PROLOG

5.8K 567 25
                                    

DIBACA DULU YAA PENTING NIH~

Hola, guys! Mungkin sebagian sudah tahu kalau cerita ini akan terbit cetak dan sedang dalam masa pre-order. Nah, aku akan memposting 7 bab pertama Under Your Spell di Wattpad, sebagai bahan pertimbangan kalian yang pengin tahu ini ceritanya tentang apa. Atau mungkin kalian mau ngecek dulu, kira-kira cocok atau nggak.

Sebenarnya cerita ini udah pernah aku post di wattpad dengan judul Ramuan, tapi udah zaman baheula dulu. Pernah juga aku post di aplikasi sebelah dengan judul Putih Abu-Abu dan Cinta yang Tak Dipercaya. Tapi mengingat ini naskah udah lama banget, mungkin banyak juga yang belum kenal sama cerita ini. Jadi, karena tak kenal maka tak sayang, kuputuskan untuk ngasih kisi-kisinya di sini yaa 😁

Cerita ini genrenya teenlit dan setting-nya school life. Enjoyyy~~

***

"PERTANYAAN LO masih banyak?"

Aku, yang sedang mencentang pertanyaan yang sudah kuajukan, mendongak. "Ya ... lumayan." Bahkan, kami baru sampai pertanyaan keempat. "Kenapa?"

"Mungkin bisa dipercepat?"

"Oh, lo lagi sibuk, ya?" tanyaku buru-buru. "Atau mau gue interviu tertulis aja? Nanti gue kirimin list pertanyaannya, lo tinggal jawab secara tertulis, gitu."

Nico menggeleng cepat. "Gue nggak ada waktu buat nulis jawabannya." Lantas dia mengedikkan dagu. "Lanjut aja buruan."

Kubenahi kacamataku yang sedikit melorot. Mengabaikan cara bicaranya yang menyebalkan, aku kembali pada list pertanyaanku.

"Jadi, dari awal belajar fotografi, lo udah berencana ikut kom- petisi ini?"

"Iya," jawabnya pendek, sambil matanya menatap pot bunga di salah satu sudut kantin.

Sosok yang duduk dengan satu kaki ditopangkan di atas kaki yang lain itu terlihat gelisah. Atau nggak betah? Entah. Dari tadi, dia sibuk ngacak-ngacak rambut, benerin dasi, mainin tempat tisu, ngecek ponsel, dan menatap sekeliling. Kakinya yang saling ditopangkan itu bergerak konstan seperti penjahit. Ekspresinya seperti kurang fokus. Apa Nicolas Panji ini pakai narkoba?

"Tapi sebelumnya udah pernah ikut?" tanyaku lagi. "Perlu berapa percobaan sampai akhirnya lo berhasil menang kompetisi fotografi pelajar tingkat nasional ini? Atau malah ini percobaan pertama dan langsung berhasil?"

"Percobaan pertama."

"Wow!" Aku berdecak. Jujur saja, di luar sikapnya yang kurang fokus ini, prestasinya memang keren. "Langsung menang, ya?"

"Karena sebelumnya gue belum punya foto yang gue rasa layak buat diikutin kompetisi ini," jawab Nico sambil mengacak-acak rambutnya lagi.

Anyway, aku penasaran kenapa cowok-cowok selalu suka mengacak-ngacak rambut. Apa mereka merasa keren dengan rambut yang acak-acakan seperti bangun tidur begitu?

"Masih berapa lagi pertanyaannya?" tanya Nico.

Sontak aku tertawa. Bukan karena pertanyaan Nico lucu, melainkan aku miris sama kesialanku sendiri. Sekarang aku paham. Nicolas itu bukannya pakai narkoba. Dia cuma nggak suka sama wawancara ini. Harusnya aku sudah bisa nebak dari kemarin-kemarin, karena dia sok sibuk waktu diminta wawancara untuk Warta Ganesha—majalah bulanan SMA Ganesha Ilmu yang amat sangat kucintai dan kubanggakan. Tahu begini, mending aku nego ke Maria buat cari narasumber lain yang lebih ramah.

"Kenapa ketawa?" tanya Nico, kelihatan sedikit bingung.

