Mereka berhenti saat seorang pria menghampiri.

Jaejun membungkuk sebagai sapaan. "Selamat datang dan selamat pagi. Saya Kim Jaejun, dari tim riset UBM. Saya yang akan menjelaskan demonstrasi UBM pada Anda semua. Mari ikuti saya."

"Tunggu sebentar." Tiffany menghentikan. "Kami ingin bertemu kepala tim Anda. Tuan Yoon Taehyun. Kami ingin bertemu dengannya."

Jaejun tersenyum ramah memahami. "Hoejangnim ada di ruangannya. Anda tenang saja. Hoejangnim sendiri yang akan menangani semua yang berhubungan dengan UBM. Tugas saya hanya menunjukkan dan menjelaskan demonstrasinya."

Jaejun berjalan di depan, mengarahkan mereka. Memasuki lift yang membawa mereka ke lantai 23.

Saat pintu lift kembali terbuka, Jaejun meminta mereka masuk ke suatu ruangan dan mununggunya sebentar.

Jaejun merapikan jas putihnya, sambil menata sedikit kegugupan agar tetap berada dalam porsi tidak berlebihan. Memang sudah banyak kali dia berbicara di depan publik, namun yang ini berbeda. Bisa saja, jadi tidaknya pengimplanan chip UBM kali ini ditentukan oleh penjelasannya sebentar lagi.

Melihat mereka semua sudah duduk di kursi dan meja yang disediakan, Jaejun menghidupkan layar lumayan lebar. Layar itu memperlihatkan gambar ilustrasi satu tubuh manusia mengandung banyak saraf yang saling terhubung.

"Kami sudah melihat dan mempelajari laporan medis Nona Jisoo. Nona Jisoo terluka di bagian otak yang menghubungkan otak besarnya ke susunan saraf di sumsum tulang belakang." Jaejun memperbesar gambarnya sehingga kini lebih jelas terlihat ilustrasi otak dengan warna merah di bagian belakang.

"Ketika manusia memutuskan untuk berjalan atau bergerak, otak mengirimkan sinyal ke kaki atau anggota tubuh lainnya melalui saraf di sumsum tulang belakang. Ketika ada saraf yang rusak, sinyal sering kali terlalu lemah untuk membuat gerakan. Implan baru itu telah ditemukan, yang meningkatkan sinyal tersebut, sehingga memungkinkan orang tersebut untuk bergerak kembali."

Jaejun menggeser layar itu. Sekarang menampilkan video ilustrasi bagaimana chipnya nanti akan dipasang.

"Dari sini, kami akan memasukkan chipnya melalui kepala belakang. Kami akan memasang elektroda atau sensor ke permukaan otak lalu mengatur dan menyesuaikannya untuk memastikan bahwa elektroda atau sensor yang ditanamkan di dalam otak tersebut mampu merekam sinyal dengan akurat. Elektroda ini akan terhubung dengan chip, bertugas untuk memproses sinyal otak dan mengirimkan instruksi atau informasi sesuai dengan sinyal yang dideteksi. Jika ini berhasil, Nona Jisoo tidak hanya akan bisa bergerak seperti biasa, namun juga menerima kelebihan lainnya."

"Anggap saja implannya berhasil, apakah chip itu akan terus aman digunakan, atau akan menimbulkan resiko di kemudian hari?"

"Saya akan menjawabnya dengan jujur. Sampai saat ini, Nona Jisoo adalah satu-satunya calon pemakai chip UBM kami. Sebelumnya belum ada. Kami tidak bisa menebak persisnya akan seperti apa dampaknya di masa depan. Kami memperhitungkan, kemungkinan paling mungkin adalah Nona Jisoo harus melepas chip itu dan kembali ke keadaannya sekarang."

"Anda yakin hanya itu? Itu tidak bisa dikatakan sebagai resiko. Anda yakin kita hanya perlu melepas chipnya tanpa efek samping?"

"Sulit mengatakan tidak, karena otak merupakan bagian yang rumit juga sensitif. Selain infeksi atau keracunan logam, ini mungkin juga bisa membahayakan nyawa Nona Jisoo. Kami memperkirakan, setelah sepuluh sampai dua puluh tahun dipakai, akan menjawab chip ini benar-benar aman digunakan selamanya atau tidak."

