si rubah bak menyatu dengan hujan salju yang terus turun, sementara mata biru terang balas menatap tajam milik Hinata yang terbelalak penuh takut. Sedekat ini, kehadiran yang ia kira sosok penyelamat malah terasa mengintimidasi.

Ia membuka mulutnya, tapi tidak ada satu pun kata yang berhasil keluar. Lidahnya seolah kelu dan tenggorokannya tersumpal batu.

Hidung si kitsune bergerak guna mengendus aroma milik onmyoji di depannya. Masih dengan mata nyalang, kitsune itu mengambil satu langkah lebih dekat kemudian duduk tenang. Enam ekor di belakang tubuh besar melambai ke sana-kemari.

Setelah berhasil menguatkan diri, suara lirih akhirnya dapat Hinata keluarkan. Kalimatnya tersendat beberapa kali, hasil intimidasi dari tatapan yang terasa lebih menusuk dari udara musim dingin.

“Siapa Anda?” Ia menelan ludah, akhirnya sukses mengucap tanya.

Si kitsune putih memiringkan kepala, lantas dengan santai mengubah diri. Dia tidak terlihat peduli akan raut keterkejutan yang lagi-lagi Hinata pasang, hanya terus menatap lurus.

“Apa yang—“ Hinata memandangi si kitsune dari atas sampai bawah. Dari enam ekor yang mengelilinginya seperti salju turun, ke telinga yang mengintip melalui jumbai rambut putih panjang, hingga ke kimono biru dengan sulaman rubah persis pemakainya yang mendongak pada lotus perak.

Berbeda dari kisah biasa yang menceritakan tentang penjelmaan kitsune sebagai wanita cantik, yang di depan Hinata justru menjadi pria tampan terdominan putih dalam penampilannya. Hampir langka dan ... istimewa.

“Kenapa kau menangis?”

Hinata berkedip, memproses suara baru yang ia dengar.

Apa katanya?

“Saya tidak menangis,” balasnya setengah bingung. Dari mana kitsune itu mendapat pemikiran bahwa ia menangis ketika bahkan mata dan pipinya kering?

Si kitsune bungkam beberapa detik sebelum kedua sisi bibirnya melengkung membentuk senyum jahil. “Tapi pakaianmu basah. Apa karena keringat?”

Ia sontak menggeleng. “Mana mungkin. Lagi pula ini musim dingin. Pakaian saya basah karena terkena salju.”

Si kitsune memiringkan kepalanya sekali lagi, mencondongkan tubuh makin dekat dengan posisi Hinata. Sepasang netra yang semula bagai pisau perlahan berganti semacam tatapan bocah yang merencanakan kejahilan.

“Begitu?”

Kening Hinata berkerut, ia tidak habis pikir apa tujuan si kitsune sebenarnya. Ia mengembuskan napas, berpaling dan akan kembali berdiri sebelum sepasang lengan memenjarakannya.

“Kalau begitu, bagaimana jika aku membuatmu berkeringat?”

Apa?!

MoonflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang