Chapter 5

58 9 0
                                    

Tanpa membuka mata, Junghwan menolehkan kepalanya ke arah kanan. Mengerutkan dahi dan meraba aroma sekitar dengan hidungnya. Menghirup dalam dan rasanya melegakan.

"Ju.."

Suara itu. Memanggilnya lagi.

Junghwan membuka kedua matanya.

Menatap seseorang yang tubuhnya disinari seberkas sinar. Walaupun sangat terang, itu tak mengganggu penglihatannya. Junghwan berusaha untuk bangkit, namun ia terkejut ketika mendapati pakaian yang ia kenakan adalah seragam semasa SMA.

Langung terduduk, Junghwan meraba seluruh tubuhnya hati-hati. Meraba baju hingga ia bisa melihat dengan jelas sepatu hitam bersih yang ia kenakan. Satu tangannya meraba kepala.

Kemana rambut mulletnya?

Kemana tindik telinga kirinya sekarang?

Dan kenapa wajahnya terlihat bersih tanpa jerawat?

Junghwan menoleh dan hanya mendapati tubuh bersinar itu masih duduk agak jauh darinya. Junghwan berusaha bertanya, namun ia lebih penasaran siapa ia sebenarnya.

Suaranya asing.

Dan lingkungannya.. asing.

Junghwan menatap sekeliling.

Telaga biru seindah langit. Rerumputan yang hijau dan segar oleh embun. Burung-burung berkicau riang. Bahkan Junghwan melihat sendiri bagaimana indahnya alam sekitar seolah ia berada di..

"Surga?" Aku di surga?" Tanya Junghwan dengan degup jantung yang hebat. Nafasnya hampir tersengal sebelum tawa lelaki itu menyahut.

"Bukan. Ini bukan surga. Ini.. aku juga tidak tahu apa namanya."

Junghwan berusaha menggeser duduknya mendekati lelaki itu, namun rasanya berat sekali. Bahkan seolah kaki Junghwan tengah ditahan oleh bumi. Ia tidak diijinkan untuk mendekati langsung lelaki bersinar itu.

Wajahnya. Tubuhnya. Semuanya.

"Kau malaikat?"

Lelaki itu tertawa lagi. Kali ini, Junghwan sedikit tersentak sepersekian detik karena tawa itu mirip dengan seseorang.

"Aku bukan malaikat. Aku juga tidak tahu apa. Tiba-tiba Tuhan memberikan tugas padaku untuk misi rahasia."

"Misi rahasia? Maksudnya? Kenapa harus aku?"

Perlahan, kepala lelaki itu yang semula selalu menatap lurus pada telaga menoleh ke arah Junghwan.

Demi apapun, amal apa yang dilakukan oleh lelaki tersebut hingga wajahnya hanya nampak sinar terang yang indah.

"Aku tidak tahu pasti. Tapi, mungkin ada seseorang yang berdoa untuk bisa dibantu menjawab pertanyaan dalam hatimu."

Junghwan menunjukkan wajah bingung.

"Maksudnya?"

Lelaki itu mengulurkan tangan kanan padanya. Membuat Junghwan semakin bingung dan hanya bisa menatap wajah bersinar itu.

"Anggap saja aku adalah pemandu perjalananmu. Atas kehendak-Nya, aku ditugaskan untuk membawamu pada hal yang selalu menjadi pertanyaan hatimu. Keyakinanmu. Dan juga paling utama, kebenarannya."

"A..aku tidak mengerti." Jawab Junghwan ragu.

"Tuhan berbisik lirih padaku. Tentangmu. Kau dan duniamu."

"Sumpah demi apapun. Jika aku belum mati, tolong bawa aku kembali saja. Aku tidak tahu ini semua apa tapi jika aku mati pun, tolong jelaskan apa semua ini. Aku tidak mengerti. Aku ingin pulang."

Lelaki bersinar itu menurunkan tangannya.

Dengan lembut, tangan itu terangkat dan mengelus kepala Junghwan.

"Ini adalah kesempatan yang sangat amat berharga. Kau akan menyesal melewatkan ini jika memaksa diri untuk kembali,"

Menghela nafas, lelaki bersinar itu melanjutkan.

