Tak Semudah Itu

Depuis le début
                                    

You.

 
Lesung pipi Annand semakin terlihat saking lebarnya senyuman yang ia berikan.
Sebenarnya ia geli sendiri dengan jawaban di dalam hatinya itu, tapi anehnya, itu juga membuat ia semakin bersemangat bicara dengan Meera.

 
"Bukumu tertinggal."
Annand yang menyodorkan novel misteri yang sedang dibaca Meera tadi.
Dengan cepat Meera meraih novelnya.

Tapi tentu saja, Annand tak akan memberi semudah itu.

Annand bergerak lebih cepat, Ia mengangkat tinggi tangannya. Meera yang memiliki tubuh tak setinggi Annand, tentu saja jadi tak dapat mencapai novel itu.

  
Meera memutar bola mata, begitu kesal dengan sikap Annand yang kekanakan. Ia berbalik lagi untuk pergi. Tak mau peduli novel itu mau diapakan.
Kekehan Annand terdengar, langkahnya yang lebar membuat sang laki-laki kini berjalan sejajar dengan Meera.

   
"Semakin kau diam, aku semakin bertanya-tanya. Kenapa gadis manis sepertimu, makin terlihat manis saat galak."

   
Bukannya tersentuh, Meera malah makin kesal mendengar gombalan Annand. Rasanya ia ingin langsung mencekik laki-laki itu. Tapi ia tak mau masuk penjara dan membuat masa depannya hancur.

   
Annand kembali tertawa melihat wajah kesal Meera. Tapi tentu saja ia belum menyerah. "Hei, Meera.. Meera. Meera. Meera. Meera. Meera-"

Melihat gadis disampingnya terus saja bergeming, membuat Annand mendapat ide. "Oh! Itu Matthew Davies." Panggilnya tiba-tiba, seolah melihat si kapten rugby. Yang membuat langkah Meera terhenti. "Hei Davies! Kau mempunyai pengagum-"

Dan langsung saja Meera membekap mulut Annand. Sang gadis memojokannya ke pilar lorong kampus dengan sekali hentakan.

Gadis yang terlihat lemah itu, ternyata kuat juga.

"Aku bersumpah tidak menyukai Matthew Davies!"

 
Annand kembali tersenyum, membuat bekapan Meera melonggar. "Oh.. Good!"
   

Melihat ekspresi Annand, Meera mengerutkan dahi. Ia melepaskan laki-laki itu dan melihat sekeliling.
Ternyata firasatnya benar, tak ada sosok Matthew Davies di dekat mereka.

  
"Oh, God.." Meera menghembuskan napasnya panjang dan mengusap wajah malu, karena telah terbodohi Annand.

  
"Cute.." Ucap Annand yang juga tak melepas senyum.
Mendengar itu, entah kenapa membuat wajah Meera semakin memerah.

Merah karena kesal, tentu saja!
  
  
Akhirnya Meera menempelkan kedua telapak tangannya di depan dahi. Seperti memohon pengampunan. "Tuan Raichand yang terhormat, aku minta maaf atas tindakkanku kemarin lusa yang telah membohongimu akan temanku yang berpura-pura menjadi diriku. Jadi, tolong maafkan aku dan jangan mengikutiku lagi.."

 
Annand menaikan alisnya. "Memangnya hanya itu kesalahanmu?"
  

Meera memutar bola mata sebelum menarik napas panjang dan kembali bicara. "Baiklah, maafkan aku karena sudah diam-diam membuat sketasamu saat di auditorium. Kau boleh memilikinya. Maafkan aku juga sudah meledekmu saat kabur, dan maafkan aku karena tidak langsung minta maaf. Puas? Sekarang kembalikan novelku!"
 
 
Annand menggeleng. "Tadinya aku akan memaafkanmu, sebelum kau memutar bola matamu itu. Jadi, permintaanmu tak akan aku kabulkan." Annand melipat tangannya.

  
"What?!" Sentak Meera. "Oh come on, Raichand! Sampai kapan kau akan mengganggu hidupku seperti ini? Apa tidak kasian denganku yang kini jadi target mata-mata penasaran akan sikapmu padaku? Apa wajah kesalku ini membuatmu bahagia? Apa perbuatanku kemarin tak bisa dimaafkan sampai kau harus terus berada di sekitarku? Kenapa tidak mengganggu orang lain saja? Di kampus ini banyak wanita yang bersedia diganggu oleh Tuan-Terlalu-Percaya-Diri-Dan-Tampan sepertimu. Aku mohon, aku hanya ingin hidupku yang tenang dan damai kembali."

