1. Yang Terjadi Sebelum Tragedi Sabtu Dini Hari

Mulai dari awal
                                    

Di seberang, Agas terbahak. "Aphopis beneran nggak bisa dinego? Besok pagi gitu?"

"Mungkin bisa, tapi gue kan cupu. Enggak berani, Bang."

Tawa Agas semakin lebar. "Payah lo, Rish. Jadi, lo beneran nggak bisa pergi malam ini?"

Irish menggeleng sedih, lalu dia sadar Agas nggak bisa melihat gesturnya.

"Nggak bisa, Gas. Sori."

"Yah ... apa boleh buat," kata Agas menyerah. "Padahal lo pasti hepi kalau ikut gue malam ini, Ris. Seru tahu acaranya. Banyak makanan enak yang bisa lo cobain."

"Gimana lagi ...." Irish semakin badmood. "Besok-besok masih ada nggak, sih?"

"Hari ini terakhir, sih."

Irish menghela napas panjang. "Tahun depan kalau gitu."

Obrolan dengan Agas berlanjut hingga sekitar lima menit. Pria itu menghibur Irish dan bilang kalau dia akan mengajak Irish lagi semisal ada acara serupa. Bukannya terhibur, Irish malah semakin jengkel. Harusnya malam ini dia menikmati kuliner malam di acara festival makanan jalanan Jakarta bersama Agas. Harusnya, malam ini Irish melewati satu tahap PDKT dengan orang yang sudah ditaksirnya selama setahun belakangan.

Ditatapnya lembar-lembar dokumen PT Rajawali Boga dengan penuh dendam. Namun, dendamnya yang sebenarnya, ditujukan kepada orang yang ada di balik pintu ruangan nomor dua dari kanan. Caraka Samahita, seorang senior corporate lawyer secara resume kerja sekaligus legal manager secara jabatan di kantor, atasan kejam yang membuat rencana kencannya dengan gebetan gagal total.

(*)

[24 jam sebelum tragedi drunk call]

Irish menatap antrean di depannya. Masih ada lima orang lagi sebelum gilirannya memesan kopi. Di pagi hari, coffee shop depan kantor ini memang sedang ramai-ramainya. Para karyawan kantoran butuh amunisi dan juga sesuatu yang dibeli untuk menghabiskan uang.

Irish merasa bahwa ramalan ahli keuangan itu benar. Anak milenial diprediksi susah punya rumah sendiri, terutama karena mereka kebanyakan jajan kopi. Irish adalah salah satunya. Mana perutnya sangat rewel dan sok kaya, hanya bisa menerima susu oat sebagai campuran kopinya. Padahal mengganti susu sapi dengan oat upgrade harganya juga lumayan. Tanpa kopi, otak Irish lamban bekerja dan dia akan mengantuk seharian. Sedang memaksa pakai susu sapi hanya akan membuat asam lambungnya kambuh dan bolak-balik ke belakang.

Jiwa milenialnya akan berkata, ini adalah reward bagi diri sendiri. Suatu bentuk menyayangi diri sendiri setelah bekerja begitu keras. Namun, jiwa iritnya selalu bilang kalau itu cuma excuse buat buang-buang uang. Itu juga penyebab di usianya yang ke-30 tahun, jumlah tabungannya sangat memprihatinkan. Jangankan punya apartemen, mobil, dan deposito ratusan juta seperti di film-film, Irish bahkan masih tinggal bersama orangtuanya. Ah, sudahlah, Irish menyuruh pikirannya diam. Hidup ini udah cukup menyedihkan, tanpa harus dipikirkan terus-terusan dan ditambah penyesalan yang nggak perlu.

"Berikutnya."

Irish maju satu langkah. Masih ada empat orang lagi. Mata Irish mengedar ke sekeliling coffee shop. Dinding kacanya membuat Irish bisa melihat ke luar dengan mudah. Dan di sanalah dia melihat dua orang itu. Si cowok bertubuh tinggi dengan gaya rambut french crop ala Park Seo Jon di drakor Itaweon Class. Sedangkan si cewek bertubuh mungil dan ramping, mengunakan hijab warna pink.

"Agas dan Ana," gumam Irish.

Dua orang itu berjalan akrab sambil bercanda, memasuki coffee shop yang sama. Irish mengikuti pergerakan kedua orang itu dengan matanya. Dengan gaya pria sejati, Agas mempersilakan Ana mengantre duluan. Dan mereka masih saja ngobrol dan tertawa bersama. Di satu momen, Agas berkata entah apa, lalu setelah Ana mengangguk, Agas mengambil bulu mata Ana yang jatuh di pipinya.

DRUNK DIALINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang