Terkuak

25 4 1
                                    

Malam itu Ara gelisah. Sudah memejamkan mata dari tadi, tapi tak juga bisa tidur. Sudah mengganti posisi tidur, dari menghadap kanan, kiri, telentang, hingga tengkurap, tetap tak bisa tidur. Padahal badan dan pikirannya sedang lelah menghadapi ujian kelulusan yang tinggal beberapa hari. Mau belajar lagi, tapi lagi tidak mood. Sebelum ujian kelulusan dari sekolah sudah mengadakan bimbingan belajar tambahan, ikut tambahan bimbingan belajar daring juga sudah. Entah sudah berapa ratus soal dikerjakannya sebagai latihan di sekolah maupun bimbingan belajar daring, ditambah try out  yang beberapa kali diselenggarakan menjelang ujian. Rasanya kepalanya mau pecah. Sekarang sih inginnya ujian cepat selesai. Jadi bisa cepat kelihatan nilainya, bisa tidur nyenyak, tidak stres mikirin soal apa yang akan keluar besok.

Ara lalu mengambil handphone dari atas nakas untuk melihat waktu. 00.30. Ia lalu bangkit menuju dispenser yang ada di kamarnya. Tapi sayang, air galonnya habis. Akhirnya ia memutuskan keluar kamar, menuju dapur. Kamarnya yang berada di lantai 2 membuatnya malas turun ke lantai bawah bila tidak terpaksa. 

Samar ia mendengar suara tangis. Sepertinya berasal dari kamar orangtuanya. Ibu?

Rasa penasaran mendorongnya mendekati pintu kamar orangtuanya. Setahu Ara, ayah dan Ibunya adalah pasangan paling romantis. Hingga usianya sekarang, tak sekalipun ia melihat kedua orangtuanya bertengkar. Selisih paham kadang memang terjadi, tapi tidak sampai berlarut-larut, apalagi membuat ibunya menangis.

Kalau ada orang yang pantas mendapat penghargaan sebagai orangtua hebat, kategori ayah paling perhatian dengan keluarga, maka itu adalah ayahnya.

Untuk kategori ayah yang paling sayang dengan istri dan anaknya, maka itu juga ayahnya.

Untuk kategori ayah yang selalu ada untuk istri dan anaknya, pekerja keras dan selalu bertanggungjawab, maka itu adalah ayahnya.

Yah...seistimewa itulah ayah di mata Ara. Karena itu ketika mendengar Isak tangis ibunya, ia jadi bertanya-tanya. Kenapa? Apa yang terjadi? Apa ayah memukul Ibu? Selingkuh? Punya istri lagi? Berbagai pikiran buruk bertebaran di otaknya.

Ara mulai menempelkan telinganya di pintu kamar orangtuanya.

"Astaga. Jangan bilang kalau Mas sudah menikah lagi. Poligami?"

"Nggak sayang. Mas nggak mungkin nikah lagi. Tapi yang Mas lakukan kesalahannya lebih dari itu."

Ara mendengar perdebatan ayah dan ibunya. Ia bersyukur, satu tebakannya salah kalau ayahnya menikah lagi. Karena hal tersebut terjadi pada salah satu temannya di kelas.

"Lastri tahu sekarang. Mas pasti punya anak dari perempuan lain."

Terdengar Isakan ibunya semakin keras. Detak jantung Ara yang masih mendengarkan perdebatan orangtuanya pun semakin berpacu dengan kencang.

Semoga bukan, semoga bukan. Ara terus merapal kata-kata itu seperti mantra berharap kalau tebakan ibunya tidak benar.

"Hei...hei...jangan menangis. Mas nggak selingkuh, nggak poligami, dan juga nggak punya anak dari perempuan lain."

Ara bernafas lega. Terimakasih Ya Allah.

"Terus apa yang membuat Mas selalu cemas, membuat Mas seperti orang yang tertekan dan sering dihantui mimpi buruk? Mas punya utang? Usaha Mas sedang bermasalah? Apa? Cerita mas....cerita! Jangan biarkan Lastri jadi permaisuri yang hanya tahu sukanya Mas sementara dukanya Mas disimpan sendiri."

Ara yang masih menguping pembicaraan orangtuanya juga penasaran. Ayahnya memang terlihat seperti orang cemas. Walau berusaha menampakkan bahwa semua baik-baik saja, namun pandangan dan gestur tubuhnya tidak dapat berdusta.

Akhir PerjanjianWhere stories live. Discover now