***

"Tekanan darahmu stabil, Mayor. Kecepatan nadimu juga tadi bagus, tak ada yang perlu di khawatirkan." Ucap seorang wanita pada laki-laki berjambang yang duduk menyender di atas kasur pasien.

Wanita yang sedang memakai jas putih kebanggaan para dokter itu melepas manset tensimeter dari lengan kekar Mayor Raichand.

"Tapi-"

"Tapi apa? Jika tentang sakit kepala yang menyerangmu dua hari lalu, itu salahmu sendiri kenapa kau terlambat minum obat."

Mayor Raichand berdecak. "Baik.. Aku mengakui kesalahanku. Aku hanya heran saja, padahal sudah lama kepalaku tak sesakit ini, tapi kenapa kemarin lusa malah terasa begitu?"

Sang dokter memukulkan pulpennya ke lengan berotot sang Mayor yang membuatnya mengaduh. Mereka kini bersikap seperti teman, bukan dokter dan pasiennya lagi. "Dan salahmu juga kenapa tidak langsung memberitahuku, Ammar.." ucap dokter tersebut sebelum menulis hasil assesmen dalam rekam medis pasien di depannya.

"Aku sibuk, Naina-"

Sang Dokter langsung memberi tatapan tajam.
"Oke, oke.. Maafkan aku dr. Naina Malhotra. Harusnya aku langsung memberitahumu. Tapi kau tau sendiri ada tugas baru dari mantan menteri pertahanan, kan?"

"Oh iya, tentang tugas itu. Bagaimana? Aku memberimu ijin melakukannya karena itu hanya seperti tugas menemukan seekor anak kucing, kan?"

Sang Mayor memutar mata. "Please.. Kenapa kau, dokter pribadiku yang baik hati ini, malah mengijinkan aku melakukan tugas seperti itu? Aku ini seorang tentara. Dan kau mencatat setiap pemulihan yang terjadi padaku. Seharusnya kau mengijinkanku untuk kembali menjaga perbatasan."

Dr. Naina mendesah, dia memang sudah menjadi dokter pribadi tentara di depannya itu sejak sang Mayor terkena bom lima tahun lalu. Dimana hubungan pertemanan mereka juga dimulai. Ia memang mencatat setiap pemulihan Mayor Raichand sampai saat ini. Dan itu perkembangan yang baik. Ia tau sang Mayor memang cukup sehat secara fisik, tapi secara mental ia belum bisa memastikan.

Karena sebenarnya dr. Naina sendiri tak mengerti kenapa ingatan Mayor Raichand masih bersembunyi dibalik memorinya yang lain.

"Kau tau sendiri kalau ini bukan tentang fisikmu, Ammar.."

Sang Mayor menyunggingkan senyum tipis. "Aku merasa kau satu-satunya temanku di sini, hanya karena kau yang selalu memanggilku dengan nama depan, Naina."

Ya, nama depan sang Mayor adalah Ammar.

A. Raichand, di dada kanan seragamnya adalah singkatan dari Ammar Raichand.

Dr. Nanina tertawa. Lagipula, di kesatuan tentara mana ada yang berani memanggil seorang perwira hanya dengan nama depan saja.

Ammar berdecak. "Kadang aku lelah hidup seperti ini. Lima tahun berjalan tanpa tau kehidupanku sebelumnya." Selama ini hanya dr. Naina yang menjadi tempatnya berkeluh kesah. Yang menjadikan mereka dengan mudah menjadi teman bicara.

"Kenapa ingatanku begitu payah? Yang bisa aku ingat sampai sekarang hanya namaku, ayahku dan tugasku sebagai tentara. Kehidupanku diluar itu, aku tak mampu mengingatnya. Jika aku bertanya pada ayahpun, dia hanya menyuruhku tak memaksakan diri untuk mengingat semuanya. Dia sudah senang aku bisa mengingatnya. Aku benar-benar benci situasi ini."

"Ammar, benar kata paman Vikram. Jangan memaksakan otakmu, terlalu banyak saraf di sana yang kau tak tau akan berdampak seperti apa pada bagian tubuhmu yang lain. Otak adalah pengendali semua fungsi tubuh. Aku tak mau fisik pasienku yang sudah sehat ini menurun. Jadi, jalani saja dulu hidupmu sekarang dan biarkan ingatan itu datang secara mengalir."

INCOMPLETED LOVE [✓]Where stories live. Discover now