One Last Mission

46 12 0
                                    

Setelah lengsernya sang walikota lama, walikota baru membawa banyak perubahan bagi kota kami. Sang walikota memperketat keamanan kota dengan patroli polisi setiap saat dan kamera pengintai di berbagai sudut kota.

Sejak para warga tak lagi bergantung pada kami, kami bisa menikmati hidup. Kami bisa tumbuh besar layaknya orang normal.

Sekarang kami sudah memasuki semester lima. Bayangkan, dulu kami masih seusia murid taman kanak-kanak, bagaimana dengan Profesor. Belakangan ini kami baru sadar bahwa ia sudah memasuki kepala enam. Kami tidak menyangka pada akhirnya ia akan terlihat seperti profesor-profesor yang kepalanya botak.

Tingkah lakunya sungguh tidak wajar. Terkadang ia mengerang kesakitan, kadang dia mendadak rajin dan membersihkan seluruh rumah ... dengan kecepatan super cepat, emosinya juga gampang berubah-ubah. Blossom bilang itu efek samping paparan bahan-bahan kimia selama ini, tapi ia tak yakin apakah ia mencicipi racikannya sendiri.

Pagi ini, ia tiba-tiba berkata, "Aku mau ke museum, kalian ikut?"

"Kau mau pergi dengan siapa?" tanya Blossom.

"Tentu saja dengan kalian, jika kalian mau," ujarnya dengan nada murung di akhir kalimat.

Kami saling bertatapan untuk beberapa saat.

"Kami ikut," ujarku mantap.

"Bagaimana jika kita pergi besok saja, hari ini aku ada keperluan," usul Blossom.

"Oke, kita akan menghabiskan waktu bersama, seperti dulu." Wajahnya sumringah. Ia berjalan kembali dengan girang.

Kami sepakat menyusun daftar yang akan kami lakukan besok. Esok hari adalah hari khusus Profesor dan putrinya.

Keesokan harinya perjalanan sungguh lancar tanpa kendala. Kami memutar lagu-lagu kesukaan Profesor dan bernyanyi bersama di dalam mobil.

Destinasi demi destinasi kami kunjungi. Mulai dari sarapan pancake kesukaan Profesor, pergi ke bioskop, hingga terakhir mengunjungi museum. Profesor sangan senang, ia bilang hari ini adalah hari terbaik.

Namun, permasalahan timbul pada perjalanan pulang. Profesor terlihat gelisah.

"Buttercup, pinggirkan mobil!" perintah Blossom.

"Ke mana?" balasku tak kalah panik.

"Entahlah, uh ..., parkiran yang luas, supermarket? Mal?" usulnya.

Aku makin menaikkan kecepatan mobil. Dengan kelihaianku, aku mampu mengendarai mobil dengan kecepatan yang cepat dan konstan sambil berkelok-kelok menyalip kendaraan-kendaraan lain. Aku dapat mendengar Blossom dan Bubbles yang meringis cemas di belakang, bahkan Blossom meremas sandaran kursiku.

Akhirnya aku menemukan sebuah supermarket yang parkirannya cukup sepi. Akan tetapi, akibat kecepatan mobil yang terlalu kencang, saat membelokkan mobil, mobil menghantam tembok hingga terdengar suara yang cukup keras.

Mobil berputar hampir 180 derajat ketika aku hendak parkir. Aku kembali menabrak pembatas yang ada di depan ban mobil hingga seisi mobil terguncang. Paling lecet dikit.

Hening yang mencekam menyelimuti atmosfer hingga menyadarkanku musik radio masih mengalun, lagu tentang seseorang yang berbunga-bunga tersebut begitu kontras dengan suasana ini.

Keadaan Profesor tak membaik, tubuhnya malah makin bergetar hebat. Kali ini ia menutup matanya rapat-rapat. Kabut aura jahat mulai menyelimuti sosoknya.

Aku menengok ke belakang. Bubbles sudah berderai air mata sedangkan Blossom yang tengah memeluk Bubbles juga tak mampu menyembunyikan rasa panik dari raut wajahnya.

GenFest 2023: Fantasy x FanfictionWhere stories live. Discover now