Bab 1. Pembahasan Tentang Jodoh

127 9 0
                                    

Waktu belum genap menunjuk pukul delapan pagi. Namun sinar matahari sudah terasa menyengat di langit Kota Jakarta. Jalanan sudah dipenuhi oleh kendaraan roda empat juga roda dua. 

Hiruk pikuk suara klakson terdengar begitu bising. Semua berlomba ingin menjadi yang pertama. Bahkan trotoar yang seharusnya menjadi hak pengguna jalan tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Dipenuhi oleh sepeda motor yang ingin cepat lepas dari kemacetan. Pemandangan yang sudah tidak lagi aneh karena terjadi setiap hari. Namun meski begitu, kadang kepenatan itu tetap hadir bagi yang merasakannya. Alangkah baiknya jika ada satu hari di mana Jakarta lengang. 

Setidaknya itulah pemikiran yang melintas di kepala Nareswara. Laki-laki berusia 25 tahun yang ikut terjebak dalam kemacetan dengan mobil jazz merahnya. 

Bibir tipis itu sesekali menggumamkan lirik lagu yang sengaja diputar untuk menemani penat. Sampai ponsel yang berada di saku kemeja panjangnya bergetar tanda satu panggilan masuk. Nares mengangkat panggilan atas nama eyang, dan memasang earphone saat yakin kemacetan belum akan menguar karena lampu merah di kejauhan sana masih menunjukkan angka puluhan. 

"Ya–"

"Nares, kamu itu keterlaluan!" Nares meringis sembari mengusap telinganya yang sedikit berdenging. 

"Sabar Eyangku, Sayang. Ada apa, sih?" Nares tidak merasa melakukan kesalahan. Tadi saat berangkat pun dia berpamitan walaupun tidak secara langsung karena eyang sedang berada di kamar mandi. 

"Tadi, Eyang, kan, sudah bilang kamu jangan berangkat dulu!" Nares kembali meringis karena di seberang sana eyangnya masih berteriak. Namun meski begitu Nares tetap sabar, sudah tahu tabiat eyang yang sering kesal jika kemauannya tidak dituruti. Sepertinya ini masih berhubungan dengan topik yang sudah eyangnya bahas selama beberapa hari tanpa henti. 

"Kan, Nares tadi sudah bilang, Nares takut telat. Ini hari pertama Nares ngajar loh, Yang." Nares sedikit menundukkan kepala untuk melihat lampu merah. Saat ternyata sudah berganti kuning lalu hijau, laki-laki itu segera melajukan mobilnya. 

"Iya, tapi Eyang juga cuman butuh waktu kamu sebentar. Begitu saja masak ndak bisa?"

Nares tidak menyahut karena tengah menepikan mobil. Menyetir sembari menelpon bukan perilaku baik. Bisa membahayakan keselamatan orang juga dirinya sendiri.

"Eyang minta kamu buat lihat foto cucunya Nenek Ratri sebentar saja. Biar nanti kalau di kampus kalian ketemu langsung kenal." Suara eyang sudah melembut, tetapi Nares malah mengembus napas pelan. Sungguh bosan dengan pembahasan yang tidak juga usai ini. 

"Yang…," ujar Nares sabar. Meski kesal dia selalu berusaha untuk tetap berbicara dengan nada pelan terhadap eyang. Wanita yang sudah mengasuhnya dari kecil. Nares hanya memiliki eyang dalam hidup. Biasanya dia akan melakukan apapun yang eyang mau. Akan tetapi kali ini permintaan eyang tidak bisa disetujui begitu saja karena berhubungan dengan kelangsungan masa depannya.

"Nares, kan, sudah bilang kalau Nares nggak mau dijodohin. Nares tahu kalau maksud Eyang baik–"

"Nah itu kamu tahu kalau maksud Eyang baik. Kenapa langsung ditolak?" potong Eyang Widya membuat Nares harus menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena salah memilih kalimat. 

"Eyang ini sudah tahun berapa? Masih zaman jodoh-jodohan?" Nares melirik arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih ada waktu untuk menuntaskan pembahasan ini. Jika tidak, pulang nanti eyangnya pasti masih akan terus mengganggunya.

"Ndak usah ngomongin zaman sama Eyang, Res. Eyang itu cuman mau lihat kamu nggak salah pilih istri. Kamu ndak kapok terus dimanfaatin?" 

Nares diam karena perkataan eyang memang tidak salah. Sudah berapa kali dia mengenal gadis yang salah. Hanya dimanfaatkan dari segi materi. Dan yang terakhir, dia malah dijadikan yang kedua. Nares memang tidak merasakan patah hati karena tidak memakai perasaan saat memulai hubungan. Namun tetap saja dia kesal karena merasa dibodohi.

