Berbagi Takdir 01

4 0 0
                                    

Bab I - Serupa

* * *

Gadis itu menatap jam saku yang telah rusak. Kaca yang menjaga tiga jarum sebagai penunjuk waktu telah retak. Jarum pendek menunjuk pada angka delapan, jarum panjang pada angka lima, dan jarum penunjuk detik hanya bergerak tetap di antara angka sebelas dan dua belas. Jam saku itu dipegang tangan kanan, sedangkan tangan kiri menopang kepalanya.

"Hah..." Helaan nafas itu membuat perhatian pemuda yang berbagi ruangan yang sama dengannya teralihkan dari apapun yang sedang dilakukannya. Itu bukan hanya helaan nafas biasa, tersirat jika pelaku sedang memikirkan suatu perkara di dalam kepalanya, namun tidak menemukan titik terang. Karenanya, pemuda itu meletakkan barang yang sedang dipegangnya kemudian berjalan mendekati sang gadis.

Dia mengambil tempat tepat di depan sang gadis, menduduki sebuah kursi kayu yang sama persis seperti kursi yang ditempati oleh gadis itu, yang berpasangan dengan meja kayu yang menahan tangan kiri penopang kepalanya. Matanya menatap lurus ke arah mata sang gadis, mencoba menarik perhatian gadis itu. Namun, setelah beberapa saat melakukan percobaan menarik perhatian dalam diam, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Dia masih menatap jam saku dengan kedua ujung alis hampir bertemu di tengah.

"Remi," panggil pemuda itu. Suaranya pelan, tidak ingin terlalu membuat sang gadis terkejut, namun ingin mengalihkan perhatian sang gadis meski hanya sementara.

Tentunya hal tersebut membuahkan hasil. Sang gadis mengangkat kepalanya. Kedua matanya yang bersinar bagai permata zamrud sempat membuat pemuda itu sempat bergeming, seakan mata hijau tersebut bagaikan mata medusa. Apalagi setelah mengalihkan fokus, wajah itu memancarkan senyum cerah, seperti wajah seriusnya hanyalah ilusi. Benar, senyuman lebih cocok pada wajahnya itu.

Meskipun perhatian yang diinginkan sudah didapat, pemuda itu masih belum dapat merangkai kata-kata yang cocok untuk dilontarkan. Dalam benaknya, terdapat berbagai opsi namun tidak satupun yang terasa cocok sebagai pembuka percakapan.

"Jangan terlalu khawatir," ujarnya sembari menautkan jari-jemari miliknya. Remi, gadis di hadapannya, perlahan menurunkan kedua sudut bibir. Dia seperti merasa tertangkap basah melakukan sesuatu yang tidak pantas.

"Apakah terlihat jelas?" Jam saku yang sedari tadi berada dalam genggaman, perlahan diletakkan ke atas meja kayu di depannya. Kedua tangannya mengikuti situasi kedua tangan sang pemuda, saling bertautan.

"Kalau memang tidak bisa, jangan paksakan," ucap pemuda itu. Sebuah senyuman perlahan terlukis pada wajahnya. Beberapa helai rambut hitamnya sedikit menutupi wajah, perkara kepalanya sedikit dimiringkan. Kedua matanya bagai lautan yang diterpa cahaya mentari tertuju jelas ke arah mata zamrud. "Bagaimanapun juga, kejadian itu bukan salahmu."

Hanya beberapa detik, tubuh sang gadis sedikit kaku. Ada suatu pemicu dalam kalimat terakhir yang dilontarkan oleh pemuda di depannya.

"Jinn," lirih Remi, melepas kontak mata dengan mencoba mencari objek lain untuk dipandang. Kalimat yang tengah disiapkannya menjadi tidak berarti untuk melewati tenggorokannya.

"Memang baik untuk mengambil tanggung jawab atas kejadian itu, tapi..." Jinn, nama pemuda itu, membuat sedikit jeda dalam perkataannya. "Jangan salahkan dirimu sendiri dan memikul beban yang tidak sanggup kau pikul sendiri."

"Tapi, Jinn, roda takdir dunia itu jadi berantakan..." ujarnya, wajah penuh kekhawatiran perlahan terukir jelas. "Aku—"

"Memangnya kenapa jika berantakan?" Satu pertanyaan itu membuat sang gadis kembali bungkam. Tidak ada satupun kalimat bantahan yang dapat digunakan.