Aku mengibaskan tangan. "Nggak apa-apa. Satu pertanyaan lagi aja." Sebenarnya aku masih punya belasan pertanyaan, tapi karena cowok ini nyebelin, aku ogah berlama-lama. Yang penting ada yang ditulis, itu sudah cukup membuat pemred-ku senang. "Jadi, setelah ini, target lo apa, Nic?"

Nico menyipitkan mata, seolah belum rela karena aku nggak kasih tahu alasanku tertawa. Bodo amat, deh. Kalau dia repot-repot nanya pendapatku, aku juga nggak suka, kok, sama wawancara ini. Memangnya siapa, sih, yang bahagia harus ngemis-ngemis wawancara sama cowok sok idola kayak dia? Ya, oke. Dia emang idola, tapi please, dong, dia cuma idola tingkat sekolahan. Yang mengidolai dia cuma cewek-cewek kurang kerjaan yang nggak tahu harus ngapain waktu istirahat selain nontonin Nicolas Panji main bola. Nggak sekeren itu, tauk!

Karena aku bersikeras nggak ngasih tahu alasanku tertawa (memangnya aku harus?), Nico menjelaskan dengan kalimat pendek tentang sebuah kompetisi fotografi yang pengin dia ikuti.

"Oke. Oh. Satu pertanyaan lagi boleh?" tanyaku, mendadak ingat sesuatu. "Ini yang paling bikin gue penasaran," tambahku.

Nico mengangguk kaku.

"Kenapa lo nggak ikut lewat klub fotografi?" tanyaku.

"Hmm?"

"Lo bisa aja ikut kompetisi ini lewat klub fotografi sekolah, kan?" tanyaku memastikan. "Kalau nggak salah, lomba ini mewakili sekolah."

"Ya karena gue bukan anggota klub fotografi, kan?" Dia balas bertanya dengan mata menyipit, seolah-olah itu sudah jelas, sekaligus seperti menggarisbawahi ketololanku.

"Oke. Terus, kenapa lo nggak ikut klub fotografi?" kejarku. "Lo, kan, passionate banget di bidang fotografi. Prestasi, jangan ditanya. Kenapa lo malah gabung klub sepak bola, bukannya klub fotografi?"

Lagi-lagi, Nico menyibak rambutnya ke belakang. Ewh, sok ganteng banget. Tolong, ya, aku punya banyak pekerjaan di jam-jam istirahat, dan gestur sok keren itu nggak bakal mempan untukku.

"Karena gue pengin menekuni bidang yang lain juga, sih," jawab Nico. "Biar skill-nya banyak."

"Atau mungkin lo merasa skill lo udah di atas anak-anak klub fotografi, lo merasa nggak perlu ikutan, karena itu nggak ngasih lo keuntungan apa-apa." Aku tersenyum seramah yang kubisa. "Oke, Nic. Udah, itu aja, sih. Boleh gue minta foto?"

Nico tadinya melihatku tajam. Mungkin karena komentar lancang yang kulontarkan barusan. Namun, nggak lama kemudian dia mengangguk, lalu membenahi postur duduk dan dasinya. Sementara aku meraih kamera dan ambil gambar secepat yang kubisa.

"Done! Makasih atas waktunya, ya."

Dengan sedikit terburu-buru, aku mengemasi barang-barangku. Males banget aku lama-lama sama cowok songong ini. Kalau bukan untuk Wartaga—sebutan singkat untuk Warta Ganesha—aku nggak akan repot-repot mengajak dia ngobrol.

"Sukses buat kompetisi selanjutnya. Bye!"

"Citra."

Aku yang baru berjalan tiga langkah sontak berhenti dengar Nico panggil namaku. Wah, kukira dia sudah lupa namaku.

Aku menoleh dan tersenyum tipis. "Ya?"

Nico sedikit salah tingkah. "Makasih. Kalau butuh info lain, chat aja."

Aku ngangguk tipis sembari ngacungin jempol. Nggak akan, Nicolas, jawabku dalam hati. Daripada nge-chat dia lagi, mending aku ngarang bebas dari info yang sudah kudapat ini. Dia nggak tahu skill menulisku, sih.

***

Under Your Spell - TEASER ONLYWhere stories live. Discover now