Ayah

10K 604 8
                                    

“Hai, Bro!”

Raka menoleh kearah pintu ruangannya. Seorang pria dengan senyuman kekanakan yang dimilikinya telah berdiri manis di sana. “Elo?” respon Raka datar dan membuat pria itu mendesis pelan.

“Apa perjalanan  Lo selama 2 minggu di Jerman udah membuat Lo gak kenal sama Gue lagi?” sungut pria itu seiring langkahnya memasuki ruangan milik Raka.

Raka tersenyum tipis dan terlihat tetap sibuk dengan tumpukan dokumen di hadapannya. “Gue Gak punya Oleh-oleh apa pun untuk Lo, Ris. Jadi jangan terlalu berharap.” ujarnya diselingi kekehan kecil. Raka sudah sangat tahu maksud baik apa yang di miliki Haris, bawahannya sekaligus sahabat baiknya itu untuk menyapanya pagi-pagi seperti ini. Apalagi kalau bukan menginginkan sebuah hadiah.

“Nyesel Gue udah nyapa Lo.” ujarnya sengit. Haris duduk dihadapan Raka, memainkan ponsel miliknya dan sesekali terdengar tawa kecil dari bibirnya. “Eh, Lo kenal Bara, gak?” Haris.

“Bara Aditya?” ujar Raka memastikan. Haris mengangguk kuat. “Kenal. Kenapa memangnya?”

“Dia mau nikah dengan cinta pertamanya. Di zaman seperti ini si bodoh itu masih saja percaya dengan Frist Love? Menggelikan.”

Raka yang awalnya tidak terlalu menanggapi ocehan Haris, kini menjadi tertarik dengan pembicaraan itu. Cinta pertama, dia terlalu sensitif dengan dua kata itu.

“Bahkan Gue dengar, dia rela gak mendekati perempuan manapun hanya untuk menunggu gadis itu. Yang benar saja! Itu terlihat sangat bodoh. Kalau Gue, Gue pasti secepatnya melupakan gadis itu dan kembali mengencani gadis lainnya. Yah... dia memang beruntung kembali dipertemukan dengan cinta pertamanya itu. Tapi bagaimana kalau tidak?” oceh Haris panjang lebar.

Raka dengan patuh mendengar setiap ucapan Haris yang terkenal Playboy dikalangan para gadis.

“Lagi pula... sekali kita sudah melupakannya. Maka disaat bertemu kembali, rasa itu pasti sudah lenyap entah kemana.” Gumam harus lagi.

“Lo salah.” potong Raka tiba-tiba.

Haris yang sedang tertawa lebar terpaksa menghentikan tawanya. Menatap bingung pada pria yang ada di depannya.

“Lo gak akan pernah bisa melupakannya sedikitpun, meski Lo telah membohongi seluruh dunia, meskipun Lo bertekad dengan sungguh-sungguh untuk melupakannya. Lo gak akan bisa. Lo... akan menyimpan perasaan itu, menyembunyikannya dimana pun hingga Lo kembali bertemu dengannya.”

Raut wajah Haris kini berubah mendengar ucapan Raka. Dia kembali melihat raut yang seakan menahan beribu kerinduan dari wajah itu. “Masih merindukannya?” tebak Haris. Dia tahu segala rahasia yang di simpan oleh Raka. Karena hanya pada dirinya lah Raka mau menceritakan apa pun masalahnya. “Sudah lah, sampai kapan Lo  mau terus mengingatnya? Bahkan sampai detik ini Lo gak pernah ketemu sama dia. Mungkin saja dia sudah...”

“Gue udah ketemu sama dia.” Raka menatap lurus kedepan, kembali mengingat momen dimana dia telah melihat mata yang sudah lama tidak dia tatap. Wajah yang sudah lama tidak dia nikmati.

“Maksud Lo?” tanya Haris tidak mengerti.

“Kemarin, saat Gue pulang dari Jerman. Gue gak sengaja ketemu sama dia,” ujar Raka menatap Haris. “Dia kembali, Ris. Dia ada disini. Dia ada di tempat dimana Gue berpijak.” jelasnya dengan wajah yang mulai berseri.

“Terus Lo mau apa? Melamarnya?” tanya Haris dengan nada malas. “Lo itu sudah berkeluarga. Apa Gue harus ngingatin Lo lagi?”

Mendengar itu Raka kembali menghela napas gusarnya. Dia menyandarkan punggungnya lelah pada sandaran kursi kerjanya. “Dia juga sudah tidak sendiri,” jawab Raka sarat dengan kelelahan. “Dia.. sudah memiliki anak.” sambungnya lagi.

The Second WifeWhere stories live. Discover now