II

94 10 0
                                    

Aku bersiap untuk bekerja hari ini. Meskipun sikapmu mulai berubah, namun kau tetap tidak melupakan kewajibanmu sebagai pasangan hidupku.

Kau memasakanku sarapan dan membuatkan kopi tanpa gula. Memasangkanku dasi lalu mengantarku hingga depan pintu rumah. Hal kecil namun membuat hatiku kembali menghangat.

Min Jimin kasihku, kau masih sama.

.

.

.

.

Aku menarik kembali kata-kataku. Kau berubah, Jimin! Demi langit yang pernah menjadi saksi pernikahan kita, aku tidak akam pernah memaafkanmu untuk ini.

Kau berhasil membuatku murka kembali. Langkahku kian memberat selaras dengan tanganku yang siap untuk menghancurkannya.

.

.

.

.

"Yoongi! Cukup! Hentikan! Aku hanya ingin bebas! Sikap pemarahmu itu membuatku lelah!"

.


.


.


.


Baiklah.

Kau mengatakan seperti itu tepat dihadapanku dan mereka.
Jika kau ingin menjatuhkan harga diriku, maka inilah kemenanganmu.
Aku telah jatuh dan hancur dibawahmu.

Selamat, Min Jimin.

.

.

.

Kau mengatakan bahwa ingin menemuiku di kantor. Dengan senang hati aku menantimu di lobi bawah. Namun apa yang aku dapati? Kau bercumbu dengan orang lain dihadapanku.

Tanpa ampun aku menghajarnya, menutup telingaku dari jeritanmu yang menahanku. Jangan, Jimin. Jangan kau tahan. Aku pun tidak mampu menahan diri saat ini.

Aku tidak tahu apakah tanganku atau hatiku yang terluka. Perasaan semu ini membuatku semakin ditelan murka.

Aku tahu tangismu hanya untuk biadab yang berani menyentuhmu itu. Maka tidak akan kupedulikan jejak luka ditanganku untuk menghajarnya hingga mati.

.

.

.

.

Kau pulang dengan wajah memerah, seperti itulah kebiasannmu ketika sedang bersedih. Aku tidak bisa mendekatimu, sekalipun aku ingin. Semua yang ada padaku telah hancur sejak siang tadi, Jimin. Seluruhnya, jiwa, raga, dan hatiku telah kau patahkan begitu kejam.

Kau mengganti pakaianmu dan menghiraukanku yang sedang kepayahan dalam luka ini.














Jimin kau tahu?
Aku sudah meragu atas cintamu kepadaku.

HiraethWhere stories live. Discover now