Mungkin Takut Perubahan

3 5 0
                                    

Sebuah tangan meraih bahuku. Ah, aku lupa sedang berada di ruangan ayah bersama Gesha. Aku menutup buku merah itu. Lantas meraih secarik buku dan sebilah pulpen.

Keindahan, Kebajikan, Kemakmuran

3 kata itu tertulis pada manuskrip pertama. Dengan aksara yang sama persis tercetak pada menara ditengah Kota Tureis. Aku berdecak kesal. Mengapa lagi-lagi harus aku yang menyelesaikan permasalahan?

Gesha membaca ketiga aksara yang ku tuliskan pada secarik kertas tadi. Ia bergumam dengan sedikit keterkejutan. Tampaknya Gesha pernah melihat aksara yang ku tulis ini. Gesha memandangku dengan ragu lantas mengedikkan bahu. Aku melihatnya, kedua manik mata Gesha yang bergetar kecil karena khawatir.

"Paman Gesha. Berapakah 'kekuatan' yang berada dipihak yang benar-benar sama dengan paman didalam perpolitikan ini?" Ucapku pada Gesha. Gesha terkejut, lantas menjawab pertanyaanku. "Ayahmu, cukup banyak pihak yang benar-benar sepaham dengan ayahmu. Paling tidak cukup untuk mengadakan pengeboman massal di 48 tempat." Gesha mencoba bercanda... atau mungkin sedang bercanda...

Aku menatap Gesha dengan sedikit ragu. "Apakah.." Aku memotong kalimatku. Haruskah aku melakukan ini? Ah, persetan dengan nantinya, setidaknya Dewa sudah menunjukkan eksistensinya dan sedang berada di pihakku sekarang.

"Apakah Paman Gesha bisa mengumpulkan semua pihak yang berada dalam paham yang sama dengan ayah? 4 hari lagi. Aku mohon Paman." Mohonku pada Gesha. Ia mengangguk tanpa mempertanyakan apapun tentang diriku. Aku yakin, yang membuat Gesha bisa mengenaliku adalah karena tanda di tengkuk leherku yang hanya bisa dilihat oleh orang yang hanya memiliki ikatan darah denganku saja.

Dia seharusnya bisa bertanya dan menolak, namun Gesha mencoba menutupi keterkejutannya dengan sedikit menundukkan kepala. Aku senang ayah memiliki adik yang mirip dengannya dan sepihak denganku sekarang.

Waktu berselang tak begitu lama setelah permohonanku pada Gesha. Gesha mengantarkan diriku keluar dari gedung kepemimpinan dan mengajakku untuk menaiki mobil ceper miliknya. "Akan aku antar kamu pulang ke Tureis. Apakah ada yang ingin kamu lakukan sebelum pulang kesana?"

Aku berpikir sejenak, lantas berbisik kepada Gesha. Gesha mendengarkan satu keinginanku lantas mengangguk dengan senyuman. "Baiklah tuan putri." Ujarnya usil. Aku tersenyum dengan sopan diikuti kepergian mobil ceper ke kampung halaman.

Perjalanan menuju Tureis memang memakan waktu yang cukup lama. 1 atau 2 hari perjalanan baru bisa membuatku sampai ke pangkuan ibu. Yah, berbeda lagi jika aku menaiki mobil bermerek Koenigsegg Agera RS buatan manusia pada zaman kalian itu. Dalam 1 atau 2 jam pasti aku bisa mendarat di Tureis dengan mudah dan cepat.

Aku melihat-lihat kanan dan kiri dari dalam mobil. Suasana dijalanan memang bisa dibilang cukup aneh. Terlalu sepi untuk dipanggil sebagai jalan raya dan terlalu rusak untuk dianggap sebagai sebuah jalan. Aku berusaha berpikir secara positif, mengindahkan pemikiran logis yang mulai menghantui seisi benakku.

Bagaimana bisa tidak ada satu pun warga yang berjalan di jalan raya? Bahkan sesosok Servus pun tidak terlihat dipinggiran jalan. Semuanya terlalu aneh.

Waktu berjalan begitu cepat hingga tak sadar bahwa kaca gedung-gedung lusuh Kota Tureis mulai nampak. Dengan cepat, aku menepis segala anggapan buruk yang mungkin saja benar adanya dan menyambut kedatanganku sendiri ke kampung halamanku tercinta.

"KAY!!! KAY!!" Seseorang berteriak dengan sangat keras, meneriakkan namaku dengan sangat lantang di depan pintu gerbang masuk ke Kota Tureis.

Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling melalui jendela mobil yang terbuka. Disana, Wayan bersama orang tua dan kakaknya berdiri bersama Ibuku. Mereka melihatku dari pinggir pesisir. "KAY! KAMI DISINI! JANGAN MASUK KEDALAM GERBANG!"

Telingaku mulai lalai. Aku tak lagi mendengarkan kalimat peringatan dari mereka dan mobil yang aku tumpangi merangsek masuk kedalam Kota Tureis.

Ledakan demi ledakan tersulut melalui pintu gerbang kota. Bau anyir darah, aroma daging yang terbakar, serta dedaunan dan bangunan yang habis menghitam tercium dari berbagai pelosok kota.

Sebelum kesadaranku menghilang, sebuah cahaya dengan sebilah pedang datang kehadapanku yang sudah terlempar jauh keatas jalan. Disaat itu hanya aroma aspal panas yang menemani indera penciumanku.

Menantang Rasi BintangWhere stories live. Discover now