Ucapan dan gerakan Meera yang seperti bersimpuh itu membuat Annand tertawa. "Ternyata kau ini bisa banyak bicara dan sangat ekspresif." Annand melebarkan senyumnya. "Juga... Terima kasih sudah mengatakan bahwa aku ini tampan. Why so adorable, Meera?"

Mata Meera membelalak. Tak percaya dengan apa yang keluar dari mulut Annand. Anggota tubuhnya itu ternyata berkhianat. Bisa-bisanya ia berucap tanpa berpikir dan kini wajahnyapun malah bersemu tanpa ijin.
"I can't believe it." Ia mengumpat dirinya sendiri yang dalam bisikan dan mengusap wajahnya. Merutuki kebodohannya dan berusaha menutupi semburat kemerahan itu.

Setelah beberapa detik Meera berusaha mengatur napas dan degupan jantung yang tiba-tiba berdentum tak karuan, iapun kembali bicara. "Raichand, jika permintaan maafku tadi tidak cukup untukmu, apa yang harus aku lakukan sekarang agar kau tak lagi selalu mengekor?"
  

Dahi Annand berkerut. "Pertanyaan yang sulit. Tampaknya aku tak bisa menjawabannya dalam beberapa hari kedepan."
  
  
"Jadi kau akan terus mengikutiku??"

Annand mengangguk dengan wajah tanpa dosa.

"Kalau begitu, aku akan melapor polisi!" Meera yang mengeluarkan ponsel dari saku, langsung direbut oleh Annand. Gadis itu tak sempat melakukan perlawanan.

Annand mendekatkan wajahnya pada Meera sambil tersenyum. Jika beberapa sentimeter lagi lebih dekat, mungkin keduanya dapat merasakan degupan satu sama lain yang ternyata seirama. "Dengan begini, sekarang kau yang akan mengikutiku, atau bahkan mengejarku.." bisik laki-laki itu, lalu memasukkan ponsel Meera di saku celana dan melangkah pergi bagai tak ada beban.
 
 
Kini Meera menjambak rambutnya dengan kesal. 

Kenapa begitu sulit menghadapi laki-laki menyebalkan itu??

Dan sesuai harapan Annand, Meera pun mengejarnya.

Literally, mengejar. 


 
"ANNAND RAICHAND!!"
  
  

          
 
 
***
  
         

"Sepuluh sampai seratus.. Seberapa kesal kau sekarang?" Tanya Pia setelah Meera menceritakan bahwa novel dan ponselnya disandera Annand. Mereka kini duduk diundakan jalur masuk gedung kampus. Langit yang berubah oranye menandakan perkuliahan sudah selesai sejak lima belas menit yang lalu.

"Satu juta!" Gusar Meera.

"Good.."

Meera memandang sahabatnya tak percaya. "Hanya itu tanggapanmu? Good? Apanya?"

Pia balas memandang Meera dengan senyum yang dipaksakan. Ia kembali berbisik, "Good yang artinya, aku tak bisa membuat jokes tentang kesengsaraanmu saat ini."

Meera memutar bola matanya, "Oh God, Pia. Bantu aku berpikir untuk mengambil barang-barangku karena besok sudah weekend! Bagaiamana jika papa menelepon?"

"Shut up, Meera. Jangan mengambil ucapan khas ku. Lagipula, aku sudah menemukan solusinya.." Pia merogoh tasnya mencari sesuatu.

"Ucapan khasmu yang mana? Oh, God? Memangnya hanya kau yang punya tuhan?"

Pia mendelik pada sahabatnya itu hingga akhirnya menemukan apa yang ia cari dan menyodorkannya pada Meera.

"Festival Holi?"

"Yep! Undangan langsung dari kedutaan India." Jawab Pia. "Besok kita akan merayakannya disana. Kali ini kau harus ikut."

"Lalu apa hubungannya dengan ide mengambil barangku dari Annand Raichand?"

Pia berdecak. "Oh God, Meera. Kau lupa Annand itu anak dari duta besar kita? Besok pasti dia datang. Lagi pula tahun lalupun dia datang. Kau saja yang selalu mengurung diri di dalam selimutmu."

Wajah Meera mulai berseri. Ada harapan untuk bisa merebut kembali barang berharganya dengan lebih cepat. "Kalau begitu bersiaplah merayakan festival Holi tahun ini bersamaku.."

"That's my girl!"



***

INCOMPLETED LOVE [✓]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant