12. Baku Hantam

11 2 0
                                    

⚠️ PERHATIAN ️⚠️

Mohon bersikap bijaklah sebagai pembaca, sebab ini hanyalah karangan fiktif dan tidak bermaksud buruk! Dan jika ada kesamaan pada nama tokoh, tempat, dan sebagainya, itu sepenuhnya unsur ketidaksengajaan.

Jangan lupa untuk follow akun penulis, juga tinggalkan jejak vote dan komen! Terima kasih!

♡♡♡

Baron murka, ia tak bisa lagi menahan gejolak panas yang sedari tadi mengganjal di hatinya dan membuat kepalanya mengepul. Ia sudah mencapai batasnya. Omongan tak bermoral dari mulut Deo dan Ivan sudah sangat kelewatan, baginya.

Dari sana, baik Baron, Deo dan Ivan saling memberi pukulan. Rasa sakit perlahan menjalar di daksa ketiganya, dengan beberapa luka lebam yang terlihat jelas di wajah mereka. Namun walau begitu, Baron terlihat gesit dan mampu menyeimbangi rivalnya, yang bukan hanya 1 orang, melainkan 2 sekaligus. Pria itu dengan beringasnya menyerbu keduanya tanpa mengenal kata mundur.

Melihat kejadian itu, sontak membuat Khaila melotot dan refleks bangkit dari posisi. Rasa takut bercampur khawatir menggelayut dalam benaknya. Ia bingung harus berbuat apa. Melerai pun rasanya tak bisa karena daksanya sudah benar-benar gemetar.

Banyak pasang mata juga yang perlahan memerhatikan mereka sampai 2 petugas keamanan datang untuk melakukan tindakan. Mereka akhirnya terpisah. Berhasil dilerai dengan susah payah setelah para petugas mengeluarkan tenaga mereka. Kini tangan Deo dan Ivan dicengkeram kuat oleh para petugas, sedangkan tangan Baron dipegangi oleh Khaila. Wanita itu memeluk dan sebisa mungkin mencegah Baron untuk kembali maju.

Mereka lalu diusir. Perkelahian yang terjadi membuat Baron dan Khaila, serta Deo dan Ivan dibawa keluar dari Alun-alun Kota Bandung. Mereka sudah sangat mengganggu ketenangan dan kenyamanan para pengunjung. Cukup merepotkan jika keempatnya masih tetap bertahan di sana. Bisa-bisa kekacauan semakin besar, bahkan mungkin benda-benda di sekitar alun-alun hancur di tangan mereka.

Terpaksa, Khaila pun ikut menurut. Ia dengan tangan yang masih sedikit gemetar dan ekspresi yang menunjukkan ketakutan perlahan mencoba menarik Baron ke sembarang jalan. Lebih tepatnya mencari tempat yang memiliki suasana yang tenang dan jauh dari jangkauan kedua pengganggu tadi.

Dengan Khaila yang masih mencoba mengontrol dirinya, ia berniat pergi mencari sesuatu yang mungkin bisa membantu mengobati luka lebam di wajah Baron. Tentunya sambil membawa buku catatan pemberian pria itu guna membantunya memberitahu sesuatu yang dirinya cari kepada orang-orang, nantinya.

Akan tetapi, seakan tidak ingin ditinggal atau mungkin tidak ingin merepotkan Khaila, Baron bergegas menahan lengan kiri wanita itu. Ia lalu menggeleng, yang memiliki maksud ‘tidak perlu’. Ia meminta Khaila kembali duduk di sampingnya. Kemudian menggenggam tangan kiri wanita itu, sedang tangan kanannya memegangi wajahnya.

Sepintas, Khaila melirik ke arah Baron, tetapi buru-buru kembali menunduk. Entah mengapa saat ini ia merasa takut bersama pria itu setelah melihat bagaimana sisi Baron yang belum pernah dirinya lihat.

Mata tajam itu, wajah murka itu! Keduanya seakan terukir jelas dan berputar di kepalanya. Apa Baron semengerikan itu?

Merasa janggal dan seperti ada kecanggungan, sontak membuat Baron menoleh ke arah Khaila. Ia tatap wanita itu dengan saksama, bahkan sampai refleks memiringkan kepalanya untuk melihat jelas wajah Khaila yang kini masih menunduk.

