14 || and, they clean their pool

Începe de la început
                                    

"Saya bisa bangun pagi, kok. Besok saya bakal ke area gym ini jam tujuh, kalau kamu butuh bantuan."

Ide tentang Bening yang mendatanginya pagi-pagi untuk menduduki tubuhnya terdengar begitu menggiurkan. Sisi rasional Tama tahu hal itu tak sebaiknya terjadi, tetapi sisi lain yang dikuasai berahi justru tak sabar dengan kesempatan untuk lebih dekat dengan Bening, terutama soal kontak fisik. Dia ingin mendorong pikiran terakhir itu jauh-jauh, tapi rasanya sungguh sulit ketika prospek untuknya lebih dekat dengan Bening terasa membahagiakan. Sudah lama dia tak sebahagia ini.

Lagi pula, Bening hanya akan menduduki punggungnya, dan Bening pasti takkan pernah menginisiasi agar mereka bercinta, bukan? Dia akan aman karena Bening pasti akan menolak untuk bercinta dengannya—harusnya menolak.

"Iya, jam segitu," Tama akhirnya menjawab. "Nanti kamu nyusul aja."

Mereka pun berpindah ke lantai dua, sedangkan Soma dan Rendra mengobrol di lantai satu. Lantai dua berisi kamar-kamar, ruang kerja, ruang cuci dan jemur, kamar mandi luar, serta ruang bersama dengan rak buku yang besar. Bening terlihat takjub mengamati tiap sudut rumah ini.

"Ini kamarmu, ada walk-in-closet dan ada kamar mandi dalam," ujar Tama setelah membuka sebuah pintu putih. "Semua koper dan tas kamu juga udah ditaruh di sini."

Bening tak berlama-lama melihat kamarnya, karena itu masih bisa dia lakukan nanti. Tapi Tama masuk dan membuka sebuah laci lemari. Bening mengikuti dan terkejut melihat pistol di dalam sana. "Buat jaga-jaga. Kamu juga udah latihan tembak, kan?" ujar Tama, lalu melihat Bening mengangguk. "Kata instrukturmu, tembakan kamu udah bagus."

"Apa kamu selalu dapat laporan dari para instruktur saya?"

"Iya, tiap hari. Semua progres kamu tercatat dan dilaporkan."

Itu hal yang wajar. Mereka pun kembali berjalan dan Tama membuka kamar lain.

"Ini kamar saya," ujar Tama, menunjukkan kamar bernuansa putih dan kelabu yang cukup rapi dan minimalis. Hanya ada dua hal yang tidak sesuai tempatnya, yakni sebuah jaket di lengan sofa dan laptop di kasur.

"Hmm, ukuran kamar ini kayaknya lebih kecil, ya?" tanya Bening.

"Iya, karena nggak ada kamar mandi dalam," balas Tama. "Kalau kamarmu itu master bedroom."

"Eh? Kenapa bukan kamu yang menempati master bedroom?"

"Karena saya nggak memerlukan kamar mandi dalam. Sementara buatmu, bukankah kamu akan lebih nyaman kalau kamarmu ada kamar mandi dalam?"

Bening mengerjap. Tama benar-benar menepati ucapannya yang lebih mementingkan kenyamanannya selama bekerja. Meski sulit, dia harus menepis ekspektasi yang terbit dari rasa diperhatikan yang membuat pipinya merona. Tama melakukan ini sebagai bentuk untuk menghargainya, tidak lebih dari itu.

"Saya mau kasih sesuatu," ujar Tama, membawa mereka ke ruang bersama yang terdapat sofa, rak buku, dan beberapa perabot. Ruangan ini memiliki akses jendela kaca yang langsung memperlihatkan rumah-rumah para tetangga mereka. Tama mengeluarkan sesuatu dari sakunya, lalu menunjuk sebuah kunci kamar dengan gantungan dadu. "Itu kunci pintu depan, ini kunci kamar kamu, dan ini kunci kamar saya."

"Kunci ... kamar kamu?" Bening mengulang, mendongak. "Apa saya memang harus punya?"

"Iya. Buat jaga-jaga aja."

Bening pun menyadari sesuatu. "Tama, apa ... apa kamu juga punya kunci kamar saya?"

Ada jeda dan sebersit raut ragu dari sang pria. "Iya."

Bening mengambil waktu untuk berpikir. Dia tahu Tama bukanlah Nicholas. Dia tahu mereka orang yang berbeda. Dia tahu Anika dan anggota Balwana yang lain semua memercayai Tama. Tapi, dia tidak pernah benar-benar mengenal pria ini. Mereka hanya pernah berbicara beberapa kali, dan itu tidak cukup bagi Bening untuk percaya sepenuhnya. Dia tahu Tama hanya berjaga-jaga, tetapi rasa tidak nyaman tetap merayap. Apakah dia seharusnya tak perlu cemas? Apa kecemasannya ini berlebihan?

Tergenggam dalam Nyaris | ✓Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum