Mimpi sang pendeta kecil#1

3 0 0
                                    

+Story of Horus, the little w̶i̶z̶a̶r̶d̶ priest+

"Omong kosong"
Sebuah suara yang terdengar dingin diucapkan kepada bocah laki-laki yang memeluk boneka kucing penyihir.

"Tidak ada untungnya menjadi penyihir, Horus... Yang mereka lakukan hanyalah melakukan hal kotor dan keji untuk kepuasan pribadi mereka. Yang kau katakan soal adanya penyihir berhati murni hanyalah propaganda semata yang dibuat oleh daratan barat"
Jelas sang pendeta di hadapan bocah itu.

"Tapi.. kakek kan penyihir yang baik, tak hanya itu, Horus diberikan boneka ini oleh penyihir kecil di pasar tadi!"

Boneka yang dipeluk bocah itu langsung direbut sang pendeta. Serta, ia mendapat tatapan tajam dari pria tinggi di hadapannya itu, membuat si bocah kecil ketakutan.

"Kau tidak tau apapun tentang kakekmu... Begitu juga dengan para penyihir bajingan itu"
Boneka kucing itu dijatuhkan lalu diinjak oleh sang pria pendeta. Bocah laki-laki itu lagi-lagi gemetar.

"Matamu itu... Terkutuk. Sama seperti kakekmu"
Ucap pria itu sinis dan tajam.
Bocah itu memegang sebelah matanya dengan tatapan sendu.

"Ho- Horus bi- bisa jadi penyihir yang ba- ba- baik... Kok..."

Pendeta itu pun terdiam sejenak, lalu menghela nafas berat. Ia berlutut menyesuaikan tinggi si bocah laki-laki itu, dan memegang kedua bahu kecilnya.

"Horus... Dengar, ayah tidak mau kau menjadi gila seperti mendiang kakekmu. Bahkan, jika kau menggunakan sihir untuk kebaikan, tidak menutup kemungkinan kalau suatu hari kau bisa saja akan tertarik ke aliran sesat para penyihir-penyihir darah itu"
Bocah itu pun terdiam mendengar ucapan sang ayah padanya. Ia tidak tahu harus merespon apa. Apakah harus menurut atau tetap meraih impian besarnya.

"Karena itu... Tolong, lebih baik kau menjadi pendeta dan menyembah dewa suci untuk meminta perlindungan darinya, daripada kau bermain-main mengayunkan ranting usang untuk membuat kekacauan"

"...."

"Ini demi memperbaiki nama keluarga Adelbert... Horus"
___
*Tok, tok, tok
"Sayang...?"
Seorang wanita membuka perlahan pintu kamar anak laki-lakinya. Ia melihat anaknya yang merenung itu dengan tatapan sendu. Ia pun akhirnya berjalan menghampirinya dengan segelas susu hangat dibawanya.

"Maafkan ayahmu yang terlalu keras ya... Dia hanya mengkhawatirkan hidupmu. Ayahmu sebenarnya sangat sayang pada Horus"
Anaknya itu tetap diam, tak merespon apapun yang dikatakan ibunya.
Ia pun akhirnya bertanya.

"Ibu... Apakah.. kakek jahat?"
Sang ibu terdiam, ia tak tahu harus menjawab apa pada anaknya. Jadi dia tersenyum tipis seraya mengelus rambut anak semata wayangnya itu.

"Tidak... Kakekmu adalah orang atau lebih tepatnya penyihir yang baik"

"Lalu... Kenapa ayah... Terlihat membenci kakek..?"

".... Maaf. Suatu hari, ketika Horus sudah dewasa akan ibu ceritakan padamu lebih banyak.. tentang kakekmu... Ya?"
Ia tak terlalu puas mendapatkan jawaban dari sang ibu, bocah itu hanya terus menatap selembar kertas dengan penyihir cilik tergambar di sana.

"Tapi, semua orang berhak bermimpi apapun yang mereka impikan, kan? Jadi, ibu yakin Horus pasti bisa jadi penyihir hebat yang baik hati, sebagaimana penyihir itu seharusnya"
Ucapan sang ibu membuat si bocah yang bermimpi tinggi itu kembali tersenyum lebar. Dia pun mengambil segelas susu yang ada di tangan sang ibunda dan langsung meminum habis segelas susu itu. Sang ibu pun terkekeh melihat anaknya yang kembali baru saja mendapatkan harapan.

Si bocah laki-laki itu, A.K.A Horus Sigisbert, yang sekarang berumur 10 tahun, kemudian diajarkan berbagai ilmu agama oleh sang ayah, untuk suatu hari nanti akan menjadi seorang pendeta seperti dirinya.
Horus hanya bisa menuruti apa yang ayahnya perintahkan.
Walau begitu.. dalam hati terdalamnya ia tetap berharap untuk dapat menjadi seorang penyihir hebat dan mulia, seperti yang diceritakan sang ibu soal kakeknya.

-ARSIP+!Where stories live. Discover now