BAB 44. This is It

222 32 11
                                    

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

“Matt,” panggil Hana. “Gue kirim daftar uang lo yang gue pake. Udah gue catat serinci mungkin. Kalo menurut lo ada yang kurang bisa lo tambahin.”

Meskipun sampai detik ini Matt tidak meminta uangnya kembali, tetap harus dikembalikan. Hana mengirim file Excel ke Whatsapp Matt. Hana yakin tidak ada yang terlewat karena selalu dicatat setiap malam. Jika ada selisih semoga saja tidak lebih dari seribu yen. Masalah utang ini harus segera diselesaikan supaya tidak ada masalah dikemudian hari, lagi pula sejak hari pertama bertemu dengan Matt dia bilang pinjam bukan minta.

“Gue nggak perlu uang lo.”

“Gue tau uang lo banyak, tapi gue harus bayar utang gue.”

“Kalo gue bilang nggak artinya nggak.”

“Tapi-“

“Nggak ada tapi. Gue nggak akan kasih lo nomor rekening gue.”

Sifat keras kepala Si Dominan belum hilang juga, padahal Hana kira sudah berkurang walau sedikit kalau diingat beberapa Hari ini Matt selalu bersikap lebih baik, lebih perhatian dan diam-diam memberikan kejutan pemandian air panas di Gala Yuzawa. Ternyata itu semua hanya fatamorgana.

“Gue bisa tanya ke Martin.”

“Dan gue udah WA Martin: jangan kasih info apa pun tentang gue ke Hana.” Matt menunjukkan layar ponselnya ke Hana. Pesan terakhir dari percakapan mereka sesuai dengan yang dibilang Matt.

 “Matt, gue beneran mau bayar utang gue. Gue nggak mau punya utang budi.”

“Lo berpikir terlalu jauh, Hana. Uang yang gue pake buat lo nggak sebanding sama bantuan lo.”

“Apa yang udah gue bantu.”

Hana menatap Matt yang duduk di seberangnya dengan serius. Biasanya Hana selalu memilih duduk di sebelah Matt karena tidak siap jika ditatap oleh Matt secara mendadak dan jika kegugupan Hana diketahui oleh Matt artinya bencana karena aliran darah Hana berlomba menuju pipi dan telinganya. Kalau Matt sampai bertanya, “Kenapa pipi lo merah lagi?” Lebih baik Hana kabur saja. Di dalam ruangan yang hangat Hana tidak mungkin menggunakan udara dingin sebagai alasan.

Tapi sekarang berbeda. Di satu jam terakhir ini, Hana ingin menatap wajah Matt sepuasnya sekaligus ngobrol santai sambil menikmati segelas matcha latte. Perjalanan ini pantas ditutup dengan minuman yang memiliki perpaduan mewah antara teh hijau pahit dan susu steam. Sama seperti awal perjalanan Hana yang pahit kemudian bertemu dengan Matt dan segala sifatnya yang manis.

Kening Hana berkerut saat melihat Matt menggelengkan kepalanya lalu menutup bagian bawah wajahnya dengan telapak tangann, tapi Hana yakin di balik telapak tangan itu Matt tersenyum dengan lebar sampai sudut matanya berkerut.

Matt berdehem untuk menormalkan suaranya kemudian menjawab, “Banyak.”

“Contohnya?”

“Di liburan kali ini gue nggak merasa sendirian karena ada lo.”

Will You Remember Me?Where stories live. Discover now