☪hapter 1

76 5 0
                                    

🪸🪸🪸

Tiga hari berlalu setelah hari ulang tahun ku. Tidak ada perayaan, tidak ada ucapan, dan tidak ada lilin harapan. Aku melewatinya begitu saja meskipun tahun ini adalah ulang tahun ku yang ke 17 tahun. Semua orang tahu, angka 17 dalam kehidupan seseorang adalah momen terbaik. Tapi menurutku semua itu sama saja, ayahku bahkan tidak memberiku ucapan selamat ulang tahun. Entah karena terlalu sibuk atau memang sudah lupa karena usia nya yang sudah separuh abad.

Sejak kecil, aku hanya tinggal bersama dengan ayahku. Ia seorang penjahit terkenal di kota ku, setiap hari tangan nya menari nari diatas meja jahit nya ditemani suara mesin jahit tua kesayangannya. Ayah bilang, aku harus menempuh pendidikan yang tinggi agar hidupku tidak sulit seperti dirinya.

Aku bekerja separuh waktu untuk membantu meningkatkan keuangan keluargaku, ini tanpa sepengetahuan ayah. Aku hanya beralasan ikut les hingga sore hari, aku tahu ayah tidak akan mengizinkanku bekerja membantunya di usiaku yang terbilang masih kategori seorang pelajar.

Aku suka membaca buku, hampir setiap hari setelah pulang sekolah, aku akan mampir ke perpustakaan kota untuk membaca buku. Bibi Mon, penjaga perpustakaan selalu menyambutku dengan hangat saat aku datang. Sampai pada akhirnya ia mengizinkanku untuk bekerja menjadi penjaga perpustakaan dari siang hingga sore hari. Ini menyenangkan, aku bisa membaca buku sepuas yang aku mau sekaligus menata buku nya sesuai dengan daftar bacaan.

"Kau datang lebih awal kali ini, Claire." Wanita rambut brunette itu datang padaku dengan tumpukan buku yang hampir menutupi wajahnya.

Ku lirik sekilas jam tangan ku, yang benar saja aku datang 10 menit lebih awal dari jam kerja ku. Siang ini tidak ada kuis mendadak di sekolah hingga aku bisa segera pergi ke perpustakaan.

"Bagaimana kabar ayahmu?"

"Belakangan ini ayah tidak banyak bicara, hanya terus mengotak-atik mesin jahit tua nya. Sepertinya sedang bermasalah." Jawabku

"Bagitukah? Baiklah saat pulang nanti aku akan memberimu kain, berikan pada ayahmu, aku sudah memberikan catatan ukuran baju ku di dalamnya."

Aku hanya mengangguk kemudian membantu Bibi Mon menata buku yang ia bawa tadi.

Bibi Mon, usianya sekitar dua-tiga tahun lebih muda dari ayahku. Sejak SMP aku mengenalnya karena aku sering datang ke perpustakaan. Wajah nya yang cerah dan rambut brunette nya yang khas menambah kesan elegan untuk Bibi Mon. Meskipun terlihat pendiam dan misterius, Bibi Mon adalah orang yang sangat baik. Ia sering bercerita dengan ku dan menganggapku seperti anak karena putra nya yang merantau jauh dari rumah.

Menit demi menit berjalan begitu saja. Beberapa orang mulai memasuki perpustakaan, didominasi oleh kalangan mahasiswa. Mungkin mereka mencari referensi untuk karya tulis ilmiah. Sesekali aku tersenyum menyapa pengunjung perpustakaan yang berjalan melewati meja penjaga. Senang sekali rasanya melihat raut wajah mereka yang berseri saat menemukan buku yang dicari. Terkadang aku juga turut membantu mencarikan buku untuk pengunjung. Aku nyaris hafal diluar kepala tata letak buku di perpustakaan besar ini. Mulai dari karya tulis ilmiah, buku pengetahuan, novel, jurnal, bahkan ada beberapa buku motivasi dan sejarah kota yang tersusun rapih diatas rak buku.

Melihat banyaknya pengunjung perpustakaan sore ini membuatku enggan untuk berpamit. Tapi karena ini sudah sore hari, mau tidak mau aku harus segera pulang tepat waktu agar ayah tidak mencecarku dengan puluhan pertanyaan nya.

"Bibi Mon, terima kasih untuk hari ini." Wanita itu menyunggingkan bibir membentuk lengkungan cantik di wajahnya.

"Untuk apa? Akulah yang harusnya berterimakasih. Oh ya, jangan lupa pesanan ku ya, Claire. Bawa kain itu dan berikan pada ayah mu nanti." Bibi Mon mengingatkan ku kembali dengan kain miliknya.

The Five Miracle Of Thrones Donde viven las historias. Descúbrelo ahora