Bab 8 Tangis Haru

402 9 0
                                    

Seorang berpakaian seksi dan kekurangan bahan menari meliuk-liuk di area dance floor sebuah bar ternama di ibukota. Tubuh seksinya membuat beberapa kaum adam bergerak mendekat dan menggodanya. Tak sedikit dari mereka berusaha untuk menjamahnya. Beruntung sekali, Selina selalu membawa bodyguard kemanapun ia pergi. Jadi sudah pasti banyak pria nakal disana yang kecewa karena tidak bisa sekedar mendekati bahkan menyentuhnya.


"Fos! Bawa tas, Nona Selina!" seru seorang bodyguard kepada seorang bodyguard lainnya.

Seorang bernama Foste yang sedari tadi berdiri menjaga tempat duduk majikannya itu dengan hati-hati meraih Boarini Milanesi milik Selina. Sebuah tas dengan harga fantastis berwarna teal blue, dengan jenis Parva Mea, yang dilapisi dengan berlian ini digendongnya seperti menggendong seorang bayi keturunan raja. Begitu hati-hati dan penuh kelembutan agar tidak sampai terjatuh atau bahkan tergores.

Sementara Sada, ia bertugas menggendong Selina dan membawanya pergi dari dance floor. Mereka segera membawa majikannya masuk ke dalam mobil menuju ke sebuah apartemen pribadi milik Selina dengan hati-hati.

Wanita itu terlihat begitu kacau dan berantakan, sedari tadi mulutnya tidak berhenti meracau, memaki, serta mengumpat yang ditujukan kepada Bagas. Kedua bodyguard itu tidaklah kaget, ini bukan kali pertamanya mereka melihat keadaan Selina yang sekacau ini. Selina bahkan sering melakukannya sejak dia jatuh cinta dengan Bagas dulu.

Bagi Selina, Bagas adalah harga mati. Dia akan menghalalkan segala cara untuk memilikinya, termasuk dengan yang saat itu ia lakukan kepada kedua orang tuanya. Selina rela mogok makan berhari-hari dan terbaring dengan lemah dengan kondisi yang sangat mengenaskan hanya demi membujuk kedua orang tuanya agar mau melepaskan cabang perusahaannya kepada Ayah Bagas dan membuat perjanjian untuk menjodohkan dirinya dengan Bagas. Cukup kekanakan, tetapi nyatanya caranya itu ampuh dan saat ini ia berstatus sebagai tunangan Bagas. Pria yang sangat ia cintai dan kagumi selama bertahun-tahun lamanya.

"Bagas, temui tunanganmu sekarang juga! Bersikaplah lebih baik kepadanya supaya Papa bisa memperoleh semua yang kita butuhkan segera! Jangan membuatnya menjadi kacau, tolong turunkan sedikit egomu demi nasib ribuan karyawan yang bergantung kepada pundak kita." Suara berwibawa itu adalah milik Surya, seseorang yang Bagas hormati dan sayangi.


Bagas hanya membalas dengan deheman saja, ia lantas memutuskan sambungan telepon itu secara sepihak dan mengarahkan pandangannya kepada Jo yang setia berdiri di depannya. "Bagaimana menurutmu, Jo?"

Jo menelan ludahnya susah payah, ia terdiam sejenak dengan otak yang sibuk berpikir. "Menikahlah dengan Nona Selina segera, Tuan. Itu adalah satu-satunya langkah yang bisa membuat permainan ini segera dimulai sehingga kita bisa segera bisa memprediksi cara mengakhirinya."

Jika biasanya Bagas akan membantah dan banyak pertimbangan. Kali ini dia menurut dengan saran Jo. Apa yang dikatakan Jo tidak akan mungkin menyesatkannya karena Jo pasti telah memikirkannya dengan baik.

"Oke, kabarkan pada Papa dan Mama jika aku mau menikah dengannya."

Bagas segera bangkit dari singgasananya, ia berlalu pergi dari ruangan itu menuju ke arah pantry tempat Maia biasa membuat kopi. Ia mengibaskan tangannya, memberi instruksi kepada semua karyawan yang sedang disana untuk menyingkir. Dia membuat kopi dengan tangannya sendiri, kemudian melangkahkan kakinya membuka pintu pantry yang mengarah keluar ke sebuah balkon tempat biasa ia melihat Maia menikmati kopinya. Bagas duduk di bangku yang sama dengan bangku yang pernah Maia gunakan dulu. Ia melarang keras siapapun untuk mendudukinya, Bagas mulai mengangkat secangkir kopi yang masih mengepulkan asap lalu memejamkan matanya sembari menghirup aroma kopi yang menyeruak dari dalam cangkir. Sama persis seperti yang pernah Maia lakukan sebelumnya.

Di tempat lain, Maia dibantu Grace merawat bayi-bayinya. Kedua anak itu memberikan warna baru di dalam kehidupan Maia yang sempat abu-abu. Anak laki-laki tampan itu ia beri nama Zack sedangkan Anak perempuannya ia beri nama Zea. 

Tok tok tok

"Bu, tolong bukakan pintunya. Aku masih memberikan asi Zack," tutur Maia. Sejak ia hamil besar, Ia memanggil Grace dengan sebutan Ibu untuk meredakan sedikit rasa rindunya kepada Retha-ibu kandungnya.

