Bagian 1: Perjalanan Melelahkan (1)

6 1 0
                                    


Lambatnya laju mobil rombongan KKN itu membuat Alfa terkantuk-kantuk dan tidak bisa menikmati perjalanan dengan santai. Mata Alfa merem-melek. Walaupun mengantuk, dia tidak bisa tidur begitu saja. Sebagai ketua, dia harus menjadi penunjuk jalan.

Ranti sibuk membetulkan poninya yang terkena embusan angin. Salma yang ada di sebelah kanan Ranti tertidur pulas. Posisi kepalanya bersandar ke kaca mobil. Sepanjang perjalanan, Salma memilih memejamkan matanya daripada melihat pemandangan yang ada di luar kaca mobil.

Arlanda sibuk memasang earphone pada kedua telinganya. Dia pun akhirnya terbuai oleh alunan musik Kitaro. Tidak berapa lama, dia terlelap di jok kiri belakang.

Jack asyik membaca National Geographic, majalah favoritnya. Perjalanan melelahkan itu membuatnya bosan. Berkali-kali dia menguap. Namun dia memaksakan matanya melihat deretan aksara dan foto-foto dalam artikel tentang Aksum, kerajaan Kristen kuno di wilayah Ethiopia.

Alfa merogoh saku celana Cardinal birunya untuk mengambil dua butir permen untuk mengusir rasa kantuknya. Sebutir permen peppermint memasuki rongga mulutnya. Sebutir lainnya diberikan kepada sopir yang tak lain adalah ayah Salma. Lelaki paruh baya berkacamata hitam itu menolak dan meminta Alfa untuk menawarkan permen itu kepada Ranti. Ranti menolaknya. Kemudian, dia memberikannya kepada Jack.

"Alamatnya di mana, ya? Om lupa," ujar Ayah Salma.

"Ini alamatnya. Masih jauh ya, Om?" tanya Alfa sambil menyodorkan secarik kertas.

"Kamu nggak survei dulu sebelumnya?" Ayah Salma balik bertanya.

"Teman-teman saya, sih, survei ... tapi saya nggak. Maklum, Om ... banyak kegiatan," ujar Alfa sambil nyengir.

"Untung om pernah lewat daerah ini. Kebetulan ada teman om yang tinggal di Indramayu. Kira-kira setengah jam lagi, lah. Nanti langsung ke tempat KKN atau ke kecamatan dulu?" tanya Ayah Salma.

"Gimana, Jack?" tanya Alfa tiba-tiba.

Jack mengangkat wajahnya seraya mengerutkan dahi. "Lho? Kok, lo tanya gue? Situ, kan, yang jadi ketua kelompok. Kita mah nurutin apa kata pemimpin aja," ujarnya sambil menutup majalahnya.

"Oke. Kecamatan aja, Om."

Alfa memperhatikan Ranti yang sibuk dengan ponselnya. Tampak kegelisahan tertangkap di wajahnya saat dia menempelkan ponselnya di telinga.

"Ih ...." Ranti tampak sebal. Berkali-kali terdengar bunyi tulalit dari ponselnya itu.

"Kenapa sih, Ran? Bete amat .... Telepon siapa? Yayang, ya?" goda Alfa.

"Sok tahu, lo! Gue lagi ngehubungi temen sekelas lo ... si Ori!" sembur Ranti.

Alfa nyengir. Ranti sibuk kembali dengan ponselnya.

"Sodara lo itu punya kebiasaan lupa nge-charge ponsel. Udah, sabar aja," saran Alfa.

Kali itu, suasana cukup hening. Alfa kemudian mencoba memecah suasana. "Jack, daripada bengong mendingan lo main gitar. Sepi, nih ...," pinta Alfa.

Jack yang sedang sibuk melamun sambil menatap deretan bangunan dan persawahan sepanjang Pantura mendengus kesal. Dia jengkel tamasya imajinatifnya dibuyarkan oleh Alfa.

"Lo kira jalanan ini kuburan? Segini ramenya! Tuh, mobil banyak banget! Lo ada-ada aja!" ujar Jack sambil merasa jengkel.

Ayah Salam tersenyum melihat kelakuan teman-teman anaknya. Tangan Ayah Salma kemudian memasukkan sebuah kaset ke tape mobil. Suara merdu Ebiet G. Ade segera menyapa gendang telinga. Lagu "Berita Kepada Kawan" pun mengalun menyertai perjalanan mereka.

Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan

Sayang engkau tak duduk di sampingku, kawan

Banyak cerita yang mestinya kausaksikan

Di tanah kering bebatuan

Ho ... oh ... oh ... oh ...

"Wah, jadul nih," Jack bergumam.

"Iya, kayak muka lo jadul. Hihihi ...," timpal Ranti.

Jack tidak terima. "Busyet ... ngajak ribut nih anak ...."

