"Sekolah ini punya aturan, Nyala! Nggak bisa kamu buat seenaknya."
Seorang guru sedang menghardik siswa berambut lumayan panjang yang diberdirikan di depan kelas.
"Ya elah, Pak. Ini udah semester akhir loh. Kenapa masih ada razia-razia, sih?"
"Kamu harus patuh dan tunduk dengan peraturan sekolah. Apalagi ini sudah semester terakhir kamu ada di sekolah ini. Ayo keluar, kita potong rambutmu."
"Nggak! Saya nggak mau!"
Dorongan bangku dari salah seorang siswi yang berada di bagian tengah ruangan menghentikan perdebatan antara guru dan murid itu.
"Hei, Perusuh! Keluar aja dari sekolah ini kalau nggak mau ikut peraturan. Toh, hadirmu di kelas ini cuma jadi pengacau!" seru salah seorang siswi berwajah tegas dengan tatapan tajam tertuju pada Nyala.
Tidak terima, Nyala langsung menghampiri gadis dengan rambut tergelung rapi itu, tetapi lebih dulu ditahan oleh guru.
"Sekar. Sudah, Sekar. Jangan macam-macam. Ayo, duduk!" Rara, teman sebangku gadis bernama Sekar itu mamaksa duduk.
Seakan tidak takut dengan amarah Nyala, Sekar semakin menaikkan dagunya. "Pak, tolong bawa saja dia keluar kelas. Kami di sini ingin belajar, bukan menyaksikan kerusuhan ini."
"Lagakmu kayak yang punya sekolah aja!" seru Nyala menuding Sekar. "Kamu cuma ketua kelas, bukan pemilik yayasan!"
"Apa cuma orang yang punya jabatan tinggi dan harta melimpah aja yang boleh menyuarakan pendapat? Sepertimu, contohnya?"
"Sudah sudah! Ayo keluar Nyala, kita selesaikan segera!"
Nyala masih saja bertukar pandang kesal atas apa yang dilakukan cewek arogan itu meski guru kesiswaan sudah menggiringnya keluar kelas.
"Kalau kamu seperti ini terus, Bapak akan panggil Ayah dan Ibu kamu, Nyala!"
"Jangan-jangan, Pak! Jangan!" sergah Nyala segera. "Saya mau lakuin apapun asal nggak potong rambut dan panggil orang tua saya. Please ... ya, Pak ... please." Ia mengatupkan kedua telapak tangan.
***
"Hargh!" Nyala melempar kasar tasnya ke dinding halaman parkir yang sudah lenggang karena bel pulang sekolah berakhir dua jam yang lalu.
"Udah, Nyal. Ikhlasin aja, ntar kalau udah lulus, gondrongin lagi tuh rambut," sahut Banu, pemuda yang tampan karena punya keturunan timur tengah itu menenangkan Nyala. "Lagian kenapa nggak bilang aja sih alasan sebenarnya ke Pak Baim?"
"Ntar jadi drama. Ayah sama ibu dipanggil ke sekolah. Nggak mau ngerepotin mereka." Nyala mengambil kembali tasnya lalu merebahkan tubuh di atas motor. "Ujung-ujungnya juga tetep salah."
"Nyala!"
Panggilan itu membuat pemuda bermata tajam dengan alis tebal itu mengangkat kepala. "Oe, Ra!" Ia menegakkan badan ketika teman sekelasnya menghampiri. "Belum pulang?" tanyanya.
Gadis berkacamata dengan rambut yang diikat ekor kuda itu menggeleng pelan. "Masih nungguin Sekar baca buku di perpus sambil nungguin jemputan datang. Kena macet, katanya ada demo di depan."
Nyala mengangguk dengan sedikit mendengkus kasar saat mendengar nama Sekar. "Betah banget nemenin cewek songong itu."
"Nggak boleh gitu, Nyala."
