03•Mereka Yang Masih Peduli

235 22 17
                                    

Kegelisahan yang hampir semalaman mengusik rupanya masih membekas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kegelisahan yang hampir semalaman mengusik rupanya masih membekas. Tak serta merta memudar meski hari telah berganti dan matahari mulai meninggi. Kata-kata Alen masih menjadi gema paling riuh yang mengetuk keras ruang dada hingga membuat Zean kepayahan hanya untuk meredamnya. Membangkitkan kembali pertanyaan yang sudah lama ia kubur, tentang intetasnya di dunia, tentang dirinya sebagai bagian dari keluarga kecil Pradipta.

Pandangannya mengedar pada sepetak ruang yang kini hanya ia huni seorang. Selain detak konstan jarum jam dan ricauan burung yang sesekali singgah di dahan pohon, tak ada yang berani mengusiknya lebih dari pikirannya sendiri. Bahkan angin yang biasa menggesek ranting dedaunan pun sama sekali tak berhembus, seakan dunia benar-benar membiarkannya sendiri.

"Gue masih punya kakak, masih punya adik, tapi kayak ngga punya siapa-siapa. Sebenarnya buat apa sih Tuhan masih ngizinin gue hidup?"

Pepatah yang sering ia dengar mengatakan kalau darah itu lebih kental dari air. Namun mengapa Zean tak merasa demikian? Setidaknya setelah ia dicampakan oleh saudaranya sendiri. Orang yang dulunya sangat ia percayai tak akan pernah meninggalkannya dalam situasi apapun, kini justru menjadi sosok yang paling abai pada dirinya.

Bahkan teman-temannya pun masih lebih peduli. Ia ingat, semalam Alen masih tinggal di sana sebelum akhirnya ia memutuskan kembali tidur. Pagi ini pun ia temukan parcel buah dan brownies coklat di atas nakas, bisa ia tebak Marcel dan Bian sempat singgah sebentar.

Meski demikian, bukan berarti Zean membenci saudaranya. Sampai kapanpun ia tak akan bisa membenci. Tak akan pernah bisa. Sebab setelah kepergian Mama dan Papa, hanya kak Saka dan Rael yang tersisa. Sekalipun mereka adalah penggores luka terbesar baginya. Namun luka ia yang torehkan tak akan sebanding dengan derita yang dialami kakak dan adiknya karena ulahnya. Maka ia anggap sikap tak acuh saudaranya adalah hukuman yang harus ia terima.

"Pagi-pagi udah ngelamun aja. Mikirin apa sih?"

Dengan senyum ramah di wajah yang mulai berkerut halus, seorang lelaki paruh baya masuk bersama seorang perawat yang mengekor di belakang. Di snelli putihnya tersemat name tag yang bertuliskan dr. Adrian. Seorang dokter spesialis penyakit dalam yang hampir 6 tahun ini bertanggung jawab untuk setiap tindakan medis yang harus Zean jalani.

"Cuma kepikiran aja, ayam sama telur duluan mana? Terus zebra kan motifnya sama semua, gimana cara induk zebra bedain anaknya? Apa ngga ketuker sama anak tetangga kalau motifnya sama semua? Misalkan bumi itu beneran datar dan ujungnya ditemukan terus kita lompat, kita bakal jatuh atau melayang?"

Dokter Adrian hanya menggelengkan kepala menanggapi pertanyaan di luar nalar yang Zean ajukan dengan polosnya. Dari sekian pasien yang ia tangani, sepertinya hanya Zean yang mampu membuatnya mengelus dada hanya karena tingkah randomnya.

"Jangan mikir terlalu berat. Saya kasian sama otak kamu kalau ngebug." Dokter itu mengeluarkan stetoskop dari jas putihnya.

"Dok, mau tahu fakta menarik ngga? Nomor 3 paling mencengangkan."

Tatkala Senja Memanggil Pulang [LeeHaechan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang