Bab Dua Puluh Lima

Start from the beginning
                                    

"Cecil, tenang. Kau tak perlu marah seperti ini."

"Audrey, kau terlalu bersikap lembut. Seharusnya kau menamparnya, atau menendang tulang keringnya. Aku sudah mengajarkanmu beberapa teknik perlawanan, seharusnya kau melawannya dengan itu. Biar tau rasa. Jadi kirimkan alamatnya padaku, biar aku yang melakukannya. Jika kau ingin melindungnya, aku bisa minta alamat laki-laki itu ke mba Anjani."

"Cecil, dia tidak melecehkanku. Kau tak perlu bersikap seperti itu. Aku sudah berjanji padanya, emosi-emosiku urusanku. Dia tak perlu bertanggung jawab dengan itu." Dia berharap baik Cecil maupun kakaknya bisa berhenti membahas topik ini.

"Au, kau sudah menunggu momen ini sepanjang hidupmu. Dan ketika moment itu datang, kau malah terluka. Aku tak sanggup melihatmu yang selalu optimis menjadi tenggelam seperti ini."

Audrey tersenyum, "kau sangat mengerti diriku. Tapi bukan begitu cara kerjanya Cecil. Aku tak bisa memaksa pria yang aku sukai mempunyai perasaan yang sama denganku. Dia hidup penuh luka."

"Au, selama ini kau ingin hidup penuh cinta. Sekarang ketika kau jatuh cinta, apakah kau sadar cinta itu menyebalkan?" Cicil menangis, dia sedikit tersedu-sedu, lalu selembar tisu muncul entah dari mana. Tapi Audrey tahu, sejak tadi kakaknya mengawasi mereka.

"Tapi aku juga ingin hidup seperti kalian. Kau tak ingin melihatku sendiriankan. Kau akan menikah dengan kakakku, aku tak mungkin mengganggu kalian seumur hidupku."

"Kata siapa kau mengganggu, kau bisa menggangguku seumur hidupmu jika itu yang kau mau." Ceicil mendelik kesal ke arah Joe, "Ada apa dengan adikmu, dia mengatakan hal yang sembrono."

"Aku juga baru tahu isi pikirannya yang melenceng itu." Jawab Joe dengan nada terkejut. "Kau tak perlu memikirkan hal seperti itu. Kau tau aku sangat menyayangimu."

"Tentu saja, tapi Joe, aku juga tak ingin hidup kesepian. Sendirian terasa menyesakkan sekarang." Cecil menangis mendengarkan pengakuannya. Dan Audrey juga ikut terisak. Ia bisa mendengar suara isak tangis dua orang di apartemennya yang sepi.

"Pulanglah lebih cepat. Aku akan memesankan tiket pesawat untukmu." Suara Joe terdengar lebih tegas dari pada saat pertama kali ia menangis tersedu-sedu mengadukan kisah cintanya yang pupus. Kakaknya meneleponnya dua hari sekali. Takut ia akan berbuat yang macam-macam karena ini kasus 'patah hati' pertamanya.

"Aku akan pulang minggu depan, aku punya janji dengan Emily membantunya membeli Pointe Shoes."

"Kau masih tetap berhubungan dengan adiknya?" Audrey mengangguk mendengarkan pertanyaan Cecil, ia membersitkan hidungnya dengan tisu. Lalu meminum air untuk melegakan tenggorokannya yang terasa penuh dengan air mata.

"Tentu saja, Emily gadis yang baik." Jawab Audrey, lalu membersit lagi. "Kenapa aku harus menjauhi Emily karena hubunganku tak berjalan baik dengan Arkan? Aku putus hubungan dengan Arkan, bukan dengan keluarganya."

Cecil menerima tisu dari Joe, lalu menatap garang ke arah Audrey. "Kau terlalu baik. Kau tak perlu menjaga hubungan baik dengan keluarganya. Kenapa kau harus menerima semua ini? Seharusnya dia yang menangis karena meninggalkan perempuan–" Cecil menyedot ingus, mulai terisak lagi. "– seperti mu. Kau pintar memasak, kau ramah, kau cantik –" sekali lagi Cecil menangis.

Joe memutar bola matanya, mengusap bahu wanita itu untuk menenangkannya. "Kenapa kau lebih sentimental darinya?"

"Aku tidak sentimental." Sergah Cecil, membersitkan hidungnya. Joe kembali menyerahkan beberapa lembar tisu. "Adikmu yang membuatku sentimental."

"Audrey tak se-sentimental kau, Cecil." Desah Joe, "dia sudah selesai meratap sejak seminggu yang lalu."

"Jadi kau bilang aku cengeng?"

The Future Diaries Of AudreyWhere stories live. Discover now