Badut Pembangkang

299 22 44
                                    

Menjadi sibuk saja tidaklah cukup; begitu pula para semut. Pertanyaannya sekarang: apa yang membuat manusia seolah begitu sibuk?

"Maaf, Nona Helen, waktu untuk wawancara ditetapkan pukul 14.30, dan sekarang hampir pukul lima. Maaf Anda terlambat, tetapi itu aturannya. Anda harus menunggu sampai tahun depan untuk mengajukan lamaran ke perguruan tinggi ini lagi." Dan begitulah seterusnya.

"Kepada Bapak, Ibu, dan Orang Tua Wali Murid, sehubungan dengan seringnya keterlambatan putra Anda, Iwan, kami khawatir kalau kami harus menskorsnya dari sekolah, kecuali jika komite disiplin mampu menjamin bahwa Iwan tidak akan pernah terlambat lagi." Dan begitulah seterusnya.

"Gajimu dipotong karena akumulasi keterlambatan sebanyak 45 menit." Dan begitulah seterusnya.

"Anda datang terlambat. Lowongan sudah diambil. Maaf." Dan begitulah seterusnya.

"Aku tidak sabar menunggu, Ariel. Kamu bilang akan menemuiku di terminal tepat jam 14.45, dan kamu tidak datang, selamat tinggal. Kita putus ...." Dan begitulah seterusnya.

"Saya tidak peduli jika naskah ini bagus, saya perlu ini di hari Jum'at!" Dan begitulah seterusnya.

"Maaf, saya belum sempat membaca karyamu. Saya sibuk dan memiliki kehidupan di dunia nyata. Mungkin lain kali saja." Dan begitulah seterusnya.

"Ya, Tuhan. Jam berapa sekarang? Aku harus bergegas!"

Yah, begitulah seterusnya, hingga suatu hari manusia tidak lagi membiarkan waktu melayaninya, merekalah yang melayani waktu, budak dari jadwal dan tenggat, penyembah matahari dari terbit sampai terbenam. Dunia yang lahir dari strata pikiran yang ditaklukkan, di mana tatanan terikat oleh batasan karena percaya: sistem tidak akan berfungsi jika ia tidak dijaga dengan ketat.

Akan tetapi, kerumunan massa yang melayani sistem itu bukan sebagai manusia terutama, melainkan sebagai mesin dengan tubuhnya. Mereka seperti angkatan bersenjata, serigala militan, sipir penjara, atau komite aparat dan sebangsanya. Bahkan dalam kebanyakan kasus, tanpa diperlukan latihan menilai prasangka atau sekadar mengerti norma, sebab mereka memperlakukan diri setara dengan kayu, bumi, dan batu.

Mereka umumnya warga negara yang baik seperti para legislator dan politisi, menteri atau pemegang jabatan. Namun, mereka jarang membuat perbedaan moral karena cenderung melayani Iblis tanpa bermaksud seperti Tuhan. Sangat sedikit dari mereka yang mau menjadi pahlawan, martir atau reformis dengan cita-cita besar; para manusia yang bekerja dengan hati nurani, karena tak ingin diperlakukan sebagai musuh.

Tinggi di puncak pencakar langit, sekelompok makhluk lakuran merangkak di antara platform alumunium yang bersenandung seperti metronom konstan. Mereka menatap ke bawah pada deretan arsitektur brutalis yang tersusun rapi, matanya menyala mengawasi gerak kaum pekerja. Mereka menduduki hirarki di mana rasa takut dihasilkan. Mereka memastikan ketertiban lewat rasa patuh pada waktu agar peradaban berfungsi sebagaimana mestinya.

Pemimpin di antara mereka, seorang biologi sintetits yang berkepala kucing, sesuatu yang sempurna untuk menyembunyikan identitas dibalik topeng rekayasa genetik. Tubuhnya setinggi enam kaki dan sering kali tidak banyak bicara. Dia tidak memiliki nama; tidak layak bagi seorang manusia untuk memiliki nama dengan jenis pekerjaan yang membuatnya dibenci semua orang. Dia sanggup mencabut menit, jam, siang dan malam, tahun-tahun kehidupan para pekerja. Dia dijuluki Master karena penampilannya, lebih mudah dikatakan demikian.

"Ini adalah apa," kata sang Master dengan sikap lemah lembut, "bukan siapa? Gawai penghukum ditanganku ini tertulis sebuah nama, tetapi nama dari sebutan pekerjaan yang dia lakukan, bukan jati dirinya. Sebelum aku dapat memulai protokol pencabutan yang sesuai, aku perlu tahu seperti apa dan siapa nama aslinya." Kepada seluruh stafnya: semua pemburu, pencari jejak, agen-agen propaganda, bahkan dihadapan para antek dan kroni, dia berkata, "Siapa si Badut?"

Badut PembangkangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang