Bab Dua Puluh Tiga

Start from the beginning
                                    

"Canggung ku juga hilang ketika pertama kali mengobrol dengan bibi Julia. Dengan sekejap mata aku bisa berinteraksi dengan semua orang tanpa perlu takut." Lanjut Audrey, "Bibimu orang-orang yang–" Audrey berhenti untuk memilih padanan kata yang tepat, "–penuh semangat."

"Bibi Julia ibu rumah tangga, jadi ia punya energi yang terlalu banyak untuk disalurkan. Anak-anaknya juga sudah besar. Dua bibikku yang lain tertular semangatnya bibi Julia."

Audrey mengangguk setuju, Julia seperti pencerah suasana. Tapi dia tak mengerti kenapa Arkan sangat jarang ikut acara keluarga. Laki-laki itu akrab dengan semua keluarganya kecuali, Tomie dan Sonya. Saat Renata datang ke taman, Arkan seperti tak ingin berada di tempat yang sama dengan wanita itu. Renata gadis yang cantik. Dia ramah, tapi Audrey tak mengerti kenapa Arkan berusaha menjauh dari Renata. Apa mungkin karena putusnya hubungan mereka bukan dengan cara baik-baik?

Audrey meneyesap minumannya, melihat Arkan menatap undangan pernikahan Renata diatas meja bar. Laki-laki itu membukanya, dan mendesah sesaat sebelum meletakan undangan kembali.

"Kau akan pergi?" Audrey mengambil undangan itu, dan melihat tanggal yang tercantum disana tepat satu minggu lagi. Saat itu terjadi, dia sudah harus pergi dari rumah ini. Sisa waktu yang mereka janjikan tinggal beberapa hari lagi.

Arkan hanya diam, menggenggam erat mugnya, mencoba mencari ketenangan dari secangkir coklat panas. "Aku masih belum tahu. Aku hanya masih belum percaya ini terjadi."

Audrey menelan gumpalan nafasnya saat ia melihat Arkan menatap undangan itu dengan nanar. Mungkinkah dia menyesal karena meninggalkan Renata dan membiarkan perempuan itu beralih ke laki-laki lain? Jika itu yang terjadi, tidak ada tempat untuknya. Tidak, dari awal memang tidak ada tempat untuk Audrey. Perasaannya hanya cinta tak berbalas. Mereka hanya berkenalan dan dekat selama dua bulan. Dua bulan yang singkat, yang tentunya memiliki jangka waktu dan time limmit. Dua bulan yang terasa lebih nyata dari tahun-tahun yang pernah di jalaninya. Walaupun begitu, di sudut hatinya, Audrey masih berharap. Berharap dipukul keberuntungan. Bahwa apa yang selama ini mereka bagi juga berarti bagi Arkan.

"Kau menyesal soal Renata menikah?" Audrey bersyukur suaranya tidak bergetar.

"Tidak, aku tidak menyesal karena dia menikah. Aku menyesal karena membiarkannya meninggalkanku seperti itu." Arkan membantah tegas. Ia bisa melihat Arkan menatap undangan dengan warna hijau tua bercampur taburan emas itu dengan mata kosong. Undangan yang terkesan elegan dan mewah. Kedua alisnya berkerut dalam, "hanya saja aku merasa dikhianati. Setelah mengatakan aku sama dengan papaku, seperti mama dulu, dia tidak merasa bersalah dan tetap menghadiri acara keluarga. Tanpa sedikitpun mempertimbangkan bagaimana perasaanku. Audrey– " Arkan menatap Audrey, menatapnya dengan mata penuh campuran emosi, "aku kira aku baik-baik saja, tapi ternyata tidak."

Audrey menggenggam tangan Arkan yang ada di atas meja bar. Dia tak menduga ternyata Arkan merasa sakit hati karena perkataan Renata. "It's okey. Tidak baik-baik saja, juga tidak apa-apa, Arkan." Audrey menatap Arkan, menaruh tanggannya yang lain ke rambut pria itu, mengusapnya dengan pelan. Seperti bagaimana Joe menenangkannya saat ia mulai ketakutan akan guntur dan petir. Seperti nenek yang sering menasehatinya, tulus itu hal yang penting untuk memulai sebuah hubungan. Seperti semua cara yang dilakukan keluarganya untuk menyerap semua kesedihannya. Dia juga ingin melakukan hal yang sama dengan Arkan. Dia juga ingin menyerap kesedihan pria itu. Dia juga ingin menjadi bantalan hangat untuk Arkan ketika ia merasa gundah. Audrey ingin berada disamping Arkan dan mendengarkan kisahnya lalu berbagi kisah yang sama. Dia ingin menjadi seseoarang yang seperti itu bagi Arkan.

"Bagus sekali, jujur dengan dirimu sendiri itu hal yang bagus. Tidak perlu menyembunyikannya." Audrey menggenggam erat tangan Arkan, dia turun dari kursinya dan mendekap Arkan dalam pelukannya. Mungkin pria besar ini butuh banyak bercerita. Semua hal yang disimpan Arkan sendiri terlalu membebaninya. Dia kesakitan karena menyimpan kesedihan sendirian. Audrey mengusap punggung Arkan, menepuk-nepuknya beberapa kali. "Kau mau bercerita? Aku siap mendengar." Audrey melepaskan pelukan singkat mereka. Menatap pria itu yang sedikit lebih rapuh dari pada sebelumnya. Mungkin pelukan singkat darinya membuat perasaannya mengalir dari celah-celah pintu yang dia kira sudah tertutup rapat, ternyata masih bisa merembes keluar untuk membebaskan diri. Perasaan yang sangat familiar bagi Audrey. Karena ia juga merasakannya saat bertemu kembali dengan papanya.

The Future Diaries Of AudreyWhere stories live. Discover now