23. Terjebak Di 1941

Start from the beginning
                                    

"Kenapa kamu lupa dengan kami? Tapi tidak dengan Hansen?"

Batari terkekeh pelan mendengar pertanyaan dari Fleur. "Kan udah saya bilang kak, Hansen itu tetangga saya. Kalau engga percaya, tanya aja sama dia. Malah waktu itu kita suka ngobrol di teras depan rumah saya"

Kartika mengerutkan dahinya mendengar penjelasan Batari, lalu beralih pada Fleur. "Betul begitu?"

Sedangkan Fleur menggeleng. "Mama lihat sendiri kan, kalau Hansen baru pulang bertugas hari ini"

Sementara Batari yang memperhatikan Kartika dan Fleur juga ikut bingung. Bahkan ia merasa sangat asing dan aneh dengan dirinya sendiri. Tapi entah kenapa kepalanya tiba-tiba terasa pening, membuatnya hampir terjatuh jika tidak ada Kartika dan Fleur yang menyangga.

"Neng, tidak apa-apa?"

"Batari, kamu kenapa?"

Batari mengabaikan semua pertanyaan itu. Beberapa gambaran mendadak melintas di dalam kepalanya. Ia mengingat kalau dirinya terjatuh bersama seseorang yang mendekap tubuhnya erat. Tapi siapa orang itu?

Deg.

Batari membeku saat mengingat wajah seseorang yang mendekapnya ketika terjun bebas dari atas balkon. Seiring dengan itu, rasa sakit yang begitu menjadi mendera kepala Batari tanpa ampun. Hal itu membuat tubuhnya meluruh ke lantai dengan kedua mata perlahan tertutup.

"Hansen.."

*****

Perlahan Batari membuka kedua matanya yang semula tertutup. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kubik tersebut. Seakan teringat sesuatu, ia langsung bangkit dan mengunci pintu dari dalam. Alhasil hanya dirinya saja yang ada di kamar.

Seperti gulungan film yang berputar, kini Batari mengingat semuanya dengan jelas. Ketika ia melihat tiga sosok di kediaman De Vries, ketika dirinya diseret oleh sosok bergaun merah yang menyeramkan, ketika ia didekap Hansen, dan ketika ia terjun bebas sampai terhantam ke tanah.

Astaga. Sekarang Batari mengingat semuanya. "Setan!" Umpatnya pelan lalu kembali termenung. "Sari kan emang hantu, terus cewek yang gaun merah itu juga hantu. Apa Hansen juga.."

Batari langsung menggelengkan kepalanya kuat. "Bukan, bukan, bukan! Hansen itu bukan hantu. Kalau hantu pasti yang lain engga bisa liat dia tadi"

Kini Batari menggigiti ujung kuku jarinya cemas. "Tapi kalau misal aku jatoh dari lantai atas, kenapa engga ada luka apapun ya? Malah si kakak bule tadi bilangnya aku jatoh dari ayunan"

"Oh!" Seru Batari sembari menjentikkan jemarinya. "Kuncinya ada di Hansen. Dia kan ikut terjun waktu itu. Terus kenapa pas bangun bajunya jadi kebaya gini? Padahal sebelum jatoh cuma pake kaos pendek sama celana biasa"

Batari mulai melihat-lihat isi kamar tersebut. Ia mengitarinya dari sudut satu ke sudut lain. Disana tidak ada hal yang istimewa. Hanya ada kasur ukuran kecil, lemari kayu jati, meja rias dengan cermin yang menguning, dan sebuah kalender kertas berukuran kecil menempel di dinding dekat pintu.

"1 Desember?" Gumam Batari saat melihat tanggalan. "Bukannya November ya? Kok cepet banget sih majunya, engga kerasa" Sambungnya bingung.

Ketika bola mata Batari melirik sedikit ke bagian atas kalender, ia sedikit menyipit melihat tahunnya. "1941?" Gumamnya lalu mengerjapkan mata, takut-takut salah lihat. Ketika dilihat lagi ternyata..

"Shit. Bukan maju, tapi mundur"

Barulah sekarang Batari tersadar dengan keanehan yang dialaminya. Mulai dari orang-orang, bangunan, pakaian dan juga cara bicara. Jadi dirinya terbangun di masa yang berbeda?

Tok. Tok. Tok.

"Neng?" Seru suara Kartika dari luar.

Batari menoleh ke arah pintu. Perlahan ia menghampiri tanpa membukanya. Ia hanya terdiam was-was sambil mendengarkan suara dibalik pintu.

"Batari? Buka pintunya" Kini suara Fleur yang terdengar.

"K-kalian siapa?" Tanya Batari mulai memberanikan diri.

Sedangkan diluar kamar, Kartika dan Fleur saling tatap. Mereka bingung dan cemas ternyata Batari memang benar-benar melupakan segalanya hanya karena terjatuh dari ayunan.

Kartika kembali berucap. "Neng, buka dulu pintunya. Ibu mau bicara"

Batari langsung menuju ke sisi ranjang dan jongkok disana. Ia menutup kedua telinganya ketakutan. "Bukan, ini cuma mimpi. Iya, cuma mimpi" Gumamnya.

"Batari? Buka pintunya. Keluarlah" Seru Fleur sambil mengetuk pintu.

Sementara Batari semakin menutup telinga dan matanya rapat-rapat. Berusaha meyakinkan kalau ini tidak nyata. "Plis, bangun bangun bangun. Plis, ini cuma mimpi. Ini engga nyata, ini halu" Ucapnya denga suara bergetar.

Kartika dan Fleur semakin kalut dibalik pintu. Mereka takut ada hal tak diinginkan terjadi pada Batari di dalam. Sedangkan William terus memegang ujung gaun Fleur dibawah sana.

"Ma, bagaimana ini?" Tanya Fleur khawatir. Meskipun Batari bukan saudaranya, ia sudah menganggap gadis itu sebagai kakaknya sendiri.

Tanpa banyak bicara Kartika segera mengampiri telepon. Ia memutar beberapa nomor untuk menghubungi seseorang. Selama itu berlangsung, Fleur masih terus membujuk Batari untuk membukakan pintu kamar.

Batari terisak pelan. Jantungnya berdebar merasakan semua keanehan ini. Ia ingin kembali. "Mama, Riri mau pulang" Ucapnya pelan.

Entah sudah berapa lama Batari terisak diselingi lamunan tak berujung, hingga kembali terdengar suara ketukan diluar sana. Mendengar itu, Batari semakin memeluk kedua lututnya ketakutan.

Tok. Tok. Tok.

"Batari, buka pintunya. Kami mohon" Rayu Fleur.

"Engga!" Tolak Batari semakin takut.

Tok. Tok. Tok.

"Tinggalin saya sendirian! Saya mau pulang!" Tangis Batari semakin dalam, namun tak lama kemudian..

"Buka. Ini saya, Hansen"

Mendengar suara itu, barulah Batari menghentikan isakan tangisnya. Ia segera menghampiri pintu dan memutar kunci. Ketika pintu perlahan terbuka, batari terdiam tak menentu. Sosok jangkung bermanik indah menyambutnya dengan raut dingin.

"Hansen.."

*****

reginanurfa
-31102023-

BANDOENG DIKALA MALAM [ON GOING]Where stories live. Discover now