1. NOAH

58 41 54
                                    

Juni 2005.

Self love.

Satu kata yang selalu kutanamkan dalam diriku. Dimanapun aku berada, apa yang sedang kulakukan, self love lebih berarti dari apapun. Siapa lagi yang bisa mencintai diri kita kalau bukan kita sendiri, pemilik jiwa dan ruh yang sah. Sudah tuhan tetapkan semua karunia dan rasa cinta untuk mencintai diri sendiri. Kalau tidak digunakan kan mubazir. dan juga, bagaimana kita bisa mencintai orang lain kalau kita saja membenci diri kita sendiri. 

Diusiaku, aku mulai belajar tentang hal itu. Tentang mencintai diri sendiri di hiruk-pikuk kejamnya dunia. Serta mencoba mengendalikan pikiran dan amarah dalam waktu yang bersamaan. Mengontrol emosi yang sering sekali merengek tanpa jeda. 

Sebagai wanita yang sudah memasuki kepala dua, aku juga berusaha untuk mengerti batasan dan hal yang harus kujauhi. Bagaimana caranya mengontrol diri sendiri ketika berhadapan dengan orang lain, serta berusaha mengatasi masalah yang terjadi. Aku berusaha menjadi dewasa dalam usiaku yang masih tergolong muda. Aku berusaha membawa diriku untuk terbiasa dengan anehnya dunia. Ini bukan pemaksaan. Ini hanya tentang bagaimana kamu bertahan hidup. 

"Hei!"

Noah membuyarkan lamunanku. Dia menarik kursinya dan duduk didepanku.  "kok ngga diminum kopinya?" 

Aku tersenyum singkat, "belum."  

Kopi pesananku, ia yang buat.  Dengan rasa cinta dan kelembutan hati, begitu katanya.  Hot cappuccino adalah favoritku. Noah sudah terbiasa dengan racikannya yang luar biasa. Dia bahkan sudah paham sesaat setelah aku memasuki pintu coffe shop-nya. Dia bertalenta, meracik kopi adalah keahliannya. Tapi menjadi barista bukan mimpinya. Tempat ini baginya hanya tempat yang tidak sengaja menjadi miliknya. Sebuah warisan didedikasikan untuknya dan menurutnya hanya sbeuah tempat yang tidak ada artinya. 

Menjadi anak broken-home membuat noah memilih untuk tinggal sendiri. Ayahnya menikah lagi dan hidup dikota lain, sementara ibunya pergi entah kemana. Hal itu yang mendekatkanku dengan Noah. Kami sudah dekat sejak kecil dan ketika SMP, kejadian di mana keluarga Noah sudah tidak bisa utuh lagi, kami berpisah. Tiba-tiba, saat SMA Noah kembali, tapi dengan keadaan yang berbeda. Menjadi tetangga lagi, Noah sering sekali main kerumahku dan menjadi dekat dengan ayah dan ibu. Begitulah, hingga sampai dia paham semua tentangku.

Hot cappuccino itu sudah ada diatas meja sejak tiga menit yang lalu, namun asapnya masih mengepul bak air yang baru saja mendidih. Aromanya menusuk sampai hidungku. 

"Tumben diem aja, biasanya bawa buku, terus baca disini sampai seharian." Noah senyum meledek. 

"Aku lagi kepikiran sesuatu." 

"Tentang apa?"

"Tentang kamu." 

Noah terdiam. Kemudian menyunggingkan bibirnya seolah sudah tahu apa yang ada dipikiranku. "Jangan memulai keributan ya, na."

"Aku cuma mikir, kenapa kita nggak cari ibumu aja. Libur semester kan panjang, terus-,"

"Cukup na!" Potong Noah. "nggak ada yang perlu dicari."

"Tapi, No-,"

"Kita udah bahas soal ini. Kamu harusnya paham, na!"

Aku terdiam. Bukan maksudku mengacaukan pikirannya lagi. Aku hanya ingin memberikan opiniku untuk yang kesekian kali. Siapa tahu ada jalan dan takdir lain yang bisa dia terima. Aku hanya ingin membantunya, meringankan segala beban yang sudah ia terima sejak kecil. 

"Aku paham, Noah. Tapi aku cuma mau membantu kamu."

"Na, aku bilang cukup. Aku gak mau berdebat soal ini." 

CoincidenceWhere stories live. Discover now