Mimpi Siang Bolong

27 5 0
                                    

Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Entah sudah berapa lama waktu berlalu sejak proses ritual tolak bala dilakukan. Selama itu pula Deden merasa tidak ada yang berubah di rumahnya. Semua berjalan dengan normal. Ucapan Ki Ageng bahwa ada yang mengirim jampi-jampi ke rumahnya belum terbukti. Deden cukup merasa lega. Sementara. Karena dia tahu dunia mistis tidak seramah itu. Ada Ki Ageng belum berarti keadaan akan baik-baik saja. Karena di atas dukun masih ada dukun yang lebih sakti. Mempercayakan segalanya pada Ki Ageng tentu bukanlah hal yang bijak, apalagi Deden sadar semuanya dimulai dari Ki Ageng, dari ritual yang difasilitasi olehnya, walau keputusan awal berasal dari dirinya.

Sabtu sore ia mengajak Lastri dan Ara jalan-jalan. Rutinitas yang sudah lama tidak dilakukannya. Menikmati kebersamaan dengan keluarga. Sebuah rumah makan berbentuk joglo menjadi pilihannya. Suasana yang nyaman dengan taman bunga di sekeliling dan menu makanan yang sesuai dengan selera lidahnya menjadi pilihan. Selain itu, rumah makan ini juga menyediakan beberapa gazebo yang ada di bagian belakang. Merupakan pilihan yang tepat untuknya yang ingin memiliki waktu khusus dengan keluarga.

"Mikirin apa, Mas?" tanya Lastri melihat suaminya duduk bersandar di tiang gazebo dengan pikiran menerawang. Nalurinya sebagai seorang istri mengatakan ada hal yang sedang meresahkan suaminya. Namun, ia tak tahu apa. Puluhan tahun menjadi istri Deden, bukan berarti ia mengerti banyak hal tentang suaminya. Ada beberapa hal yang masih membuatnya meraba-raba apa dan kenapa. Sifat Deden yang ingin menanggung semuanya sendiri membuat sebuah dinding tinggi tak kasat mata terbentang di antara mereka.

"Tidak mikirin apa-apa," Deden tersenyum. "Sini duduk dekat, Mas." Deden mengulurkan tangannya dan menarik Lastri pelan untuk duduk di sebelahnya.

"Ciee...ciee...kayak yang lagi pacaran aja," komentar Ara melihat kemesraan orangtuanya.

"Makanya cari pacar, Ra. Sudah mau tamat SMA, mainnya sama si Putih terus," ledek Deden.

Ara menjulurkan lidahnya. "Suka-suka Ara, dong."

Deden dan Lastri tertawa. Walaupun sudah beranjak dewasa, buat mereka Ara tetaplah putri kecil mereka.

Saat melihat seekor kucing kampung dengan warna bulu kombinasi kuning, hitam, dan putih melintas di dekat gazebo, Ara meminta izin untuk bermain dengannya.

Lastri dan Deden mengizinkan. Mereka tahu bagaimana kecintaan Ara pada kucing. Sejak kecil putri mereka memang sangat menyukai kucing. Bila tidak dilarang mungkin semua kucing liar yang ditemukan olehnya akan dibawanya pulang ke rumah.

Sambil menunggu pesanan makanan mereka datang, Deden merebahkan badannya. Sesekali matanya mengamati Ara yang sedang asyik dengan kucing yang baru ditemuinya. Tubuhnya terasa lelah. Semilir angin ditambah kipas angin yang berembus pelan di langit-langit gazebo membuat matanya terasa berat menahan kantuk. Tak lama ia pun tertidur. Tidur yang sama sekali tidak nyenyak. Beberapa kali Deden tampak mengerang kesakitan.

Dalam tidurnya ia bermimpi didatangi oleh orang-orang yang sudah menjadi tumbal pesugihan. Ada yang datang dengan wajah pucat dan mata memerah, ada pula yang datang dengan wajah seperti binatang dengan darah yang terus menetes dari mulutnya seperti iler pada bayi yang baru tumbuh gigi. Ada juga yang datang dengan tubuh berlumuran darah. Ponakannya yang masih balita dan sangat imut sebelum menjadi tumbal juga datang dengan badan yang menggembung dengan belatung yang berlomba keluar dari pori-porinya.

Semua berlomba ingin membunuh Deden. Ada yang mencekik lehernya, ada yang menginjak perutnya, mencakarnya, menjambak rambutnya, menarik-narik tangan dan kakinya hingga hampir terlepas dari tempatnya. Deden hanya bisa pasrah menerima perlakuan dari orang-orang yang pernah menjadi tumbal pesugihannya. Dirinya seolah tidak punya tenaga, lemah terkulai.

Hingga seseorang tampak menghalau mereka semua. Samar Deden melihat wajahnya akibat kesadaran yang perlahan menurun. Ara?

