📷 chapter f o r t y t w o

Start from the beginning
                                    

Mulanya Papa tampak skeptis karena cemas. Namun, nyatanya Radya memang benar. Ia yang paling tahu bagaimana keadaan dirinya sendiri. Radya yang mau memerhatikan kesehatan mentalnya sendiri dalam kondisnya yang seperti itu saja sudah bagus. Rasanya Papa memang tak perlu khawatir berlebih perihal masalah ini. "Ya sudah kalau begitu, Papa percaya sama kamu," pungkas Papa sebelum ia kembali menghabiskan sarapannya.

Setelahnya Papa bingkas dari kursinya dan beranjak memutari meja untuk menghampiri Radya. "Papa harus berangkat sekarang. Kalau ada apa-apa kamu langsung saja hubungi Papa, Rad," ujar Papa setelah ia tiba di samping sang anak laki-laki. "Sampai ketemu lagi nanti malam."

Mendengar itu, lagi-lagi Radya mengabaikan makanannya dan mendongak pada Papa. Kali ini tatapannya tampak tak percaya. "Aku nggak salah denger, Pa?"

Papa tersenyum kecil. "Bukannya Papa sudah janji waktu itu? Dan setelah Papa pikir-pikir, tidak ada salahnya juga kalau Papa usahakan lebih awal."

Radya tertegun selama sepersekian detik. Ia tak menduga hari ini akan datang. Papa menepati janjinya. Perkataannya waktu itu bukanlah omong kosong. Rasanya Radya tidak peduli lagi jika alasan di balik itu semua karena keadaan dirinya yang seperti ini. Bukankah yang lebih penting sekarang adalah dirinya yang kini tengah menjadi prioritas utama Papa? Oleh karenanya, Radya akhirnya dapat menunjukkan sebuah senyum di saat ia berhadapan dengan sang papa.

"Nanti kamu nggak usah pakai transportasi umum. Panggil saja Pak Damar karena Papa belum sempat carikan supir baru untuk kamu. Hari ini Papa nyetir sendiri saja." Papa lantas menepuk-nepuk bahu kiri Radya seraya berpamitan, "Papa berangkat dulu, Rad."

Dan, yah, lengkungan di bibir Radya lenyap seketika, berganti dengan lolosnya sebuah erangan sebab nyeri yang ia rasakan. Papa yang baru menyadari apa yang sudah dilakukannya pun seketika tampak panik.

"Radya, maaf, Papa nggak sengaja ...."

"Papa sama Risha sama aja!"

-

Gerbang utama Universitas Santosha sudah tampak di depan sana ketika Radya menerima pesan dari Alsa.

Alsanira Mahika
Bang
Lo udah di kampus??

Sabit segera terbentuk di bibir Radya. Mengingat bagaimana kondisi tangannya yang membuat ia kesulitan mengetik dengan satu tangan, alhasil laki-laki itu pun menekan ikon untuk merekam voice note lantas mendekatkan mic pada ponsel ke mulutnya. Radya pun berkata, "Bentar lagi nyampe. Lo di mana?" Ibu jari Radya terangkat dan pesan suara tersebut pun otomatis terkirim.

Sebelum sempat mendapat balasan, mobil yang Radya tumpangi sudah merapat ke sisi jalan hingga akhirnya berhenti, pertanda ia telah tiba di tujuan. Laki-laki itu pun memasukkan ponsel ke dalam saku celana jins lalu mencangklong tas.

"Nanti kabari Bapak kalau sudah pulang ya, Den?" ujar Pak Damar seraya menoleh ke belakang dengan senyum yang tampak begitu ramah.

Radya mengangguk dan melengkungkan bibir. "Makasih banyak, Pak," tutur Radya tulus pada pria berusia lima puluhan yang telah lama bekerja untuk keluarganya itu. "Hati-hati," tambahnya sebelum ia membuka pintu dan turun dari mobil.

Radya menarik napas sejenak, lalu ia mulai mengambil langkah memasuki area kampus sembari berusaha tak memedulikan tatapan dari orang-orang sekitar sebab kondisi lengan kirinya. Laki-laki itu pun masih harus menempuh jarak yang lumayan agar dapat sampai ke FEB. Lantas setibanya di tujuan, Radya lekas menaiki lift yang akan membawanya ke lantai tiga di mana ruangan untuk mata kuliah pertama.

Dan, seperti yang sudah Radya duga, beberapa teman sekelasnya yang sudah datang sontak saja terkejut ketika mendapati kehadirannya yang baru menginjakkan kaki di ruangan.

Through the Lens [END]Where stories live. Discover now