7

81 9 1
                                    

Iruka ingat, saat itu ia berada di kelas delapan, dan kabar burung yang sedang hangat-hangatnya terus memancing rasa penasarannya.

Namun, Iruka terlalu takut untuk bertanya pada orang yang bersangkutan. Karenanya setiap kali berpapasan hanya sapa biasa seperti siswa kebanyakan, lagi pun Iruka masih ragu dengan perasaannya dan tak ingin meneruskan jika memang kabar burung itu benar adanya.

"Bukankah menjauh dari apa yang kau suka sangat menyesakkan?"

Iruka berpaling, matanya mengerjap kaget, menemukan sosok dengan cup kopi duduk di kursi paling belakang sembari mengamatinya yang tengah pusing dengan tugas matematika.

Kakashi berdiri dari duduk, meninggalkan cup kopi di meja sebelum kaki jenjangnya melangkah pelan kearahnya.

Jujur Iruka kembali terpesona, meski ia tahu sebentar lagi rasa kagumnya harus sirna agar ia tak menderita.

"Walaupun hubungan kita tak terlalu dekat, tapi kau jangan berpura-pura tak ingat pada orang yang sudah menunggumu dewasa."

Tidak seperti saat sebelumnya, Iruka hanya tersenyum, menarik ujung-ujung bibirnya agar tampak baik-baik saja di depan Kakashi yang kini membungkuk di depannya.

"Sensei, anda tidak boleh berjongkok seperti itu, apalagi di depan murid bodoh sepertiku," ujarnya di selingi kekehan kaku. Tetapi Kakashi abai, matanya terpaku pada manik bening yang memerah, berkaca entah karena apa.

Iruka terdiam, tenggorokannya kering, melihat seseorang yang dipujanya tampak tak bergeming.

"Benarkah kabar yang tersebar itu? Jika benar, kenapa anda begitu gegabah? Mendatangiku yang tengah mengangkut satu persatu memori, untuk kemudian dihilangkan bersama dedaunan kering diujung musim.

Apa anda tidak kasihan? Melihatku berusaha sendirian guna melupakan kenangan yang anda berikan? Setidaknya hargai kerja kerasku, dengan tak muncul tiba-tiba di depanku."

Menahan isak, sosok dengan tinggi tak seberapa itu direngkuh. Didekap erat tanpa ingin dilepas, tak ingin melihat airmata yang meluncur deras.

"Aku tahu, karena aku juga begitu. Tapi, apa salah jika aku memberimu salam selamat tinggal? Karena mungkin kita akan berbeda jalan."

Membalas pelukan hangat dari sosok yang kini dikabarkan akan bertunangan dengan guru baru, Iruka berharap agar waktu berhenti sesaat. Ia masih ingin begini, masih ingin dipeluk seperti ini, masih ingin diberi perhatian lagi dan lagi.

Walaupun tidak setiap hari, walaupun tidak sesering sepasang kekasih, walaupun hanya sekadar tepukan ringan yang jarang terjadi.

Ingin. Iruka benar-benar ingin dan ia sangat menyesal karena tidak mengatakannya saat kelulusan kelas enam. Kenapa ia harus lari saat itu, dan kenapa ia harus menghindar setelah itu?

Kenapa?

Iruka menggigit kuat bibirnya, sebab ia sepertinya tak bisa meredam nyeri yang mendera.

"Maaf, karena aku tak bisa menolak, apalagi saat orang tuaku sudah terlanjur bertindak."

Tanpa sadar Iruka terisak, kenapa semenyakitkan ini? Kenapa rasanya pahit sekali?

"Aku juga punya kabar baik dan buruk."

Iruka mendorong dada Kakashi, mengelap airmatanya dengan lengannya sendiri, sebelum mata merahnya menatap pasrah sosok dengan mata sayu itu.

"Sensei ingin mendengar yang mana dulu?" Tanyanya sembari menangkap wajah Kakashi, kemudian menyatukan dahi mereka, memejamkan mata berusaha untuk tenang dan menerima takdir yang ada.

