Part 35 Es Krim Cabai

11 6 0
                                    

Kava Pov

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

Kava Pov

Kunyalakan lampu saklar kamarku, rasa takut yang sedari tadi menggerogoti diri begitu hebat, kini berangsur-angsur lenyap menjadi sebuah senyuman kebahagiaan.

Aku menahan tawa dalam hati menatap makhluk yang tengah berdiri tak jauh dari tempatku berdiri, jika tidak kutahan aku bisa jatuh tertawa terpingkal-pingkal sampai membangunkan bibi yang sedang tertidur.

“Nene … ngapain kamu di sini,” tanyaku tersenyum menatapnya. Kupu-kupu dalam perutku masih berterbangan ke sana ke mari, menggelitik syaraf tertawaku.

Telapak tangan kanannya membekap mulutku dengan cepat, sebelah tangannya lagi menarik lenganku erat.

“Shh … jangan berisik, nanti ada yang dengar,” bisiknya begitu lirih di depan mukaku seolah takut seseorang bisa mendengar ucapannya barusan.

Kumiringkan kepala seraya berbisik pelan ke daun telinganya, “Nggak ada orang di rumah, cuma aku,” jelasku padanya, “kamu nggak takut?" bisikku menggodanya.

“Enggak, emang kamu berani,” tantangnya padaku dengan wajah menantang.

Aku mengulum bibirku rapat-rapat menahan desiran gejolak hasrat dalam dadaku, menormalkan logika di atas perasaanku yang hampir kacau oleh pesonanya. Tatapan matanya yang menggoda seolah menarik-narik minatku akan dirinya.

Gadis ini sungguh berbahaya, sedikit saja pendirianku runtuh, aku pasti sudah jatuh berlutut di hadapannya.

“Enggak,  aku nggak berani,” balasku terlalu jujur. 

Yah! Kuakui aku belum berani untuk melakukan hal lebih dari berciuman. Umurku masih muda, aku tidak ingin melewatkan masa mudaku untuk sebuah kesalahan yang tidak bisa diperbaiki seumur hidupku.

Kanea menoyor lenganku gemas. “Gitu katanya berani.”

“Memangnya kamu pernah?” tanyaku sekedar ingin tahu.

“Aku …” ujarnya menunjuk diri, “enggak, enggak pernah.” Kanea menggelengkan kepala cepat, seolah menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin kuketahui.

“Serius, selama kamu jadi artis?” 

Yah! Sebenarnya aku sedikit paham bagaimana kehidupan jagad hiburan, itu semua gara-gara Fenan yang sering menceritakan pengalaman buruknya padaku, dan dari situlah aku akhirnya mengerti kenapa Fenan begitu gigih berjuang untuk menjadi seorang artis terkenal.

Tangannya membekap mulutku sekali lagi. “Jangan tanya lagi.” Raut mukanya menatapku serius.

Well, tenang saja, aku pasti akan mengunci mulutku rapat-rapat tentang hal ini, tidak ingin membuatnya tersinggung. Yah! Dia pasti tersinggung jika kuteruskan pertanyaanku.

Aku paham … semua orang punya cerita, punya masalah sendiri-sendiri yang setiap orang tidak bisa diceritakan, termasuk masa lalunya.

Jujur … sampai detik ini aku masih belum tahu betul tentang asal usul Kanea, bagaimana masa kecilnya, cerita biografi tentang lika liku perjalanan hidupnya hingga bisa jadi artis terkenal seperti sekarang..

RASA YANG TAK DIANGGAPWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu