Murder on Inari Shrine

105 15 32
                                    

Ootsutsuki Toneri lahir dari ayah keturunan Dewi Bulan dan ibu kitsune pada tanggal enam Desember. Hari hening—hanya ada salju yang terus turun dengan tenang.

Toneri berusia enam tahun ketika dia menyadari: hidupnya akan dipenuhi kemalangan, dan akan selalu begitu.

Semua dimulai dari kemunculan enam ekor yang mengelilinginya seperti salju yang turun, ke telinga panjang yang mengintip melalui jumbai rambut putih. Setiap makhluk yang mengetahui keberadaannya mulai mengincarnya. Satu-satunya yang senantiasa melindungi adalah orang tuanya dan pelayan kastel mereka, tersembunyi dalam penghalang keemasan.

Hari-hari dihabiskan dengan belajar tentang kota, lautan, dan pegunungan, tiap menit menambah keinginannya untuk menjelajah. Namun, ibunya selalu berkata bahwa dunia luar tidak aman bagi kitsune seperti mereka.

Sampai suatu hari keraguannya akan ucapan sang ibunda membuat ia menelan kenyataan pahit, bahwa memang benar dunia luar hanya ramah pada sosok yang tidak langka.

Itu hari yang seharusnya sedamai biasa, dengan ayah yang menceritakan legenda leluhur Sang Dewi Bulan dan ibu yang sesekali akan menyuapkan mochi pada Toneri. Mereka berada di tengah kisah Dewi Bulan yang kembali ke tempat asal dengan putra bungsunya ketika penghalang keemasan yang selama ini menyembunyikan keluarga Toneri dihancurkan oleh sekumpulan oni bermata merah.

Ayah dan ibunya terlambat bereaksi dengan serangan kejutan itu, mati-matian melawan sembari menjaganya menjauh dari halaman kastel yang segera berubah penuh warna merah. Pelayan mereka menggendong Toneri dengan paksa saat keadaan makin merugikan, berlari ke jalur pelarian rahasia.

Hal terakhir yang ia lihat sebelum kegelapan menghampiri adalah sembilan ekor putih-keunguan sang ibu yang mengibas ke segala arah, kotor dengan tanah dan darah.

Toneri berusia sembilan tahun ketika orang tuanya meninggal, meninggalkan ia sendirian dengan pelayan mereka. Itu adalah perasaan terdingin dan kesepian yang pernah dia rasakan. Ia melarikan diri ke tumpukkan buku dari kekosongan dalam hatinya, hingga pelayan kemudian mengenalkannya cara membuat boneka.

Pada usia sepuluh tahun Toneri tahu bagaimana menggerakkan boneka tanpa menyentuh mereka dan melakukan bermacam hal dengan mata tertutup. Tanpa pengajar, ia secara mandiri juga belajar untuk mengubah bentuk, mengarahkan telinga dan ekornya ke udara yang membuatnya terlihat seperti manusia di luar.

Kehadiran si pelayan Toneri manfaatkan sebagai uji coba tentang seberapa dapat dipercaya perubahan wujudnya. Ia mempraktikkan segala cara menipu—memanipulasi manusia dengan daya pikat yang ia temukan dalam wujud barunya. Toneri pikir, dengan begitu ia akan lebih mudah berbaur dengan masyarakat, sebab Toneri tidak bodoh dan tahu benar figur mudanya sejalan dengan apa yang diasosiasikan manusia dengan ketampanan.

Setelah pelayannya menyadari tentang itu, ia diajari pesona dan praktik memikat manusia ke sudut gelap, membuat mereka menumpahkan setiap rahasia dari lidah sendiri dengan senyum polos dan tatapan lembut.

Pada usia empat belas tahun, seolah kenangan buruk menjadi momok yang muncul kembali, ia berdiri di halaman yang penuh warna merah lagi. Pelayannya dan para boneka tergeletak di depan kakinya. Darah terkumpul merembes ke kaus kaki dan ujung ekornya, dan untuk sekali lagi Toneri merasa hatinya hancur berkeping-keping.

Ia mendongak untuk menatap mata merah iblis di depannya. Iblis itu memperkenalkan diri sebagai Uchiha Fugaku, tapi Toneri sama sekali tidak punya pikiran selain menyerangnya. Maka ia menerjang, mengeluarkan taring dan cakar panjang.

Kesakitan akibat kehilangan orang-orang tercinta membutakan hingga yang bisa ia lihat hanya rambut segelap malam dan mata merah sialan itu.

“Aku bisa menunjukkan tujuan padamu,” kata Fugaku dengan nada berliku-liku, “memberimu alasan untuk hidup.”

MoonflowerWhere stories live. Discover now