Ruangan itu menjadi hening, sebab mereka semua tengah berpikir. Dari mana pun Taeyeon melihat, tetap lebih aman bagi Jisoo tanpa chip itu. Ini perundingan yang sia-sia. Taeyeon merasa mereka tengah kembali tersesat. Mereka memang melihat satu jalan, tapi tidak tahu ke mana jalan itu akan berakhir, mungkin saja bisa membuat Jisoo semakin dekat dengan jurang.

"Kami akan membiarkan kalian berpikir. Tidak ada paksaan dalam hal ini. Yang tersulit dari suatu hal memang awalnya. Kami sedang di tahap itu. Kami tidak bisa memberikan jaminan prosedur ini bisa aman seratus persen." Jaejun diam sejenak, memberikan waktu pada mereka berpikir, bertanya, atau menyampaikan pendapat.

Jaejun merogoh saku celananya sebab ponselnya bergetar sebentar, tanda dia menerima pesan masuk.

"Kami tidak bisa melakukan ini. Ini terlalu beresiko untuk Jisoo."

Dari layar ponsel, Jaejun memandang Taeyeon sebagai pengeluar kalimat tadi.

"Namun, aku menginginkannya. Aku ingin mencobanya."

Taeyeon sudah menduga akan mendengar itu dari Jisoo. "Yeobo, Tiffany, tolong jelaskan padanya kita tidak bisa menurutinya."

Tiffany memandang Taeyeon yang jelas berseberangan keinginan dengan Jisoo. Mungkin ini memang berbahaya, tapi jika melihat dari sisi Jisoo, bahaya ini tidak lebih besar dari ketersiksaan perasaan yang akan Jisoo rasakan seumur hidup dalam kelumpuhan.

Tae-soo menggenggam tangan istrinya juga mengusap kepala Jisoo.

"Tenangkan dirimu sebentar. Aku akan mengajak Jisoo dan Jennie berkeliling sementara kau dan Tiffany bertukar pikir. Taeyeon-ah, apa pun keputusanmu nanti, kau pasti sudah mempertimbangkannya dengan baik." Tae-soo keluar dari ruangan itu bersama Jisoo dan Jennie.

Taeyeon menghembuskan nafas. "Tidak ada yang perlu dipikirkan. Semua ini tidak berguna. Ya, kan, Tiffany?"

Tiffany menekan-nekan lengan kakaknya agar tenang.

"Nyonya Taeyeon, Hoejangnim ingin bertemu Anda di ruangannya."

"Kenapa? Kami tidak berencana melanjutkan ini--"

"Unnie ...."

"Aku sudah memutuskan. Kenapa aku harus menemuinya, Tiffany?"

"Karena kau menyayangi Jisoo. Unnie tau Jisoo pernah bilang apa padaku? Meski tingkat keberhasilannya kurang dari satu persen pun, rasanya lebih baik daripada sama sekali tidak pernah mencobanya. Dia menderita, Unnie. Bukan hanya tubuhnya, tapi juga perasaannya. Dia tidak bisa maju atau mundur. Dia merasa tidak punya apa-apa dan tidak bisa apa-apa. Kita sedang menyiksanya. Unnie pasti mengerti. Dia seperti ini karena Appa, keluarganya meninggal karena Appa, dan Appa tidak dihukum sama sekali atas hal itu. Coba Unnie bayangkan bagaimana perasaannya."

"Maksudmu lebih baik kalau aku mendorongnya ke dalam bahaya?"

"Unnie temui saja Tuan Yoon dulu. Dia kepala dari penelitian ini. Mungkin dia ingin menjelaskannya lebih detail pada Unnie."

Taeyeon berwajah lebih masam sebab dipenuhi kebimbangan. "Baiklah, di mana ruangannya?"

Jaejun mengantar Taeyeon ke ruangan Taehyun. Tiffany juga mengikuti mereka. Dia menunggu di depan pintu saat Taeyeon masuk ke dalam.

Jaejun merasa tidak enak kalau membiarkan Tiffany sendirian menunggu di depan pintu. Dari wajahnya sudah terlihat Tiffany sama kalutnya dengan Taeyeon.

"Nona Tiffany, mau kopi?"

Tiffany memandangnya lemah, lebih ke arah lelah. "Kau masih lajang?"

"Meski sudah menikah, aku bisa bercerai dengan istriku."

Tiffany mendengus setengah tersenyum. "Dasar pria."

"Aku masih lajang," sergah Jaejun segera. "Aku bersumpah aku masih lajang."


"

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.
Incomplete: Part 2. Other Pieces ✓Onde histórias criam vida. Descubra agora