2

317 16 0
                                    

     Lukman menaruh wajah sangat tegang bukan main, karena bibir bapaknya kini sedikit pucat membiru. Kini ia melanjutkan lantunan ayat-ayat Yasin kembali walaupun dengan tangis yang mengucur deras.

     Hanya berselang waktu limabelas menit, kondisi sudah bisa aman terkendali, Mbah Sanawi kini sadar kembali dengan napas yang tersengal-sengal.

"Piye rasane?"

     Mbah Nursam tampak bertanya kepada Mbah Sanawi, namun Mbah Sanawi hanya menggelengkan kepalanya dengan isyarat tangan yang tampak mengibaskan seseorang untuk pergi.

"Siapa yang kamu suruh pergi?"

     Kini Mbah Nursam terus bertanya, namun tak ada jawab dari Mbah Sanawi itu, bibirnya seperti terkunci ia hanya bisa mengisyaratkan dengan tangannya.

     Hening, lantunan ayat-ayat Yasin tadi tak bersautan lagi, semua tampak fokus pada gerak-gerik Mbah Sanawi yang sedari tadi mengisyaratkan sesuatu.

"Kamu sudah kunci semua pintunya, Le?"

     Lukman mengangguk pelan, namun Yadi tiba-tiba mundur lalu pergi kearah bilik paling belakang, dapur.

     Yadi melihat ada sedikit celah tak tertutup dari pintu paling belakang itu. Yadi masih berdiri, terdiam, karena ia sedang merasakan ada seseorang yang tengah mengintip sedari ia menginjakan bilik itu.

     Berjalan pelan, untuk menutup pintu belakang itu dengan rapat. Namun bunyi seperti pijakan orang terdengar disaat langkah Yadi maju menuju pintu itu.

"Aku pikir sudah ku kunci tadi, sehabis bikin kopi." gumamnya.

     Namun, Yadi terus memberanikan diri, ia melangkah maju dengan cepat tak menghiraukan suara yang ia dengar tadi.

Kriet..

     Yadi sengaja membuka pintu dengan bahan anyaman bambu itu dengan lebar, melihat kanan kiri tak ada siapapun disana, hanya ada sekelebat pohon pisang yang memang milik Mbah Sanawi, bapaknya.

     Yadi kini diliputi rasa penasaran, adakah dari seorang warga yang memang mengintai Mbah Sanawi, atau salah satu warga yang mengirim santet untuk Mbah Sanawi.

     Yadi kembali ke bilik bapaknya, melihat kondisi Mbah Sanawi yang sudah sedikit bisa berbicara.

"Abis kemana kamu mas?" Bisik Lukman.

"Kunci pintu belakang."

**

     Mbah Nursam tampak telaten, dengan mulutnya yang tak berhenti berkomat-kamit.

"Piya rasane? wes ilang toh makhluk iku?"

     Mbah Nursam kembali mengusapkan tangannya tepat di rambut Mbah Sanwani yang sudah hampir semuanya memutih. Bibirnya sekarang tak sepucat tadi.

     Narti mengambil gelas yang berisi teh hangat yang ia sengaja buatkan untuk Mbah Sanawi,  perlahan ia memposisikan Mbah Sanawi agar sedikit meminumnya.

"Minum dulu pak,"

     Mbah Sanawi meminumnya dengan sangat perlahan, bola matanya tampak bergetar.

     Mbah Nursam beranjak mundur lalu duduk dikursi rotan dekat dengan lemari pakaian milik Mbah Sanawi, sedikit menyeruput kopi yang tadi belum habis.

     Suara jam dinding menemani keheningan, hingga pada akhirnya menunjukkan pukul 23:35.

"Mbah mau pamit dulu ya,"

     Mbah Nursam tampak beranjak dari duduknya, lalu menghampiri Mbah Sanawi untuk berpamitan. Namun, Mbah Sanawi tampak menolak kepergian Mbah Nursam.

Village of The Corpses [ Selesai & Tahap Revisi ]Where stories live. Discover now