"Aku harusnya tidak boleh mengatakan ini. Tapi, seperti yang aku bilang, ada seseorang yang berdoa pada Tuhan setiap hari sejak mengenalmu. Menyelipkan namamu walaupun awalnya tidak sengaja. Doa itu begitu tulus hingga membelah langit. Dan, ini adalah saatnya Tuhan ingin mengabulkan doa itu."

Junghwan hanya diam menanggapi.

Ia mencoba untuk memejamkan matanya kembali. Berharap semua ini mimpi.

Namun, ketika ia membuka mata, semua masih sama.

Jujur, mendengar pernyataan itu, Junghwan bingung. Ia ingin bertanya lebih namun keadaan sekarang saja masih banyak mendorong tanya di kepala.

"Aku tahu kau pasti bingung ingin berkata apa. Tapi, aku jamin kau benar-benar menyesal jika melewatkan tawaran Tuhan yang satu ini. Siapa tahu, dengan perjalanan menyenangkan ini kau bisa menjadi manusia yang lebih baik di masa depan,"

"Mas-"

"Oh, bukan tentang cita-citamu. Bukan tentang pekerjaan. Tapi tentang keikhlasan, Junghwan."

Demi mendengar kalimat terakhir itu, Junghwan mendongak. Menatap tepat samping wajah bersinar itu dengan perasaan aneh yang menimbulkan seluruh tubuhnya sedikit bergetar.

Ikhlas? Mengikhlaskan?

Terakhir kali, Junghwan mengumandangkan kata itu saat wisuda. Setelahnya, ia mencoba menipu dirinya sendiri dengan kata itu.

Terutama saat berita itu benar-benar Junghwan lihat dengan mata kepala sendiri.

"Sebenarnya, kau tidak akan bisa dipaksa kembali, Junghwan. Ini adalah takdir yang sudah digariskan oleh-Nya."

"Lalu aku? Tubuhku? Di bumi?"

Lelaki dengan tubuh bersinar itu hanya diam. Merasa tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut.

Tangan kanannya mengulur pada Junghwan.

"Kau siap?"

"Tapi.."

"Nanti kau akan tahu sendiri. Kau akan kembali dengan keadaan yang baik-baik saja."

"Kau berjanji? Berarti aku belum mati?"

Lelaki itu tertawa lagi.

Dan seolah tertancap sesuatu, tawa itu membuat Junghwan sedikit sesak.

"Kau akan kembali."

Akhirnya, Junghwan menerima uluran tangan tersebut. Meletakkan telapak tangan kanan pelan sebelum tangan lelaki itu menangkupnya dengan lembut.

"Sebelum perjalanan ini dimulai, aku ingin kau tahu beberapa hal. Satu, perjalanan ini bukan untuk merubah takdir-"

"MERUBAH TAKDIR?" jawab Junghwan dengan nada tinggi.

"..jangan menyelaku. Iya. Ini bukan untuk merubah takdir. Kau hanya diijinkan untuk melihat semuanya. Hanya melihat. Karena kau dan aku tidak diijinkan sama sekali oleh-Nya untuk melakukan lebih dari itu."

"Kenapa tidak bisa merubah takdir? Jujur aku ingin sekali mengubahnya. Siapa tahu masa sekarangku tidak seburuk ini."

Lelaki itu tertawa lirih.

"Kau akan tahu sendiri nanti. Dua, selama perjalanan ini berlangsung, aku tidak ingin melihatmu sedih seperti waktu berlalu. Dan terakhir.."

"Dan terakhir? Apa?"

"Itu hadiah untukmu, jika kau berhasil mengikuti perjalanan itu hingga selesai. Kau harus setuju."

Lelaki itu membuka tangkupan tangannya. Lalu berdiri dengan kedua tangan dalam saku. Junghwan juga baru mengamati bahwa lelaki itu juga memakai baju yang sama dengannya.

Mengenai baju, Junghwan langsung berdiri di samping lelaki tersebut yang lebih tinggi dari samping.

"Kenapa kita harus berpakaian ini? Kenapa harus masa SMA? Perjalanan ini dimulai darimana? Tentang siapa?"

"Tentangmu." Lelaki itu mencubit lengan bajunya sendiri.

"Dan perasaanmu itu berkaitan dengan masa sekolahmu. Tentangmu dan tentangnya."

"Tentangnya?"

"Iya. Ini juga tentangnya, Junghwan."

See My Point Of View, Love. (WOOHWAN)Where stories live. Discover now