Salma hanya bisa geleng-geleng kepala. Kedua temannya ini memang hobi bertengkar.

"Hati-hati, lho, pertengkaran sering jadi awal munculnya cinta," ujar Salma.

"Idih, amit-amit! Mending gue kawin sama sandal jepit daripada sama manusia purba ini," protes Ranti.

"Gue juga! Mendingan dikejar-kejar kuntilanak sebatalion daripada pacaran sama cucakrawa ini," balas Jack.

"Ribut mulu .... Gue kawinin juga ntar lo berdua, ya!" Arlanda terbangun mendengar keributan Ranti dan Jack.

Salma tertawa, "Bener, kan?"

"Hiyyy!" Ranti bergidik mendengar ucapan Arlanda.

"Ngomong-ngomong ...," Jack berusaha mencairkan suasana.

"Gue jadi inget cerita kepala desa yang sok tahu."

"Gimana, Jack?" tanya Alfa.

"Gini ceritanya. Ada kepala desa lagi pidato ngasih sambutan di depan mahasiswa KKN. Dia dengan bangga mengunggulkan desanya. Gini pidatonya, 'Adik-adik mahasiswa KKN yang kami hormati, sebetulnya, desa kita ini tidak bisa dibilang desa tertinggal. Buktinya, di desa ini sudah banyak pabrik yang berdiri. Ada pabrik batako, ada pabrik pengolahan air mineral, bahkan sebentar lagi mau didirikan pabrik tektil!' katanya bersemangat."

"Tektil? Tekstil, kale!" Ranti rupanya tertarik juga.

"Nah, itu dia," Jack menerukan, "Lalu, si sekretaris desa berbisik kepada Pak Kades buat ngoreksi, 'Pak, kurang S, kurang S.' Terus, si Pak Kades dengan PD melanjutkan pidatonya, 'Oh iya, satu lagi, pabrik es!'" Kata Jack memungkaskan ceritanya yang disambut tawa teman-temannya juga Ayah Salma.

"Lagi dong, Jack!" pinta Alfa.

"Ntar, ntar ... gue nge-loading dulu," Jack berlagak mikir.

"Makanya, kepala lo jangan diisi prosesor second. Yang gres, dong!" cemooh Ranti.

Jack tak menggubris. Lalu, matanya tampak berbinar, "Gue inget! Ini tentang walikota yang lupa diri."

Kemudian, semua memasang perhatian kepada Jack.

"Suatu hari, seorang walikota dateng ke sebuah galeri buat meresmikan pameran lukisan potret diri. Nah, sebelum acara peresmian, sang Walikota nyempatin diri ngeliat beberapa lukisan yang dipajang buat nunjukin kalo dia punya apresiasi seni yang tinggi. Saat itu, dia ditemenin kurator pameran."

"Nah, si Walikota bertanya-tanya, 'Ini lukisan siapa? Kok, kelihatannya kasar?' Si Kurator langsung ngejelasin, 'Inilah lukisan potret diri Affandi, maestro seni lukis kita. Gayanya ekspresionisme. Beliau melukis dengan tangan, nggak pake kuas.' Si Walikota ngejawab, 'Oh ....' Pokoknya, si Walikota ini berkeliling galeri sambil nanya-nanya. Nah, akhirnya dia terheran-heran sama sebuah lukisan. 'Ini lukisan potret diri siapa? Kok, jelek banget wajahnya. Ini pasti gaya abstrak, ya?' tanya si Walikota dengan yakin. Si Kurator agak kebingungan, tapi akhirnya dia menjawab dengan sungkan, 'Maaf, Pak ... itu bukan lukisan .... Itu cermin.'"

Meledaklah tawa seluruh yang ada di mobil. Ruangan mobil APV itu seketika menjadi bergemuruh dan riuh rendah.

"Kantor kecamatannya sebelah mana, ya?" tanya Ayah Salma tiba-tiba, membuat derai tawa itu reda seketika.

"Berhenti di depan dulu aja, Om. Saya mau tanya-tanya dulu," balas Alfa.

"Mending terus jalan aja. Lagian, di depan sana ada banyak mobil. Naga-naganya, sih, itu anak-anak KKN yang lain. Deketin aja mobil-mobil itu," timpal Salma.

Ranti mengamati satu di antara mobil dengan cermat, "Kayaknya, Honda Jazz merah itu mobilnya Ori," jelas Ranti kegirangan.

Setelah melaluiperjalanan panjang, akhirnya rombongan itu sampai di kantor kecamatan tujuanKKN-nya. Matahari masih bersinar terik. Rupanya, rombongan Alfa adalahrombongan terakhir yang tiba di kecamatan ini. Alfa dan kawan-kawansegera turun dari mobil. Ada pekerjaan yang menunggu mereka.

Hantu AmbulanceuWhere stories live. Discover now