Kakak Terbaik

76 12 2
                                    

Tara duduk di sofa ruang tengah dengan wajah tertekuk, bocah laki-laki berusia enam tahun itu kesal karena lagi-lagi Ia ditinggal oleh Elina dengan alasan yang sama. Ia mendengkus, apalagi saat tidak melihat keberadaan Abil yang seharusnya ada di area rumah.

"Nih, ditinggal lagi, ya?" Abil datang dari arah dapur dengan membawa sekotak es krim dan sendoknya. Anak laki-laki itu duduk di samping Tara, membuka kotak es krimnya dan menyendoknya.

"Abil nggak main?" tanya Tara dengan alis berkerut, wajahnya masih jutek, tetapi Abil tidak mempermasalahkan itu.

"Kan nggak dibolehin Papa, Revan juga nggak main soalnya lagi sakit." Abil menjawab dengan cuek, Ia menyodorkan kotak es krimnya, Ia dibelikan sekotak es krim oleh Mbak Asri karena mendapat nilai seratus di ulangan matematika.

"Kalau Papa di rumah, aku juga main ke mall, kok." Tara mendengkus, menyendok es krim dengan gerakan sebal, ia tidak suka melihat Abil terlihat baik-baik saja dengan semuanya.

"Tahu kok, tapi Papa, kan, lagi di Semarang, makanya aku samperin." Abil menjawab dengan enteng, meski kadang Ia kesal dengan keegoisan Tara, Ia tidak bisa membohongi perasaannya, bahwa Ia menyayangi Tara.

Tara tidak menyahut, Ia sibuk menyendok es krim, menikmati sensasi dingin dan manis di mulutnya dan anak laki-laki itu tidak memungkiri bahwa rasanya menyenangkan. Kegiatan keduanya hanya ditemani televisi yang dinyalakan Abil, menampilkan kartun favorit. Tara menikmati es krim dalam diam, sesekali melihat ke arah Abil yang tertawa karena adegan di televisi.

"Abil, kenapa nggak pernah marah sama Mama dan Papa? Padahal kamu paling sering ditinggal pergi." Tara akhirnya menanyakan hal yang selama ini mengganjal di kepalanya. Selama ini ia berpikir bahwa Elina dan Randu tidak mengajak Abil karena kakaknya itu sibuk belajar. Tetapi, makin ke sini anak laki-laki itu sadar bahkan saat Abil tidak belajar, Abil tidak pernah diajak.

"Udah pernah, di usia kamu itu. Kamu nggak bakal inget, soalnya masih kecil, bisanya nangis doang." Abil menjawab sejujurnya, dulu, saat Ia belum sepenuhnya mengerti, Ia meronta, memberontak seperti halnya Tara. Tetapi, hal itu tidak membuahkan hasil, Elina menghukumnya di kamar dan Randu tidak berhenti memukul tubuhnya.

"Kamu dulu nakal, ya?"

"Kata Papa, sih, gitu. Tapi, Mbak Asri bilang, aku nggak nakal, kok, emang Papanya aja galak."

"Tapi, Papa nggak galak sama aku."

"Iya, soalnya kamu itu bungsu."

"Papa nggak galak sama Haris."

"Ya karena Haris anak sulung."

"Terus, kamu anak apa, dong?"

"Nggak tahu, udah, ah, masih kecil nanyanya udah aneh-aneh. Aku juga nggak tahu jawabannya, mungkin kalau udah jadi dewasa, nanti bakal paham." Abil memutus topik, memilih fokus dengan tontonan dan es krimnya.

"Kamu sayang Mama dan Papa?" Tara memberi pertanyaan terakhir, rasa penasarannya belum berakhir.

"Sayang banget. Aku bakal lakuin apa aja biar mereka bahagia."

"Kalau sama aku?"

"Sayang juga."

"Kok nggak banget?"

"Kamu nakal soalnya."

"Padahal lebih nakal Papa."

"Beda, soalnya nakalnya kamu bikin Papa nakal ke aku." Abil mengembuskan napas panjang, memilih bangkit dari duduknya, ia tidak mengira akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Tara dan Tara hanya melihat kepergian Abil dengan sejuta pertanyaan yang belum sempat diungkapkan.

Rehat : Berhenti Sejenak, BeristirahatlahWhere stories live. Discover now