Menikmati hembusan nafas hangat yang menerpa hidungnya, pria berumur 27 tahun itu tanpa ragu menarik kembali remaja yang tengah mempersiapkan diri, jemarinya yang telah berada di belakang leher Iruka mendorong pelan pemiliknya, agar jarak diantara mereka merapat, agar bibirnya kembali bertemu dengan bibir ranum yang sebentar lagi tak bisa ia kecap.

"Sensei, berhenti."

Meskipun berkata seperti itu, tangan Iruka masih bergelayut di leher Kakashi, seakan mengatakan jika pria yang umurnya terpaut jauh darinya ini bukanlah milik siapapun, melainkan miliknya seorang diri.

"Aku ingin menjadi milikmu, bolehkah?" Cicitnya tanpa ragu, membiarkan Kakashi menatapnya kaget bercampur haru.

Pria itu berdiri menarik kursi kosong dan membawa Iruka kepangkuannya.

"Kenapa tak bilang dari awal? Dan kenapa kau harus menghindar?"

Lagi, Iruka tersenyum, meremas rambut perak yang harum, membiarkan kepala Kakashi bersandar di bahunya.

"Jadi, Kakashi-sensei, apa anda ingin tahu kabar buruk yang ingin kusampaikan?"

Kakashi mengangguk, masih menikmati aroma manis dari tubuh mungil yang berada dalam pangkuannya.

"Kabar buruknya adalah aku tidak bisa melupakanmu."

Kakashi mengangguk-angguk lagi, merasakan tangan mungil yang masih meremas surai peraknya dengan pelan. Bisa Kakashi rasakan tangan itu turun ke lehernya, kemudian menciumnya sedikit lama, sebelum semakin merapatkan tubuhnya, membuat Kakashi harus menegakkan kepala karena terganggu dengan gerakan Iruka.

Ditatapnya mata sembab Iruka yang juga menatapnya dengan hangat, remaja itu merentangkan kedua tangan, dan Kakashi kembali menaruh kepalanya di dada Iruka.

"Kabar baiknya?"

Iruka berdeham sebelum menjawab, "Kabar baiknya, aku akan pindah setelah lulus nanti."

Kakashi merespon dengan acuh tak acuh seperti biasa, "Bukankah itu terbalik," ucapnya memberi kecupan-kecupan kecil pada leher Iruka yang semakin terbuai.

"Ya, sebelum aku mendengar kabar tentang pertunangan itu."

Kakashi berhenti saat tangan Iruka menahan kepalanya, jemari kurus itu mengelus pipi, rahang dan hidungnya, kemudian berhenti di bibir, mencubitnya pelan sebelum memberi kecupan singkat.

"Apa anda tidak marah dilecehkan begini?" Tanyanya sembari mencium bibirnya lagi.

"Mungkin karena ini akan menjadi yang terakhir, aku akan mencoba untuk menikmati setiap waktu yang tersisa."

Iruka tersenyum, tertawa pelan, merasa jika dirinya menjadi orang istimewa sore ini.

"Sensei."

"Hm?"

Mata Iruka berubah, sinarnya penuh ingin tahu, dan Kakashi mulai menebak-nebak apa yang akan ditanyakannya.

"Bagaimana rasanya kopi hitam tanpa gula?"

Ada jeda yang agak lama, sebelum Iruka melanjutkan.

"Aku pernah mencoba, tapi rasanya benar-benar pahit sekali. Kalau menurut sensei sendiri, bagaimana rasanya?"

Sedetik kemudian, tawa kecil lolos dari bibir Kakashi, dia mengusak rambut Iruka gemas.

"Yang pasti, tidak semanis dirimu," jawabnya sebelum kembali menciumi leher Iruka, dan berhenti saat sadar langit mulai gelap.

Mereka kemudian tertawa, sadar dengan kebodohan yang mereka perbuat. Lalu sama-sama terdiam begitu sesak mendera dada, apakah mereka akan baik-baik saja, dengan sakit yang luar biasa tak terbantah?

Esoknya, mereka menjadi asing, membangun sekat yang dulu tidak penting, kini semuanya berubah dan tak ada satupun dari mereka yang berani menyapa saat tak sengaja berjumpa.

After You, Maybe [KakaIru]Where stories live. Discover now