"Tapi sekarang Nares sudah punya yang beneran baik, Yang." Nares tidak berbohong. Beberapa hari lalu dia dipertemukan lagi dengan kakak seniornya di kampus dulu. Gadis yang selama ini diam-diam Nares kagumi karena cantik dan anggun. 

Setelah kehilangan kontak selama hampir dua tahun, Nares pikir tidak akan dipertemukan kembali. Namun takdir ternyata berkata lain. Gadis itu muncul tiba-tiba dengan penampilan yang semakin mempesona. Dan yang penting, statusnya adalah single. Tentu saja Nares tahu karena mereka sempat mengobrol, dan beberapa hari ini terus bertukar pesan. 

"Alah… Eyang tetep ndak percaya sama pilihan kamu, Res. Lagipula perjodohan ini adalah janji eyang sama Nenek Ratri." 

Nares hanya bisa menghela napas. Nenek Ratri adalah sahabat baik eyang sejak masih tinggal di Jogja dulu. Sama-sama merantau ke Jakarta dan menetap di ibu kota setelah menikah. Entah bagaimana rencana perjodohan itu bisa tercetus.

"Kalau sampai ndak ditepati, gimana kalau hantunya Nenek Ratri neror Eyang?"

Nares menahan tawa mendengar kalimat itu. "Eyang nggak usah aneh-aneh. Mana ada hal semacam itu?"

"Buktinya selama beberapa hari ini dia selalu muncul di mimpi Eyang. Apa artinya kalau ndak menagih janji?" 

Nares kembali menghela napas. Melirik arlojinya, ternyata pembahasan ini tidak bisa diselesaikan sekarang juga. 

"Gimana kalau kita bahas nanti lagi? Nares takut telat." Hari ini adalah hari pertama Nares mengajar sebagai dosen di Universitas Generasi Emas. Tidak boleh terlambat di hari paling penting. Kesan pertama sangat menentukan karirnya ke depan nanti.

"Tapi janji kamu harus mau ketemu sama cucunya Nenek Ratri. Atau paling endak kalian kenalan saja dulu. Kalau memang ndak cocok nantinya Eyang ndak bakalan maksa, Res."

Nares tentu saja tidak percaya dengan kalimat terakhir eyang. Jika sudah menginginkan sesuatu, itu artinya eyang sudah memikirkannya dengan baik. Entah bagaimana rupa atau sifat gadis itu sampai eyang sangat menyukainya. Namun sebaik apa pun itu Nares tetap akan menolak karena sudah memiliki pilihan sendiri. Dan lagi, gadis yang eyangnya pilih adalah seorang mahasiswa di kampus tempat Nares mengajar kini. Bagaimana jika gadis itu adalah mahasiswanya sendiri? Nares tidak menyukai gadis belia yang masih terkesan kekanakan. 

"Res!" 

"Kita bahas nanti lagi, Yang. Nares jalan." Setelah mengucapkan salam Nares segera menutup panggilan tanpa menunggu eyangnya menimpali. Baru saja akan melajukan kembali mobilnya, suara benturan keras mengejutkan laki-laki itu. Saat menoleh, ternyata seorang pengendara sepeda motor menabrak bagian belakang mobilnya. Bukannya berhenti, pengendara itu malah kabur. 

Nares membuka kaca mobil sembari berteriak. Dan saat sepeda motor itu malah melajukan kendaraannya begitu cepat, Nares pun berusaha mengejar. Apalagi saat yakin body belakang mobilnya pasti penyok karena benturan tadi sempat membuat mobilnya bergoyang. 

Nares menepikan mobil saat sepeda motor yang dikejarnya berhenti di pinggir jalan. 

"Hei turun kamu!" teriak Nares pada pengendara motor tersebut yang ternyata seorang gadis. 

Bukannya menuruti perintah Nares, gadis yang mengenakan helm dengan bentuk aneh itu malah berusaha menyalakan mesin kendaraannya yang sepertinya mogok. 

"Jangan kabur!" teriak Nares lagi. Namun sial, baru saja dia akan memegang bagian belakang sepeda motor untuk menahannya agar tidak kabur. Kendaraan beroda dua dengan bunyi berisik itu malah melaju dan meninggalkan kepulan asap hitam ke tubuh Nareswara. 

Mulai hari ini bakalan update tiap hari jam 11

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mulai hari ini bakalan update tiap hari jam 11.00 WIB. Jangan lupa mampir dan tinggalkan jejak, ya.




Jodoh Untuk Pak Dosen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang