Maniak Atensi

9 6 0
                                    

Kedua mataku enggan terbuka. Bau busuk ini sungguh menyerang indera penciuman yang kupunya. Saat terbangun, aku sudah berada diatas tanah berlumpur. Terlalu basah, kotor, juga berbau layaknya jemuran yang selalu basah. Ah, nampaknya menyelam dalam lautan sehari pun tak cukup untuk menghilangkan bau yang amat menusuk indera ini.

Bicara soal lautan, bukankah tadi aku masih berada didalam ruangan yang gelap gulita? Masih teringat jelas dalam benakku pasal eksistensi suram yang tadi kutuju. Mungkin setelah ini aku akan fobia dengan segala sesuatu yang gelap adanya.

Atmaku memindai pemandangan sekeliling. Berusaha menemukan sesuatu yang paling tidak aku kenal. Aku baru tersadar bahwa Wayan tidak ada disini. Apakah dia selamat dari debu bintang yang menghisapku dilautan tadi? Aku harap dia dapat kembali ke pesisiran pantai atau kota. Setidaknya dalam keadaan yang baik-baik saja.

Sekumpulan remaja berbaju sangat lusuh menghampiri diriku. Melihatku dengan penuh kekhawatiran dan kesedihan. Salah satunya mengulurkan tangan kepadaku, hendak membantuku berdiri diatas kaki lebamku. "An..da a..pa tidak?" Ucapnya ragu-ragu. Nampaknya mereka tidak dapat berbicara karena tidak mempelajari bahasa yang berlaku di Carina Vela.

Aku menggenggam halus tangannya yang kasar dan penuh luka. Sontak terkejut karena luka yang ada ternyata lebih dalam dari yang aku duga. "Tanganmu?! Oh, tidak." Ucapku spontan karena panik. Mereka berkerumun dihadapanku. Mulai memandang satu sama lain dan memberikan sobekan kain baju kepada lelaki didepanku. "Sa..ya a..pa tidak!" Ucapnya dengan senyuman yang merekah. Dalam nama Dewa, apa yang sudah terjadi disini?!

Mereka membawaku ketempat tinggal sang tetua. Aku melihat banyak sekali pohon ganja, bangunan berbentuk sel penjara, hingga beberapa orang yang terikat dengan rantai-rantai disekitar leher dan kaki mereka. Low Servus, kasta paling bawah yang pernah aku dengar dari layar lebar. Itu menjelaskan tentang kotoran dan sampah yang berserakan bahkan ditengah jalan.

Seorang tetua berdeham didepan kusen gubuk tua tersebut. "Siapa yang kalian bawa datang kemari?" Tanya sang tetua sembari menggunakan isyarat dengan tongkatnya. Ia kemudian terkejut dan terjatuh sesaat setelah melihat sosokku yang secara reflek membuatku mengulurkan kedua tangan hendak membantu sang tetua bangkit dari keterkejutannya.

Beliau hanya memandang kedua tanganku yang menggantung, terlihat jelas tak ingin menggenggam apalagi menjabat kedua telapak tanganku dan mundur dari jatuhnya. Setelah berdiri, ia kembali berdeham. "Ada gerangan apa yang membuat seorang Dives jauh-jauh berkunjung ke lubang kotoran kami ini?" Ungkap sang tetua dengan logat yang aneh. Nadanya yang mengungkapkan ketidaksukaan secara langsung serta kesalahpahaman kasta disini membuat suasananya semakin canggung dan kaku.

"Sebelumnya, maafkan kelancangan saya. Namun, jikalau anda berbaik hati, apakah anda bisa memberi tahu saya dimanakah tempat ini berada?" Senyum kecil kuselipkan diantara kalimat yang baru saja aku ucapkan. Berharap akan segera dijawab dengan sebuah kepastian.

"Apa yang..." Sang tetua memberikan jeda cukup lama setelahnya. Raut wajahnya memperlihatkan keraguan. "Apa yang akan anda perbuat jikalau saya berkenan untuk memberi tahu lokasi tempat kami berada ini?" Ah, keraguan yang berdasar.

Aku menggelengkan kepalaku dengan tegas. Aku hanya ingin mengetahui lokasi tempatku berada saat ini dan pergi ke permukaan untuk menyampaikan pesan kehilangan di kotak pengumuman. Setidaknya itu yang bisa ku lakukan hingga keluarga atau bantuan petinggi datang.

"Avior. Low Servus, Avior." Ungkapnya cepat dengan resah. Manik matanya bergetar dalam ketakutan. Memangnya siapakah yang ada dibelakangku?

Suara seorang pria paruh baya menyapu keheningan diantara kami. Lihatlah bajunya yang berhiaskan manik-manik permata. Semua orang yang melihat pasti langsung mengerti dimanakah tempatnya berada.

Pria paruh baya itu memegang bahuku dengan lembut lantas menatap kesal sang tetua didepanku yang sudah terlihat bisa terkencing kapan saja jika ada yang mengeraskan suara. "Jadi, apakah yang aku pikirkan dari situasi ini benar adanya?" Pria itu tersenyum remeh. "Ah tidak, aku tidak memerlukan jawaban dari kalimatku. Aku sudah memilikinya dari awal kelahiran diriku." Ucapnya saat sang tetua terlihat ingin menjawab pertanyaan sang pria.

"Beruntunglah kalian karena aku sedang malas berburu hari ini." Sang pria menatap tetua itu dengan arogan lantas berbalik dan menatap diriku singkat. "Apa yang kamu lakukan disini anakku? Tempat ini terlalu kumuh, tidak baik untuk kesehatan kulitmu." Ucapnya khawatir. "Namaku Dilengga Baskara." Sang pria kembali mengucapkan kata setelah melihat rautku yang terlihat sangat ragu. Bagaimana tidak? Kesalahpahaman ini saja masih terus berlanjut.

Dilengga mengambil tangan kananku dan menggenggamnya lantas berbalik dari gubuk. Berjalan menjauhi tempat kotor tersebut seraya menuntunku pergi ke tempat yang lebih subur. Mobil ceper khas tahun 40-an miliknya berkilau diterjang teriknya mentari. Ia menuntunku untuk duduk diatas mobil mewah tersebut. "Tak apa, hanya setitik kotoran tidak akan membuat mobilku usang." Serunya dengan ramah.

'Apakah semua Dives memang seramah ini pada kalangan masyarakat?' Ucapku dengan dungu didalam benak. Benar-benar melupakan kejadian yang baru saja terjadi didepan gubuk milik tetua. Sang supir pun mulai menggerakkan mobil.

-------------------------------------------------

Sekitar 40 menit sudah perjalanan hening kami berlalu. Aku sudah membersihkan diri dan berganti dengan dress mewah berwarna biru. Jujur saja, hal seperti ini sangatlah baru untukku. Naif sekali jika aku bilang ingin segera meluruskan kesalahpahaman yang ada.

Gedung-gedung tinggi berkilauan yang biasanya hanya dapat kupandang melalui surat kabar terpampang jelas didepan mataku. Diskotik-diskotik malam juga terlihat sudah beroperasi meskipun malam belum berjumpa daratan. Kami berhenti didepan gedung paling tinggi di kota ini. Béurn de Licè, papan besar di parkiran menunjukkan nama bangunan didepan. Sepertinya ini adalah gedung tempat para petinggi dunia menggelar rapatnya.

Seorang paruh baya lain sudah menunggu dengan resah didepan pintu gedung dengan surai putihnya yang mirip sekali dengan milikku. 'Ayah??' Sahutku didalam benak. Ah, mana mungkin beliau ayahku? Sosok orang tua yang lama menghilang karena kejadian lautan tiba-tiba kembali dalam kasta yang baru? Apakah itu mungkin? Aku tersadar dari lamunan. Aku saja bisa kembali ke daratan dan berada di Kota besar Avior. Kemungkinan untuk ayahku selamat dan menetap juga cukup besar!

Kami lekas turun dari mobil milik Dilengga. Dilengga menuntunku berjalan menuju pria bersurai putih didepan sana. Hingga saat sudah mendekat, pria itu memeluk tubuhku erat, aku merasakannya menangis diatas bahu kiriku. "Kayana... Kayana...." Gumamnya lama. Ah, jadi memang benar faktanya. Ayahku yang lama menghilang menjadi seorang Dives sekarang.

Ayah menengadahkan kepalanya, menatap Dilengga yang bersisian denganku. "Terima kasih Lengga. Terima kasih banyak." Ayah menjabat tangannya. "Apakah ada yang kau inginkan sebagai imbalannya?" Ayahku berucap kembali.

"Ah, tidak apa-apa tuan. Hanya kebaikan kecil yang saya lakukan. Biarkan Dewa yang membalasnya kemudian." Beberapa orang berjas mulai berkumpul didepan gerbang bangunan. Penasaran dan tertarik untuk melihat pertunjukan. Dilengga menegakkan badannya, tahu bahwa dirinya akan dikenal mulai sekarang, lantas berpamitan dengan ayahku yang disebutnya tuan.

Sesaat setelah Dilengga meninggalkan tempat, rekan-rekan miliknya mulai memberikan atensi yang diinginkan olehnya. Wawancara-wawancara liar dilancarkan oleh beberapa manusia, membuat Dilengga terlihat mabuk dan terjerumus didalamnya. Ah, ternyata aku baru saja bertemu dengan si maniak atensi.

Menantang Rasi BintangWhere stories live. Discover now