Khaila tersentak. Ia refleks menatap balik netra Baron, kemudian spontan beralih cepat menatap ke arah lain. Ia tiba-tiba merasa kikuk bertatapan dengan pria itu, padahal mereka sering melakukannya.

Semakin merasa aneh, Baron kembali menegakkan posisinya, lalu sedikit memiringkan arah hadapnya ke Khaila dan bertanya, “Ada apa, Khaila? Apa kau masih memikirkan yang tadi?”

Khaila tidak merespons, juga tidak menoleh. Ia tetap pada posisinya.

“Ada apa, Khaila? Katakan padaku!” Baron berganti posisi menjadi berjongkok di hadapan Khaila ketika wanita itu terus saja bungkam dan tak menggubris pertanyaannya. Ia tatap lebih lekat wajah Khaila, tetapi wanita itu terus saja menghindari tatapan yang ingin Baron ciptakan.

Sampai, Baron yang seakan mendapat sinyal ketakutan di mata Khaila spontan mengernyitkan dahinya dan terdiam sejenak. Baru setelahnya, ia kembali bertanya, “Kau takut padaku, ya?”

Khaila sedikit tersentak dengan pertanyaan kali ini. Namun, sebisa mungkin ia tetap menundukkan pandangannya dan menyembunyikan perasaan itu.

Karena lagi-lagi tidak mendapatkan respons, Baron menangkup wajah Khaila dengan kedua tangannya dan mengangkatnya perlahan agar ia bisa menatap mata wanita itu. Terlihat jelas bagaimana mimik Khaila saat ini, termasuk netranya yang entah sejak kapan tampak berkaca-kaca.

Menyadari perasaan gusar di benak Khaila, berhasil membuat Baron melotot seketika. Ia menatap kedua manik wanita itu secara bergantian dengan saksama dan dalam membungkam. Sedangkan yang ditatap kian tengah menelan kasar salivanya dan mencoba untuk lebih mengontrol dirinya.

Apa ini? Kenapa tiba-tiba perasanku seperti ini?

Khaila yang tidak tahan berlama-lama bertatapan dengan Baron langsung beranjak bangun dari tempat, lalu dengan bahasa tangannya ia berkata, “A-aayhok! Qii-thaa pke-pkerrghi!” dengan suaranya yang tetap terdengar terbata-bata.

Mendengar dan melihat itu, Baron ikut beranjak bangun, kembali menatap lekat wajah Khaila dan tidak menggubris ajakan wanita itu. Namun, karena merasa bersalah, ia tiba-tiba memeluk Khaila, membuat wanita itu tersentak. Dipeluknya dengan erat dan dielusnya surai hitam kecokelatan wanita itu dengan lembut.

Dari sana, Baron berkata, “Maaf, Khaila. Aku tidak bermaksud merusak suasana.” Entah mengapa ia malah yang merasa menjadi tersangka, padahal jelas-jelas Deo dan Ivanlah yang memancing segalanya. Dan tanpa diberitahu pun Khaila tahu itu.

Seakan tidak merasa masalah--padahal hatinya masih merasa takut--Khaila mencoba melepaskan pelukan mereka dan menggelengkan kepalanya. Ia juga berkata, “Thidhak apha-apha.” Mencoba untuk mengembalikan atmosfer kebersamaan mereka. Dan karena itu Baron tampak meluluhkan mimik wajahnya.

Bagaimana bisa dia mencoba tetap seperti itu? Baron tahu, Khaila menyembunyikan sesuatu. Mungkin wanita itu masih takut pada dirinya, pikirnya.

Akan tetapi, karena tidak ingin membuat Khaila merasa semakin tidak nyaman atau sebagainya, Baron memilih mengikuti ajakan wanita itu. Ia genggam tangan kiri Khaila dengan erat, lalu menatapnya sejenak. Sepintas, rasa bersalah masih kental dalam benaknya. Ia merasa Khaila tampak berbeda dari sebelum perkelahian itu terjadi. Seperti lebih murung dan tertutup.

Dengan nada berat khas seorang Baron, pria yang masih menata lekat Khaila dengan tatapan penuh rasa tak enak itu kemudian berkata, “Mari kita pindah ke tempat yang lebih baik!” Ia lalu memulai langkah kakinya bersama Khaila, tepat ketika wanita tunawicara itu mengangguk setuju. []

♡♡♡

We are (Not) DifferentDonde viven las historias. Descúbrelo ahora