Pintu terbuka, dua orang paruh baya dengan sebuah koper besar tersenyum kepada Grace. Wajahnya sangat mirip dengan Maia, Grace mengasumsikan itu adalah keluarga Maia. Grace membalas senyumannya, dengan sopan dia bertanya, "Selamat datang, apakah Tuan dan Nyonya kerabat Maia?" 

Keduanya menganggukkan kepala dan lagi-lagi melempar sebuah senyuman kepada Grace. "Ya, kami adalah orang tuanya, Grace. Dimana putri kami?" Reta berucap menggunakan bahasa inggris dengan fasih.

"Senang bertemu dengan anda, Tuan, Nyonya. Mari silahkan masuk." Grace mempersilahkan Reta dan Alex masuk ke dalam apartemen.

Dengan langkah tergopoh Grace naik ke lantai atas untuk memanggil Maia. Memberitahukan tentang kedatangan kedua orang tua Maia. Maia yang baru saja berhasil menidurkan Zack menjadi terkejut, wajahnya pucat pasi, keringat dingin mulai keluar di tangannya. Bukan karena dia tidak suka, tetapi ia takut jika ayahnya kaget dan jantungnya kembali bermasalah. Serta dia takut jika ayahnya tak bisa menerima keadaannya saat ini yang telah menjadi ibu dari dua orang anak tanpa seorang suami.

Nafas Maia tertahan sejenak kala kakinya melangkah kian mendekat ke arah ruang tamu. Suhu dingin di ruangan yang dihasilkan dari AC tidak lagi terasa oleh Maia. Ia sungguh takut dan khawatir. Namun, ia juga merasa senang mendapat kunjungan dari kedua orang tuanya.

"Dad, Mom," sapa Maia lembut.

Tanpa aba-aba keduanya langsung berhambur memeluk putri yang sudah hampir dua tahun tak dijumpainya. Alex memeluk erat tubuh sang putri sembari mengusap punggungnya. "Mengapa kamu menyimpan semuanya dari Dad, Nak? Mengapa kamu memilih menjalani masa sulitmu sendirian? Mengapa kamu begitu tega membiarkan Dad seolah menjadi ayah yang egois. Bagaimana keadaan cucu Dad sekarang? Apakah mereka tumbuh dengan baik?"

Maia terkejut mendengar perkataan Alex, tangisnya pecah. Beban seberat gunung es yang selama ini ia sembunyikan musnah sudah. Ada rasa lega, haru dan bahagia di hatinya. Ia lantas mencium pipi ayahnya berulang kali seraya berkata, "Maafkan Maia, Dad. Maia sangat menyayangi, Dad."

Mereka berada di kamar Maia yang terletak di lantai atas. Memandangi sepasang bayi kembar berumur delapan bulan yang sedang tertidur dalam box bayi dengan penuh rasa haru. Mereka sungguh sangat bahagia karena telah memiliki cucu dari putri bungsu mereka. Mereka merasa kehidupan mereka telah lengkap karena kedua putri mereka sudah sama-sama memberikan cucu untuk mereka.

"Sayang, ayo kita pulang?" kata Alex tiba-tiba.

Ucapan Alex membuat Maia tertegun, ia bingung harus menjawab apa. Ia masih belum siap untuk kembali ke ibu kota. Ia takut mantan bosnya mengetahui kebenarannya dan berbuat jahat kepada kedua anaknya, lebih lagi jika menyalahkan Maia karena sudah melahirkan Zack dan Zea tanpa berbicara terlebih dahulu kepadanya.

"Dad dan Mom bisa membantumu untuk mengurus mereka, Sayang. Masalah status atau apapun itu tidak perlu kamu permasalahkan lagi biar Dad yang mengurusnya. Dad akan memastikan tidak ada seorangpun yang bisa mengusikmu. Dan kamu bisa bekerja di perusahaan Dad bersama kakakmu," tutur Alex dengan suara lembut namun penuh bujukan.

Maia tersenyum, ia menganggukkan kepalanya dan segera membuka suara. "Terima kasih, Dad. Maia akan segera kembali ke Indonesia, tetapi tidak untuk sekarang, Dad. Maia masih terikat kontrak selama dua tahun oleh sebuah perusahaan disini. Dan Maia harus menyelesaikan semuanya dulu baru bisa pulang ke Indonesia. Ditambah lagi mereka masih bayi, Dad. Maia masih belum tega untuk membawanya bepergian jauh. Tolong beri waktu untuk Maia, Dad."

Maia berkata dengan fakta yang sebenarnya, meski sebenarnya ada alasan lain yang tidak bisa Maia ungkap kepada kedua orang tuanya.

Alex menghembuskan nafas pasrah, ia mengerti keadaan sang putri. Ia tidak ingin memaksa dan membuatnya tertekan lagi. Ia pun menganggukkan kepalanya setuju. "Baiklah, hanya dua tahun. Mau tidak mau, suka tidak suka kamu harus pulang ketika sudah menyelesaikan kontrak kerjamu."

Maia berhambur memeluk ayahnya. "Maia janji, Dad. Maia akan segera menyelesaikannya dan pulang ke Indonesia bersama Dad."



One Night With My Boss (TAMAT di Dreame) Where stories live. Discover now