Jinn, dilain pihak, mencoba menambahkan beberapa kalimat yang —sekali lagi— membuat sang gadis semakin tidak memiliki perkataan dalam menjaga dinding pertahanan pemikirannya tetap utuh. Jinn menyinggung tentang pertemuan pertama mereka, dimana situasi dan kondisi yang terjadi hampir serupa dengan yang terjadi pada planet yang baru saja didatangi mereka. Bagaimana penduduk memperlakukan mereka yang memiliki sebuah perbedaan besar dari kebanyakan penduduk planet tersebut, serta dampak yang ditimbulkan akibat perbuatan tersebut.

Memang kalimat yang keluar melewati mulut pemuda itu terdengar agak kasar, namun fakta tetaplah fakta. Remi sendiri tidak merasa tersinggung akan hal tersebut karena dia sangat tahu pemuda itu tidak mungkin memiliki maksud menyimpang.

Jika diingat kembali, perkataan Jinn ada benarnya. Entah mengapa, dia maupun Jinn serta pemuda yang sedang dirawat intensif memiliki sejarah yang dapat dikatakan serupa. Dikucilkan karena memiliki sesuatu yang sangat berbeda dari normalisasi peradaban tempat asal, bahkan orang terdekat yang disebut keluarga saja tidak ingin mengakui ikatan darah.

Planet asal mereka juga berakhir hampir serupa. Karena perasaan negatif yang telah ditumpuk dengan sangat lama tidak dapat dibendung lagi, akhirnya kekuatan yang bersemayam dalam diri mereka meledak bagai balon yang terus-menerus dipaksa menampung udara. Alhasil, planet mereka menjadi korban ledakan kekuatan itu.

Perbedaannya, planet pemuda itu sedikit beruntung karena Remi dan Jinn datang untuk menyelidiki informasi anonim terkait 'kutukan' yang berada di dalam diri kedua pendatang itu. Mereka berhasil mengendalikan kekuatan si pemuda dengan memasukkan sebagian kekuatannya pada sebuah benda yang bisa dijangkau mereka pada saat kejadian. Karenanya, kerusakan planet itu hanya terjadi dalam radius seperenambelas dari total besar planet tersebut.

Kepala Remi berakhir menunduk. Bola matanya mau tidak mau menatap meja kayu yang memisahkan dirinya dan pemuda di hadapannya, yang mana secara tidak sengaja dia menatap jam saku tidak jauh dari lengan kanannya. Ketiga jarum jam saku itu masih sama seperti sebelumnya, bahkan kondisi tersebut masih sama dengan sebelum mereka melakukan perjalanan ke planet asal pemuda yang identitasnya belum diketahui pasti.

Perkataan Jinn ada benarnya. Dia tidak bisa terus-menerus menyalahkan diri sendiri akan segala kemalangan yang terjadi pada planet tempat dirinya berasal ataupun planet-planet lain yang disinggahinya. Tapi tetap saja, di sudut hatinya masih menyimpan sebuah keraguan akan diri sendiri.

Jinn yang dari awal memperhatikan sikap gadis di depannya, hanya dapat menghela nafas. 'Pasti masih ada sesuatu yang belum selesai di dalam benaknya,' pikirnya sembari mengambil kedua tangan sang gadis. Tangannya terasa dingin, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan, yang mana lebih diketahui lewat suhu tubuh. Jika dia tidak melihat dada sang gadis naik-turun selayaknya gerakan bernafas, dia tidak akan percaya jika manusia di depannya ini masih dalam kategori hidup.

"Kau tahu," kata Jinn, memulai percakapan baru. Genggaman tangannya semakin mengerat. "Keputusan apapun yang kau ambil, aku akan selalu mendukung itu," tambahnya dengan sebuah senyum lembut merekah.

"Jika kau tidak bisa mengambil keputusan karena memikirkan bagaimana perasaan orang-orang di sekitarmu, maka lupakanlah pemikiran itu. Bukan mereka yang akan menyesal di kemudian hari, melainkan dirimu sendiri yang mengambil keputusan tersebut."

Remi hanya menghela nafas panjang. Pikirnya, sudah berapa lama dia dan pemuda di hadapannya ini saling mengenal satu sama lain sampai mengetahui apa yang tengah membuatnya resah. Namun, hal itu bukan sesuatu yang patut disesalkan. Malahan, perasaan hangat serta menggelitik menggerogoti bagian dalam dirinya.

"Kau ada benarnya, Jinn," ujarnya, kini dirinya yang mengambil alih dalam genggaman tangan yang terjadi diantara keduanya.

* * *

Story of GalaxyWhere stories live. Discover now