Putri semata wayangnya tersenyum manis padanya. "Selamat tinggal ayah," katanya sambil menggorok lehernya sendiri dengan sebilah belati yang ternyata disembunyikan di balik badannya. Deden berusaha mencegah namun terlambat. Darah segar muncrat dari leher Ara dan sebagian menyiprati wajahnya hingga membuatnya terjaga.

"Astagfirullah...." Deden terbangun dan langsung duduk. Ia mengusap wajahnya yang basah. Di hadapannya Lastri dan Ara menatapnya dengan wajah khawatir. Tangan Lastri tampak memegang gelas yang airnya tinggal separuh. Rupanya cipratan air dari gelas tersebut yang membuatnya terjaga.

"Ayah mimpi apa?" tanya Ara khawatir. "Tadi teriak-teriak kayak kesakitan gitu...."

Tanpa menjawab, Deden memeluk putri semata wayangnya itu. Untung hanya mimpi. Deden tidak dapat membayangkan kalau kejadian di mimpinya itu benar terjadi. Ara membalas pelukan ayahnya. Sesekali tangannya bahkan menepuk-nepuk bahu ayahnya seolah menenangkan, seperti hal yang dulu biasa dilakukan ayahnya saat dirinya bersedih.

Lastri menatap kedekatan ayah dan anak itu dengan perasaan haru. Ia tahu ada hal yang meresahkan suaminya. Ini bukan mimpi buruk pertama yang dialaminya. Tapi ia tidak bisa membantu bila suaminya tidak mau terbuka padanya. Ada banyak hal yang sebenarnya ingin ditanyakan pada suaminya. Selama ini ia hanya menutup mata dan telinga dari desas-desus yang beredar di luar, terutama sejak kematian ponakannya yang tidak wajar. Isu bahwa ponakannya itu menjadi tumbal pesugihan menjadi hal yang semakin santer beredar di tempat tinggal mereka.

Sebenarnya Lastri pun tidak akan tahu isu ini bila bukan Mbok Asih yang bercerita. Sejujurnya dia pun termasuk orang yang jarang bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya. Untuk membeli keperluan dapur biasanya Mbok Asih yang belanja. Kadang ke pasar, kadang membeli ke tukang sayur keliling.

Suatu hari Mbok Asih pernah cerita, Lastri lupa kapan tepatnya. Ia hanya ingat kalau kejadian itu setelah peristiwa tragis yang menimpa ponakannya. Mbok Asih yang seperti biasa belanja ke tukang sayur keliling kembali dengan tangan kosong. Awalnya Mbok Asih tidak mau cerita, tapi setelah didesak akhirnya Mbok Asih cerita kalau ada beberapa ibu-ibu yang terang-terangan mengatakan kalau keluarganya ikut pesugihan.

Mereka bahkan melarang Mang Jajang, tukang sayur kelling yang sudah menjadi langganan Mbok Asih untuk menerima uang dari Mbok Asih dan mengatakan bahwa itu adalah uang panas.

Akhirnya sejak hari itu, mereka tidak lagi belanja di tempat Mang Jajang maupun pasar tradisional. Walau lebih mahal, pasar modern menjadi pilihan. Lebih aman buat hati. Untuk sedekah pun mereka memilih panti-panti asuhan yang agak jauh dari tempat tinggal mereka. Kalau pun ingin memberi sedekah ke orang-orang di sekeliling tempat tinggal mereka, dilakukan tanpa mereka perlu tahu siapa pengirimnya.

"Sudah peluk-pelukannya. Kita makan dulu. Nanti makanannya jadi dingin, dianggurin dari tadi," kata Lastri menyadarkan Deden dan juga Ara.

Deden dan Ara tersenyum.

"Ibu cemburu ya....," goda Ara. "Ibu juga dipeluk, Yah," pintanya pada ayahnya.

"Ibu sih sudah dipeluk ayah tiap hari. Kalau sama Ara kan sudah jarang.," jawab Deden. Sebelah tangannya masih merangkul bahu putrinya.

Lastri mencubit pinggang Deden gemas.

"Tapi ayah tadi mimpi apa sih?"

Deden langsung terdiam. Mimpinya kembali terbayang dan hal itu membuatnya bergidik.

"Sudah nggak usah dibahas. Nanti selera makan ayah hilang," kata Lastri menengahi. Ia lalu mengambilkan sepiring nasi untuk suaminya sebelum mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Ara mengambil nasi belakangan.

Mereka lalu menyantap makanan dalam suasana hening. Sesekali pandangan Lastri dan Deden bertemu.

"Kita pasti akan membahas hal ini. Pasti!" Lastri membatin. Dan saat hal itu terjadi, jangan ada yang ditutupi. Kita pasti akan menghadapinya bersama.

Di bawah meja, tangan kiri Lastri menggenggam erat tangan kiri Deden yang berada di pangkuannya. Deden melirik Lastri dan sebuah senyuman manis dari Lastri membuat hatinya hangat.





Akhir PerjanjianNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