#2 Parjo sang Petani dan Sepeda Baru yang Bekas

5K 90 4
                                    

Butir-butir keringat membasahi tubuh Parjo saat mengerjakan beberapa pekerjaan di sepetak sawah. Parjo mendapat amanah yang sekaligus menjadi mata pencaharian utamanya dari seorang juragan sawah di kampungnya.

Laki-laki berusia 35 tahun itu adalah seorang duda yang telah lama ditinggalkan oleh istrinya. Berkegiatan sehari-hari mengurus sawah untuk mendapatkan upah demi mengurus Joko.

Sebelum menjadi petani, ia juga pernah bekerja menjadi kuli bangunan, kuli apapun itu. Badannya yang masih fit dan kekar pun menjadi saksinya.

Parjo menengadahkan wajahnya ke langit, merasakan teriknya matahari yang membakar badannya. Sesaat ia melepas caping yang dipakainya lalu mengibas-ibaskan ke badannya membuat angin sepoi-sepoi yang sangat pelit untuk mengalir di sebuah ladang sawah.

Karena ia sedang menunggu seseorang, Parjo duduk di gazebo kecil tempatnya terbiasa beristirahat sejenak. Ia merebahkan diri, membiarkan bulir-bulir keringatnya mengalir dari dada dan perutnya, bergulir ke punggungnya sebelum terserap oleh kayu alas gazebo itu.

Melipat kedua tangannya untuk menjadi bantalan di bawah kepalanya, ia memejamkan mata. Melepas lelahnya otot-otot kaki dan tangannya, menyejajarkan punggungnya untuk rileks. Teduhnya gazebo membuatnya sedikit mengantuk sampai semenit kemudian seseorang datang menemuinya.

"Siang om." sapa seseorang membangunkannya.

"Iya mas." jawab Parjo membuka matanya. "Sudah dibawa mas?"

"Tuh..." balasnya sambil menunjuk ke suatu arah yang diikuti oleh pandangan Parjo.

Parjo segera bangkit dan terduduk, meminta pemuda itu membawakan sepeda yang ingin dibelinya ke depannya.

Pemuda tanggung berusia 18 tahun itu dengan sigap mengambil dan menaruh sepeda bekas yang cukup terawat itu di hadapannya.

"Masih fungsi kan mas? Pernah rusak nggak mas?" ucap Parjo kepada pemuda itu.

"Masih bagus om, cuma memang rantainya aja yang sedikit longgar tapi gampang dikencengin di bengkel... selain itu, semuanya fungsi om." balasnya.

Parjo turun dan melihat-lihat lebih detail. Setangnya, ketinggian pedal-saddlenya, rantainya, bannya.

Walaupun hanya sepeda bekas, ia ingin memberikan yang terbaik untuk Joko. Joko akan memasuki usia SMP mau tidak mau harus bersekolah pada jarak 4 km sementara belum ada angkot yang menjangkau daerah rumahnya. Hanya itulah satu-satunya cara yang terpikirkan agar Joko tidak kecapaian berjalan kaki.

"Mm.. sepertinya bagus mas." ujar Parjo sambil menepuk-nepuk saddle sepeda itu karena sedikit berdebu.

"Jadi, deal om?" tanya pemuda itu.

Parjo diam sejenak lalu menghembuskan nafasnya panjang. Parjo memandang pemuda bernama Andi itu dan mengangguk, Andi tersenyum menyetujuinya dan berkata kepada Parjo, "dibuka om, di sini aja ya mumpung sepi..."

<> flashback <>

Parjo: "Waduh mahal sekali mas..."

Andi: "Ya gimana ya om, setelah saya hitung-hitung lagi sudah pas om."

Parjo: "Tapi saya ga punya uang segitu mas, paling bisa setengahnya saja mas."

Andi: "Oh gitu ya om."

Parjo: "..."

Andi: "Boleh deh om, seperempat harganya saja om."

Parjo: (Terkejut) "Loh, serius mas?"

Andi: "Iya om, tapi ada syaratnya."

Parjo: "Apa mas?"

Parjo dan Joko AnaknyaWhere stories live. Discover now