Part 3

92 10 0
                                    

Jarang sekali Iruka melihat Kakashi di taman belakang sekolah, dengan cup kopi yang tak pernah Iruka sangka rasanya akan sepahit obat orang dewasa, tapi mungkin lebih nikmat dengan aroma khas yang tidak ada duanya.

"Kapan kau akan menjadi pemberani?" Suara berat membuatnya mengerjapkan mata, merasa jika satu-satunya orang dewasa di antara mereka sedang mengajaknya berbicara.

"Aku tidak ditakdirkan sebagai pahlawan, karena itu aku tidak memiliki keberanian," jawab Iruka dengan polosnya sampai menarik sudut bibir Kakashi yang tengah bersandar nyaman di bangku taman yang terbuat dari kayu.

Kelereng sehitam warna lautan dikala malam itu menatap takjub, sedikit tersiram sebuah kesejukan, satu alisnya terangkat sedikit, bertanya dengan nada agak menyebalkan.

"Kalau begitu, apa kau mau menjadi penjahat dengan sifat pengecutnya?"

Iruka terdiam, merasa tersinggung dengan pertanyaan guru yang mengajar kelas lima itu.

"Aku tidak berpikir akan menjadi penjahat," ucap Iruka sembari menambah gesture penekanan agar orang yang berjarak 2 meter di depannya ini berhenti tersenyum mengejek padanya.

"Lalu, kau mau menjadi apa?" Pertanyaan kembali tercipta dan Iruka melengos tak suka.

"Aku tidak tahu," jawabnya asal tanpa memperhatikan sosok tinggi itu berjalan mendekat, menepuk kepalanya pelan dan berjongkok menyamakan tinggi badan mereka.

"Kalau begitu, kenapa kau tidak berharap agar menjadi milik seseorang saja?"

Lagi, manik hitamnya menjerat, membuat nafas Iruka sedikit tersendat, berat.

Hatinya kembali berdebar keras, entah Kakashi mendengar atau tidak, yang pasti gemanya sudah berisik sekali, sampai membuat Iruka sendiri merasa risih.

"Aku milik ayah dan ibuku," polos ia kembali menjawab, pipinya terasa sangat panas, dan tangan mungilnya bergetar saat jemari besar membawanya mendekat ke bibir yang tadi digunakannya untuk menyesap kopi hitam tanpa gula.

Tubuh Iruka berjengit, seperti tersengat listrik, tetapi sosok yang tengah berjongkok ini justru tersenyum hangat, membuat lutut Iruka bertambah lemas.

"Berapa umurmu tahun ini?" Pertanyaan yang sama, Iruka menjawab sembari menundukkan wajah yang panas tiba-tiba.

"Sembilan tahun," ucapnya sedikit salah tingkah saat punggung tangannya kembali di cium oleh sosok yang kini telah berlalu setelah sebelumnya berkata, "Aku akan menunggu."

Membiarkan tubuhnya terduduk, jelas Iruka tak mampu berdiri, kekuatannya tersedot habis oleh dia yang tampak sulit dimengerti oleh akalnya yang masih sangat dini untuk mengerti apa maksud dari pertanyaan yang disampaikan setiap kali.

After You, Maybe [KakaIru]Where stories live. Discover now